Tepat pukul 01.00, Monica duduk di meja kerjanya dengan gelisah, lampu meja kecil menerangi ruangan yang sunyi. Di tangannya, sebuah telepon yang terus dipelototi. Wajahnya tegang, alisnya berkerut, menunjukkan betapa frustrasinya dia. Sudah berhari-hari Monica menyusun rencana untuk mengacaukan bisnis Rangga, khususnya dengan menghancurkan salah satu gudang milik suami Febby itu. Namun, berita yang baru saja diterimanya membuat kemarahannya meledak.Ponselnya bergetar, dan pesan dari anak buahnya masuk. Saat membacanya, Monica mengepalkan tangannya dengan kuat."Bos, kami nggak bisa masuk ke gudangnya. Keamanannya ketat, lebih dari yang kami duga."Monica meremas ponselnya, lalu membantingnya ke meja. "Apa-apaan ini!" desisnya penuh amarah.Selama ini, Monica selalu berusaha untuk menjatuhkan Rangga secara perlahan, menggunakan cara-cara licik dan diam-diam. Dia merasa sudah merencanakan segalanya dengan baik, mulai dari mengamati sistem keamanan gudang, mempelajari pola penjagaann
Dengan perasaan hangat di hatinya, Rangga berangkat ke kantor. Hari ini dia merasa lebih siap, lebih segar, dan lebih fokus. Perasaannya terhadap keluarga kecilnya membuatnya semakin semangat untuk menjalani hari. Setelah beberapa hari merasa kewalahan dengan tanggung jawab di rumah dan di kantor, pagi ini semuanya terasa lebih ringan. Dia tahu bahwa tak ada yang lebih penting daripada kebersamaan dengan orang-orang yang ia cintai.Setelah sampai di kantor, Rangga langsung disambut oleh asistennya, Arka, yang sudah menunggu di meja depan ruang CEO. "Selamat pagi, Tuan," sapa Arka dengan penuh hormat."Pagi, Arka," jawab Rangga sambil mengangguk. "Gimana? Udah siap untuk meeting nanti?""Sudah siap, Tuan. Semua dokumen dan presentasi sudah saya siapkan. Tinggal menunggu arahan anda," jawab Arka dengan sigap.Rangga mengangguk puas. "Bagus. Saya harap semuanya berjalan lancar hari ini."“Di mana Nabila?” tanya Rangga.“Masih di ruang HRD, Tuan.”Rangga mengangguk, lalu masuk ke dalam
Saat Rangga sedang sibuk di ruang kerjanya, dia mendapat telepon dari tim IT di kantornya, sementara Arka masih mengerjakan tugas lain.“Tuan, ini dari keamanan. Ada sesuatu yang perlu anda lihat,” suara dari tim keamanan terdengar sedikit tegang.Rangga mengerutkan kening. "Ada apa?"“Baru saja kami cek rekaman CCTV di pabrik utama. Sepertinya ada penyusup masuk tadi malam.”Hati Rangga langsung berdegup lebih cepat. "Penyusup? Oke, saya turun ke ruang kontrol sekarang. Kirim rekamannya ke saya juga."Tanpa berpikir dua kali, Rangga segera meninggalkan meja kerjanya dan berjalan cepat menuju ruang kontrol di lantai bawah. Sesampainya di sana, tim keamanan sudah menyiapkan monitor dengan rekaman yang siap diputar."Ini, Tuan," kata salah satu petugas sambil memutar rekaman. Dalam layar, terlihat bayangan beberapa orang masuk ke area pabrik pada dini hari, saat aktivitas pabrik sudah berhenti. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan bergerak dengan sangat hati-hati.Rangga memperhati
Monica mengumpulkan seluruh anak buahnya. Ia tak terima diancam oleh Rangga. Ia juga bingung bagaimana Rangga bisa mengetahui kalau orang-orang itu adalah kirimannya. Setelah mereka semua berkumpul, Monica pun mulai bertanya pada orang suruhannya itu."Kalian ini bagaimana, sih? Kenapa bisa tertangkap CCTV? Kalian tahu tidak, Rangga mengancam saya akan melaporkan saya ke polisi kalau sampai ada apa-apa dengan pabriknya. Dia melihat wajah kalian! Kalian ini bodoh apa gimana, sih? Mengerjakan tugas yang biasa kalian lakukan sampai lalai seperti ini!" teriaknya penuh emosi.Monica merasa bahwa dia sudah membayar harga yang fantastis, namun justru dirinya kecewa atas tindakan anak buahnya yang kurang hati-hati dalam bekerja."Maaf, Nona. Kami sudah berusaha untuk berhati-hati. Kami juga sudah mulai memakai topeng sebelum memasuki pabrik itu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, ternyata pengamanannya di pabrik tersebut sangat ketat dan tidak seperti dulu lagi. Kami bahkan hampir tertangka
Aku sangat merindukanmu, Sayang," ucap Rangga seakan mereka sudah beberapa hari tidak pernah bertemu.Rangga mendorong pelan tubuh sang istri hingga terjatuh di sofa empuk dalam kamar mereka. Bagian dada sang istri yang terlihat sangat besar membuat Rangga semakin bergairah dan ingin menyentuh bagian favoritnya itu secara tergesa-gesa."Boleh aku meminum ASI-nya, Sayang? Habis nggak kalau aku minum sedikit aja?" ucapnya sambil mendongak setelah berlutut di hadapan sang istri."Asal jangan dihabisin, Sayang," jawab istrinya, membuat Rangga tersenyum penuh kemenangan. Pria itu mulai melabuhkan bibirnya di atas puncak dada sang istri di sebelah kanan, lidahnya bermain di sana hingga membuat sang istri terus mendesah kenikmatan. Namun, justru suara itu membuat Rangga semakin bergairah.Sementara dada bagian kiri istrinya dimainkan puncaknya dengan menggunakan jari. Setiap lantunan desahan yang terucap dari mulut sang istri seolah membawa hawa panas, sehingga menuntut Rangga untuk melakuka
Setelah menunggu beberapa menit di lobi, akhirnya Nabila turun dengan tas di tangannya. Mereka pun keluar dari gedung dan berjalan menuju tempat parkir.“Jadi, kita mau makan di mana, Arka?” tanya Nabila saat mereka sampai di depan mobil Arka.“Aku tahu restoran yang enak di dekat sini. Santai aja tempatnya, nggak terlalu ramai. Aku yakin kamu bakal suka,” jawab Arka sambil membuka pintu mobil untuk Nabila.“Aku tak rewel soal makanan, dan pasti akan menyukainya apalagi kalau gratis,” Nabila berkelakar. Mereka tertawa bersama.Mereka berdua pun menuju restoran yang cukup dekat dari kantor. Tempat itu nyaman dan tidak terlalu ramai, suasananya tenang dengan lampu-lampu redup yang memberi kesan intim. Arka memilih meja di sudut yang sedikit jauh dari keramaian, memberikan mereka ruang untuk berbicara lebih bebas.Setelah memesan makanan, mereka duduk berhadapan dengan senyum yang canggung. Awalnya, suasana terasa kikuk. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, mencoba mencari topik
Arka merasa lega karena akhirnya bisa menghabiskan waktu berdua dengan Nabila, walau percakapan mereka masih dibayangi kenangan masa lalu. Perjalanan pulang dari restoran ke apartemen Nabila juga cukup tenang, dengan obrolan ringan yang mengalir tanpa beban. Mereka berbicara tentang pekerjaan, rekan kerja, dan kehidupan sehari-hari, mencoba menjauhkan diri dari topik yang terlalu emosional.Ketika mobil Arka berhenti di depan apartemen Nabila, keheningan mendadak menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama tahu bahwa saat perpisahan sebentar lagi tiba, dan entah kenapa, meskipun sederhana, momen ini terasa berarti bagi keduanya.“Terima kasih, ya, Arka. Udah ngajak aku makan malam,” ujar Nabila sambil membuka seatbelt. Ia tersenyum lembut, namun masih ada sedikit rasa kikuk di wajahnya.Arka tersenyum balik, mencoba menenangkan perasaannya yang mulai gugup lagi. “Sama-sama. Aku yang harusnya terima kasih, udah mau diajak keluar. Seneng bisa ngobrol lagi sama kamu.”Nabila tertawa kecil,
"Mau ke mana, Sayang?" tanya Rangga setengah malas, sambil meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang masih hangat dari kebersamaan mereka barusan. Pandangannya mengikuti langkah Febby yang turun dari tempat tidur dengan rambut acak-acakan, berjalan menuju kamar mandi. Malam itu terasa damai baginya, dan ia berpikir mereka bisa menikmati malam yang lebih tenang setelah malam yang begitu intens.Febby melirik ke arah Rangga sejenak, namun langkahnya tetap menuju kamar mandi. Wajahnya tampak serius, meskipun ia berusaha tetap tenang. "Kamu nggak dengar, Sayang? Elio menangis," jawab Febby tanpa banyak basa-basi, sambil memutar keran shower, membiarkan air panas mengalir.Rangga menghela napas pelan. Suara tangisan bayi memang samar-samar terdengar di telinganya, tapi ia masih yakin semuanya baik-baik saja."Tapi, kan sudah ada suster Barbara, Sayang," balasnya, mencoba meredam kekhawatiran istrinya. "Suster pasti lagi kasih susu ke anak-anak."Namun, Febby hanya membalas dengan diam.
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca