Rangga, didampingi Arka, perlahan melepaskan jasnya dan membuka kemeja, mengungkapkan bekas luka cambukan di punggungnya, saksi bisu kekejaman yang pernah dilakukan oleh Brian pada masa kecilnya. Setiap jalur merah itu memori kejam ketika ia diculik pria itu, sementara kedua orang tuanya dibunuh dengan cara diracun dalam kebrutalan oleh Brian. "Luka ini tetap ada, menyala dalam tubuhku sebagai monumen atas keadilan yang masih harus kutuntut!" suara Rangga bergema dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Brian, mendengarkan, merasakan jantungnya memompa deras, hampir keluar dari dada. Keinginan untuk melarikan diri membakar sanubarinya, tetapi dengan polisi yang sudah mengepung, escapism itu hanyalah mimpi semu. "Dan lihatlah, di lengan kiri serta kakiku terpatri bekas operasi. Aku mengalami patah tulang ketika kau melemparku ke jurang, dan ajaibnya, aku bisa bertahan," Rangga menatap dalam ke arah Brian, api keadilan berkobar dalam irama nafasnya. "Kau tak akan bisa melarikan diri
Rangga tidak bisa menyembunyikan senyum puasnya saat mengetahui Brian telah berhasil ditangkap polisi tanpa perlawanan. Rasa sakit atas kehilangan kedua orang tuanya dulu karena ulah Brian kini berubah menjadi tekad bulat. "Dia pasti terkejut karena kita datang menggerebek tiba-tiba, tuan," kata Arka sambil mengemudikan mobil, matanya fokus ke jalan. Rangga, duduk di sampingnya, mengangguk tegas, "Tentu, Arka. Brian tidak pernah menyangka masa lalunya yang kelam akan mengejar dan mempermalukannya hari ini." Suara Arka berubah serius, "Dia akan mendapatkan hukuman yang layak, tuan. Tenang saja, proses hukum akan memastikan dia membayar semua kejahatannya." Rangga menarik napas dalam, "Terima kasih, Arka. Kerja tim kalian luar biasa. Sekarang, kita hanya perlu satu langkah lagi agar Brian mengakui semua perbuatannya." Emosi keadilan mewarnai setiap kata yang terucap, membawa angin perubahan dan penutupan bagi masa lalu yang suram.Setelah membuat laporan di kantor polisi, Rangga d
Rangga dengan langkah cepat dan dada bergemuruh, bergegas meninggalkan ruang penyidikan. Sinar matahari menyinari wajahnya yang dipenuhi kegelisahan. Dia harus bergegas, waktu terasa semakin mendesak. "Arka, kita harus pulang sekarang!" desak Rangga, suaranya serak oleh beban pikiran. Di dalam mobil yang dikemudikan oleh Arka, keheningan sesekali dipatahkan oleh suara mesin yang berdengung. Rangga terdiam, merenungkan kata-kata yang akan ia ungkapkan pada sang istri. Hatinya terasa berat, setiap detik terasa seperti menambah beban pada bahunya yang telah lelah. "Tuan, apakah Anda yakin akan mengungkap semuanya pada istri Anda malam ini?" tanya Arka, suaranya penuh kekhawatiran. "Harus, Arka. Tidak ada pilihan lain," jawab Rangga, tekadnya membara meski hatinya dilanda ragu. "Apa yang terjadi selanjutnya, hanya waktu yang akan menjawab." Mata Rangga tertuju pada jalan di depan, namun pikirannya melayang jauh, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi saat ia mengungkapk
Saat keributan terjadi di depan rumah, Rangga turun dari dalam mobil dibukakan pintu oleh Arka.“Silahkan Tuan,” ucap Arka.“Terima kasih, besok kita akan memulai semuanya. Kita harus tuntaskan sebelum kita kembali ke West Country,” kata Rangga.“Baik Tuan.”Rangga masuk ke dalam rumah suara tawa renyah Mayang menyambutnya penuh ejekan.“Tuan?” Mayang kembali tergelak, “mimpi jangan ketinggian. Tuan gembel!” seru Mayang.Rangga mengabaikannya memilih masuk ke dalam kamar. Ia mendapati istrinya menangis dan Rangga tahu hari ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya.Rangga akan sabar menunggu hari itu tiba.Esok harinyaSuara langkah sepatu beradu dengan lantai dingin koridor sel tahanan, menggema di antara dinding-dinding sempit yang dipenuhi bau apek. Brian duduk di sudut ruangan yang serba terbatas, punggungnya bersandar pada tembok berlumut. Dia menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang jauh. Di hadapannya, ada secarik kertas dengan nomor telepon seorang penga
Sesuai dengan perintah Rangga, kantor Sejahtera Group dipenuhi aura ketidakpastian. Karyawan datang dan pergi dengan raut wajah yang tak biasa, cemas, bingung, dan bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Berita penangkapan Brian, mantan CEO mereka, telah menyebar seperti api di padang rumput kering. Hampir semua orang tahu bahwa perusahaan ini akan segera mengalami perubahan besar. Tapi belum ada yang tahu seberapa drastis perubahan itu.Di lantai tertinggi gedung, sebuah rapat darurat tengah disiapkan di ruang konferensi. Arkana, atau sering dipanggil Arka, berdiri di depan meja besar yang mengilap, memandang keluar jendela ke arah hiruk-pikuk kota Sun City. Pikirannya berlari, memetakan langkah-langkah yang harus ia ambil dengan cepat dan tepat. Hari ini adalah momen penting. Hari ini, dia akan mengambil alih kendali Sejahtera Group untuk sementara waktu, perusahaan besar yang selama ini dipimpin dengan tangan besi oleh Brian, sang tiran bisnis yang akhirnya terj
“Arka jemput aku satu jam lagi. Mood istriku berubah lagi dan aku belum mendapat izin pergi ke kantor. Atau kau jemput aku jam makan siang saja ya. Aku butuh waktu lama menenangkan istriku.”Suara itu membuat Arka mengulum senyum, atasannya mulai kewalahan menghadapi Febby yang moodnya suka berubah-ubah. “Baik Tuan.”Panggilan terputus. Rangga kembali ke dalam kamar mendekati istrinya yang masih merajuk.“Kalau mau kerja sana pergi.”“Boleh sayang?” tanya Rangga.“Boleh tapi jangan pulang sekalian.”Rangga menghela nafas berat, kondisi Febby jadi trauma sejak Mayang menyeretnya paksa ke luar rumah.“Ya sudah nggak jadi kerja. Mau tidur saja terus walau dompet kosong,” haab Rangga menyindir sambil memeluk istrinya dari belakang. Mengusap lembut perut istrinya tersebut.Tepat pukul 12.30 Rangga akhirnya mendapat izin dari istrinya untuk keluar rumah. Febby sama sekali belum mengetahui kisruh yang terjadi di luaran.Ruang rapat di lantai tertinggi gedung Wijaya Corporation di kantor an
Informasi tentang kecelakaan istrinya yang jatuh di kamar mandi saat mengandung anak kembar mereka yang baru berusia tiga bulan seketika menyulut api kepanikan dalam diri Rangga. "Suster, cepat bawa istri saya ke rumah sakit! Cari bantuan segera, saya akan segera menyusul!" teriak Rangga, getar suaranya menggambarkan kecemasan yang mendalam. "Sudah, Pak Rangga. Ada tetangga yang mau membantu, kami sudah di perjalanan menuju rumah sakit," jawab suster dengan tenang. Hati Rangga berdegup kencang, takut akan keselamatan istrinya dan anak-anak yang belum lahir. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ia ingat betul telah meminta pelayan membersihkan kamar mandi agar tak licin. Dengan buru-buru, Rangga melompat ke dalam mobil, di mana Arka sudah menunggu di belakang kemudi. Arka menginjak pedal gas, membawa mobil melaju kencang, mendadak lampu lalu lintas berubah hijau di jalanan. Rangga terus merasakan jantungnya yang seolah hendak meloncat keluar. Saat tiba di rumah sakit, tubuhnya seke
"Tutup mulutmu! Sebenci-bencinya aku pada anak tiriku, tak mungkin aku akan melukainya!" Seru Mayang dengan nada tinggi dan tajam. Geram tak terbendung terpancar dari setiap kata yang dilontarkannya. Mayang, tak terima dituduh sebagai penyebab kecelakaan sang anak tiri di kamar mandi oleh Rangga. Namun, Rangga, semakin tidak percaya kepada mertuanya, melihat reaksi tajam dan defensif dari sang Mama mertua. "Santai saja, Ma. Jika memang Mama tidak melakukannya, biarlah waktu yang menjawab. Namun, jika kecurigaanku benar, siapapun pelakunya akan merasakan akibat dari perbuatannya yang keji. Jangan coba-coba ingin mencelakakan istri dan calon anakku, karena aku tidak akan pernah membiarkannya!" seru Rangga dengan suara penuh ancaman, matanya bersinar tajam menunjukkan keteguhan hatinya. Dengan langkah cepat, ia pun bergegas masuk ke dalam kamar, sementara istrinya yang sudah lebih dulu berada di sana, ditemani oleh suster yang siaga menjaga Febby saat Rangga tidak ada. "Suster, tolo
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca