Ternyata orang yang mendekat adalah Mamanya Bayu. Dengan pandangan sinis, beliau memeriksa paper bag bergambar logo ternama di tangan Mayang dan Rossa. Dengan suara meremehkan, beliau berkata, "Jadi setelah Si Kodok berubah menjadi pangeran, kalian ikut merayakan, ya?" Hubungan Mayang dengan sahabatnya sudah retak berkeping-keping, tak ada lagi keinginan untuk berbasa-basi atau menjaga hati. "Lebih baik dari kodok menjadi pangeran daripada dari pangeran jadi kodok. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar 'kodok' mu setelah kehancuran yang kau ciptakan itu?" Mayang menyindir dengan tajam. Mamanya Bayu menggenggam tangannya erat-erat, hampir terlihat bergetar, "Ini semua karena kalian... Kalian yang tak tahu diri, yang sengaja memanfaatkan anak saya," ucapnya dengan tatapan yang memancarkan kebencian. Mayang tertawa sinis, "Sudah terlalu jauh, Say. Apa pun katamu, kami sudah lepas tangan. Bahkan semua hutang telah dilunasi oleh Si Kodok yang kini telah berubah menjadi pangeran, bukan seba
“Feb, kamu hamil?” tanya Rossa.“Iya Kak,” jawabnya datar.“Wah selamat ya,” kata Rossa.“Makasih,” jawab Febby datar. Dia udah bisa menebak niat kedatangan sang kakak tiri ke rumahnya.“Kamar kamu mewah sekali Feb, ini seperti cerita dongeng,” kata Rossa. Tapi dia beneran sangat kagum dengan kemewahannya.“Ada apa kakak tumben datang tiba-tiba?” tanya Febby.Rossa duduk di sofa di sebelah adik tirinya. Kamar itu gelap hanya ada penerangan lampu tidur. Rossa sudah mendengar dari sang mama kalau Febby mengalami ngidam yang aneh. Namun ia tak menyangka perut Febby sudah sebesar ini.“Hmmm,” Rossa berdehem. “Gini Feb,kedatangan kakak mau minta uang bulanan juga dari Rangga. Kamu mau kan kakak tobat judi dan main gila di luar sana. Tapi kakak butuh uang bulanan kayak Mama.”Febby mendengus, lalu mengirim pesan pada suaminya. Tak butuh waktu lama Febby sudah mendapat balasan.“Kita bicarakan ini setelah makan malam saja. Kata Rangga kakak nginep di sini dl malam ini,” ucapnya.Rossa tersen
Malam harinya setelah makan malam mereka duduk di ruang keluarga. Rangga duduk berdampingan dengan sang istri, sementara Rossa duduk di depannya.Febby tangannya memegang secangkir teh yang sudah mulai dingin. Di sebelahnya, Rangga terlihat tenang, tetapi tatapan matanya menunjukkan bahwa ia siap menghadapi percakapan dengan orang yang dulu sering menghinanya. Di hadapan mereka, tiri Febby, duduk dengan sikap percaya diri yang nyaris sombong, seperti sudah tahu apa yang akan ia dapatkan dari pertemuan ini.“Aku datang ke sini untuk meminta uang bulanan, Rangga,” kata Rossa dengan suara yang terukur, namun tajam. “Uang bulanan?” Rangga membeo.Rossa mengangguk mantap.“Mama sudah mendapatkan jatah bulanan dari kamu, dan sekarang, aku juga ingin hal yang sama. Aku pikir itu wajar, mengingat kita ini keluarga.”Febby menatap tajam ke arah Rossa. Bagi Febby, ini bukanlah permintaan yang wajar. Kakak tirinya dan sang mama tidak pernah benar-benar peduli padanya atau keluarga mereka. Mer
TingMata Rossa membulat menerima nominal yang masuk dalam rekeningnya. Dia yakin anak buah Rangga melakukannya, karena saat ini Rangga tak memegang ponsel.“Terima kasih Rangga, terima kasih Febby,” ucapnya. Jumlahnya tak kaleng-kaleng. Pantas saja sang mama memberinya banyak barang branded. Kalau begini Rossa harus bersikap baik pada Febby dan Rangga.“Carilah kekasih, dan segeralah menikah, agar pria itu yang menanggung hidupmu,” kata Rangga sebelum naik ke lantai atas bersama sang istri.“Aku tidak boleh marah. Tahan emosi, dia pohon uangmu Rossa,” ucapnya pada diri sendiri sambil menatap pasangan bucin itu naik ke lantai atas.****Tiga Bulan KemudianArkana melangkah dengan pasti menuju ruang pertemuan di kantor polisi tempat Brian ditahan. Wajahnya serius, tak ada sedikit pun keraguan atau keragaman emosi di balik sorot matanya yang tajam. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, ia akhirnya berhasil menyelesaikan tugas penting yang diberikan Rangga: merubah nama kepemilikan Sejah
Saat Arka hendak membuka pintu mobilnya, dering ponselnya memecah kesunyian, memaksa ia menunda langkahnya. Ternyata panggilan itu datang dari Rangga. "Halo, Tuan," sahut Arka. "Arka, besok Adrian akan tiba di sana untuk menggantikan posisimu. Beri tahu dia poin-poin penting dan latih selama tiga hari. Setelah itu, kau harus segera kembali ke West Country. Aku membutuhkanmu di sini," suara Rangga terdengar genting melalui sambungan telepon, membuat Arka mengerutkan kening dalam kebingungan. "Apa ada masalah di sana, Tuan?" tanyanya dengan rasa khawatir yang mendalam. "Tidak ada masalah, hanya saja aku kewalahan. Proyek besar mulai berdatangan dan aku sangat memerlukan bantuanmu," jawab Rangga, nada suaranya mencoba menenangkan namun tetap serius. "Baik, Tuan. Saya akan berangkat segera setelah memastikan Adrian mampu melanjutkan tugas di Abadi Group," janji Arka, suaranya penuh keteguhan. "Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku," pesan Rangga tegas. "Baik, Tuan. Saya akan usahak
"Boleh ya, Sayang? Kata dokter, semakin tua usia kandungan, semakin rajin kita harus melakukannya agar proses kelahiran anak-anak kita berjalan lancar," ucap Rangga sambil pelan-pelan mulai melepas pakaian istrinya. Namun, tiba-tiba suasana intim itu terganggu oleh suara ketukan di pintu kamar. Dengan langkah terburu-buru, Rangga membuka pintu dan mendapati kepala pelayan berdiri dengan ekspresi serius. "Ada apa, Bi?" tanya Rangga dengan nada penasaran. "Tuan, ada Nona Monica di bawah. Beliau ingin menemui Anda untuk membahas urusan penting," ucap sang kepala pelayan. Sayangnya, kata-kata itu terdengar oleh Febby yang langsung mengerutkan keningnya. "Iya, Bi. Sebentar ya," sahut Rangga, lalu ia berbalik memasuki kamar, mendapati wajah istrinya yang sudah masam. "Sayang, aku turun sebentar ya? Sepertinya Monica ingin minta tanda tangan saja," katanya, berusaha meredam amarah yang mulai terpancar dari mata Febby. Dengan suara dingin, Febby hanya menjawab, "Iya," seraya memberi iz
Setelah memastikan Febby tengah terlelap dalam buaian mimpi, Rangga dengan gerak cepat dan hati-hati meraih ponselnya. Ia beranjak ke balkon kamar, tempat di mana rembulan menjadi saksi bisunya. Dengan nafas yang tergesa-gesa, ia menghubungi Monica, meski jarum jam telah jauh melangkah melewati tengah malam. "Halo, Rangga," suara Monica menembus keheningan malam, datar namun mengandung nada menantang. "Maaf mengganggu, Monica. Ini penting," ucap Rangga, suaranya tegas namun dipenuhi urgensi.“It's oke. Apa yang bisa aku bantu, mantan?” godanya.Rangga tampak berdecak kesal. "Aku mohon, jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Aku tak ingin istriku, terluka karena cemburu melihat wanita lain datang menemuiku." Sambil tersenyum sinis, Monica merespons, "Oh, jadi Febby cemburu padaku? Atau mungkin dia tahu, Rangga, bahwa aku adalah mantan terindahmu?" Darah Rangga seakan mendidih mendengar celaan itu. "Ini bukan soal masa lalu atau siapa pun, Monica! Aku sudah berkomitmen pada Febby
Febby tidak mau terpancing dengan omongan Monica. Dia memilih untuk tidak menjawab, sehingga membuat Monica merasa salah tingkah.Wanita itu selalu duduk di samping Febby dan berkata, "Kamu tidak perlu khawatir, tidak perlu cemburu padaku. Meskipun dulu aku pernah memiliki hubungan dengan suamimu, tapi itu sudah lama banget dan kami sudah putus. Bahkan, aku sudah pernah menikah, walaupun sekarang akhirnya rumah tanggaku hancur," ucapnya.Febby tetap membisu, tapi dia membiarkan orang ini melakukan apa pun yang dia inginkan."Aku dan Rangga hanya teman dan rekan bisnis saja, tidak lebih dari itu. Kalaupun kemarin aku datang malam-malam ke sini, aku itu hanya ingin meminta tanda tangan darinya, tidak lebih. Tidak ada niat apa pun terkait kedatanganku tadi malam, jadi kuharap kamu tidak cemburu lagi tentang aku dan Rangga," katanya tegas."Yang bilang aku cemburu siapa?" tanya Febby.Pertanyaan itu berhasil membuat Monica kelabakan untuk menjawab."Rangga... kamu cemburu. Rangga menghubu