“Saya akan segera menghubungi anda lagi, sekarang pulanglah,” kata Pak Brata dingin.“Baik, saya permisi dulu,” pamit Mayang.Mayang pulang ke rumah dengan hati yang berat. Ia Tidak bisa tidur, bayangan warga desa yang akan kehilangan tanah mereka terus menghantuinya. Namun, ketika ia berpikir tentang Rossa, hatinya berdebar kencang. Rossa adalah segalanya bagi Mayang, dan dia harus melakukan apa pun untuk memastikan anak tirinya itu bisa bebas.Esok harinya, Mayang mulai menjalankan tugasnya. Ia pergi ke desa yang telah ditunjukkan oleh Pak Brata dan mulai berbicara dengan beberapa warga. Dengan menggunakan tipu daya dan bahasa manis, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa menjual tanah mereka adalah pilihan terbaik.Semakin banyak warga yang mulai menyerahkan tanah mereka dengan harga yang sangat murah. Mayang merasakan beban berat setiap kali ia menandatangani kesepakatan, namun ia mencoba mengabaikan perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.Sampai akhirnya, setelah semua ta
“Terima kasih Tuhan, sudah mempermudah kebahagiaan kami. Ma, Pa. Rangga akan segera memberi kalian dua cucu kembar sekaligus, Rangga juga akan menuntut keadilan pada siapapun yang terlibat dalam kasus besar itu. Rangga ingin segera menyelesaikannya, karena Rangga merasa sangat berdosa membohongi Febby,” gumamnya sambil memejamkan mata.Sementara sang istri sudah terlelap di sebelahnya. Rangga merengkuh tubuh istrinya, membawa masuk ke dalam kamar, Febby pasti sangat kelelahan, pikirnya.Lalu ia ikut masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang anak.Esok harinya matahari baru saja menyinari langit, namun Febby masih nyaman dalam dekapan hangat selimutnya. Ia merasa tubuhnya lebih berat dari biasanya, tapi bukan karena lelah. Ada perasaan manja yang menggelayut di dalam dirinya. Semenjak menjadi istri calon ibu, Febby memang sering merasakan dorongan untuk selalu berada dekat dengan suaminya. Rangga, pria yang penuh pengertian, selalu siap memberikan perhatian yang Febby butuhkan, ter
Di tempat berbeda, Mayang terasa lebih lengang dari biasanya. Udara dingin yang menyelinap dari celah jendela kaca besar di ruang tamu, seolah mencerminkan suasana hati Mayang yang sedang tak menentu. Di sofa, Mayang duduk dengan tatapan kosong, masih memikirkan kejadian yang baru saja berlalu. Rossa, putri sulungnya, akhirnya bisa keluar dari kantor polisi berkat segala upaya yang ia lakukan. Namun, bukannya bersyukur, Rossa justru memperlihatkan kemarahan yang tak pernah Mayang duga sebelumnya."Kenapa lama sekali, Ma? Kenapa aku harus menunggu begitu lama di sana?!" bentak Rossa beberapa jam yang lalu saat baru sampai di rumah.Mayang yang awalnya merasa lega begitu melihat putrinya keluar dari jeruji besi, tak menyangka bahwa tanggapan yang diterimanya justru penuh amarah. Segala jerih payah, usaha mencari pinjaman uang, bahkan pertemuannya dengan rentenir bernama Pak Brata—semuanya tampak sia-sia di mata Rossa.Mayang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu
Rossa bergegas mencari tempat tinggal yang jauh dari rumahnya. Ia memilih apartemen. Minimal, kalau dia sudah tidak tinggal di rumah itu, dia takkan lagi mendengar jahatnya mulut para tetangga yang menganggapnya begitu hina.Dalam hatinya, ia terus bergumam bahwa dia akan membalas dendam pada orang yang sudah menjebaknya malam itu. Bahkan dirinya belum lama menjadi pengguna barang terlarang tersebut, namun justru harus mempertanggungjawabkan lebih dari yang ia lakukan.Setelah melakukan check-in, Rossa segera diantarkan menuju unit apartemennya oleh petugas keamanan di apartemen itu.Meski bukan apartemen mewah, dia sangat bersyukur bisa ada di tempat ini.“Tak masalah untuk tempat sementara,” ucapnya pada diri sendiri setelah duduk di dalam kamarnya.“Aku yakin ini pasti orang suruhan Bayu yang masih menyimpan dendam padaku dan juga Mama. Padahal kami ini korban. Dia yang terlalu banyak bertingkah sehingga video itu bisa tersebar luas di media sosial, tapi justru kami yang kena apesn
**Ting Nong**Mayang kembali berdecak kesal saat bel rumahnya berbunyi lagi.“Siapa lagi sih ini?” ucapnya geram. Meski dalam keadaan kesal, dia tetap keluar kamar untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik pintu. Ia berharap Rossa kembali dan mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah.Saat pintu rumah sudah terbuka, Mayang melihat dua orang berpenampilan rapi seperti pegawai bank. Lalu ia ingat bahwa tunggakan kartu kreditnya belum dibayar hingga kini.“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara penuh amarah. Mayang sama seperti orang kebanyakan, yang kalau ditagih utang pasti marah.“Kami dari pihak bank untuk meminta cicilan kartu kredit yang belum Anda lunasi hingga kini. Waktunya sudah melewati jatuh tempo dan bunga sudah terus berlaku setiap harinya,” ucap salah satu pria berpenampilan rapi kepada Mayang.“Aku tidak punya uang! Pergi