Saat Arka hendak membuka pintu mobilnya, dering ponselnya memecah kesunyian, memaksa ia menunda langkahnya. Ternyata panggilan itu datang dari Rangga. "Halo, Tuan," sahut Arka. "Arka, besok Adrian akan tiba di sana untuk menggantikan posisimu. Beri tahu dia poin-poin penting dan latih selama tiga hari. Setelah itu, kau harus segera kembali ke West Country. Aku membutuhkanmu di sini," suara Rangga terdengar genting melalui sambungan telepon, membuat Arka mengerutkan kening dalam kebingungan. "Apa ada masalah di sana, Tuan?" tanyanya dengan rasa khawatir yang mendalam. "Tidak ada masalah, hanya saja aku kewalahan. Proyek besar mulai berdatangan dan aku sangat memerlukan bantuanmu," jawab Rangga, nada suaranya mencoba menenangkan namun tetap serius. "Baik, Tuan. Saya akan berangkat segera setelah memastikan Adrian mampu melanjutkan tugas di Abadi Group," janji Arka, suaranya penuh keteguhan. "Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku," pesan Rangga tegas. "Baik, Tuan. Saya akan usahak
"Boleh ya, Sayang? Kata dokter, semakin tua usia kandungan, semakin rajin kita harus melakukannya agar proses kelahiran anak-anak kita berjalan lancar," ucap Rangga sambil pelan-pelan mulai melepas pakaian istrinya. Namun, tiba-tiba suasana intim itu terganggu oleh suara ketukan di pintu kamar. Dengan langkah terburu-buru, Rangga membuka pintu dan mendapati kepala pelayan berdiri dengan ekspresi serius. "Ada apa, Bi?" tanya Rangga dengan nada penasaran. "Tuan, ada Nona Monica di bawah. Beliau ingin menemui Anda untuk membahas urusan penting," ucap sang kepala pelayan. Sayangnya, kata-kata itu terdengar oleh Febby yang langsung mengerutkan keningnya. "Iya, Bi. Sebentar ya," sahut Rangga, lalu ia berbalik memasuki kamar, mendapati wajah istrinya yang sudah masam. "Sayang, aku turun sebentar ya? Sepertinya Monica ingin minta tanda tangan saja," katanya, berusaha meredam amarah yang mulai terpancar dari mata Febby. Dengan suara dingin, Febby hanya menjawab, "Iya," seraya memberi iz
Setelah memastikan Febby tengah terlelap dalam buaian mimpi, Rangga dengan gerak cepat dan hati-hati meraih ponselnya. Ia beranjak ke balkon kamar, tempat di mana rembulan menjadi saksi bisunya. Dengan nafas yang tergesa-gesa, ia menghubungi Monica, meski jarum jam telah jauh melangkah melewati tengah malam. "Halo, Rangga," suara Monica menembus keheningan malam, datar namun mengandung nada menantang. "Maaf mengganggu, Monica. Ini penting," ucap Rangga, suaranya tegas namun dipenuhi urgensi.“It's oke. Apa yang bisa aku bantu, mantan?” godanya.Rangga tampak berdecak kesal. "Aku mohon, jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Aku tak ingin istriku, terluka karena cemburu melihat wanita lain datang menemuiku." Sambil tersenyum sinis, Monica merespons, "Oh, jadi Febby cemburu padaku? Atau mungkin dia tahu, Rangga, bahwa aku adalah mantan terindahmu?" Darah Rangga seakan mendidih mendengar celaan itu. "Ini bukan soal masa lalu atau siapa pun, Monica! Aku sudah berkomitmen pada Febby
Febby tidak mau terpancing dengan omongan Monica. Dia memilih untuk tidak menjawab, sehingga membuat Monica merasa salah tingkah.Wanita itu selalu duduk di samping Febby dan berkata, "Kamu tidak perlu khawatir, tidak perlu cemburu padaku. Meskipun dulu aku pernah memiliki hubungan dengan suamimu, tapi itu sudah lama banget dan kami sudah putus. Bahkan, aku sudah pernah menikah, walaupun sekarang akhirnya rumah tanggaku hancur," ucapnya.Febby tetap membisu, tapi dia membiarkan orang ini melakukan apa pun yang dia inginkan."Aku dan Rangga hanya teman dan rekan bisnis saja, tidak lebih dari itu. Kalaupun kemarin aku datang malam-malam ke sini, aku itu hanya ingin meminta tanda tangan darinya, tidak lebih. Tidak ada niat apa pun terkait kedatanganku tadi malam, jadi kuharap kamu tidak cemburu lagi tentang aku dan Rangga," katanya tegas."Yang bilang aku cemburu siapa?" tanya Febby.Pertanyaan itu berhasil membuat Monica kelabakan untuk menjawab."Rangga... kamu cemburu. Rangga menghubu
"Rangga, kamu sudah pulang?" tanya Monica dengan wajah pucat pasi. Dadanya bergemuruh, tak menyangka mantan kekasihnya itu kembali muncul saat ia hendak berbicara dengan istri Rangga yang kini tengah menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan di rumah ini? Siapa yang menyuruhmu datang lagi ke tempat ini?" suara Rangga meninggi, nada marah yang tak terbendung mengisi ruangan itu. "Bukankah sudah jelas bahwa aku katakan kalau aku ingin rumah ini bebas dari gangguan klien bisnisku, agar waktuku bersama keluarga tak tercuri?" Monica menatap Rangga, seraut kekecewaan tergambar di wajahnya. "Jangan sombong, Rangga. Kamu pikir aku datang kesini karena masih mengingat pada masa lalu kita? Sadarlah, tidak semua langkahku terkait dengan rasa cemburu sang istri kesayangan-mu, aku justru datang ingin menjelaskan padanya agar dia tak salah paham." Rangga melayangkan pandangan tajam atas jawaban Monica. "Apa kamu sudah gila, Monica? Jangan sok perhatian deh kamu, kamu pikir aku tak tahu niat bus
Setibanya di rumah sakit, Rangga langsung menggendong Febby yang tak sadarkan diri ke ruang UGD. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, rasa panik melingkupi setiap gerakannya. Febby yang tengah hamil tujuh bulan baru saja terjatuh dari tangga, meski tidak terlalu tinggi, namun kondisinya tetap membuat Rangga khawatir. Febby tak mengalami luka fisik, tapi ia kehilangan kesadaran begitu saja membuat hati suaminya panik, padahal harusnya Rangga ada meeting dengan kliennya.Saat dokter meminta Rangga menunggu di luar ruangan, ia hanya bisa pasrah, berdiri dengan gelisah di koridor rumah sakit yang terasa mencekam.Rangga memandang pintu UGD dengan perasaan campur aduk. Kepanikan, rasa bersalah, dan ketakutan semuanya berputar di pikirannya. “Kenapa ini harus terjadi?” pikirnya. Hatinya bergemuruh tak karuan, apalagi mengingat kondisi Febby yang sedang mengandung anak kembar mereka. Tak ada yang lebih ditakutinya selain kehilangan istri dan anak-anaknya. Wajah Febby yang tadi pucat s
"Apa Anda bilang, Pak Eko? Anda memecat saya, sementara Anda tahu sendiri investor paling besar di perusahaan ini adalah orang tua saya," ucap Monica dengan suara lantang karena ia tak terima urusannya dengan Rangga dan istrinya berujung pemecatan."Saya akan minta kedua orang tua saya untuk menarik investasinya di kantor ini, kecuali Anda meralat ucapan Anda untuk tidak memecat saya dan tetap memberikan saya tugas seperti biasanya," kata Monica lagi, masih mempertahankan egonya."Silakan ambil, saya sudah tidak peduli. Harusnya kamu sadar diri. Kamu itu tak mampu bekerja dengan baik di perusahaan saya, hanya karena ingin menghancurkan rumah tangga mantan kekasihmu, bukan? Dan saya tidak akan membiarkan nama baik perusahaan saya hancur. Pergi dari ruangan saya, dan silakan suruh orang tuamu untuk segera menarik investasinya. Saya tidak butuh investor toxic seperti kamu dan kedua orang tuamu. Saya masih bisa berdiri tanpa dana investasi dari mereka," kata Pak Eko membalas ucapan Monica
Satu Setengah bulan berikutnya, Rangga meminta izin pada Febby untuk pulang ke Sun City.“Sayang, aku pergi dulu ya. Pesawatnya berangkat dua jam lagi. Besok begitu selesai sidangnya aku akan langsung pulang.”Febby mengangguk, walau di dalam hati berteriak tak ingin berpisah semenitpun dari suaminya, terlebih jelang kelahiran anak pertama mereka.Namun ia menyadari ini adalah hari yang penting untuk Rangga.“Iya sayang, hati-hati di jalan ya,” jawab Febby.“Terima kasih sayang.” Rangga mengecup bibir dan kening sang istri. Lalu beralih ke perut istrinya yang sangat besar.“Papa berangkat dulu ya sayang, jangan nakal sama Mama ya,” ucapnya. “Aduuuh!” Rangga mendapat dua kali tonjokan dari kedua calon anaknya. Febby terkekeh melihat suaminya kesakitan.Rangga pun menuju ke Bandara bersama Arka yang sudah menunggunya di bawah.****Sun CitySidang perdana Brian pagi itu membawa suasana yang begitu tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh berbagai pihak, termasuk media yang ingin meliput kasu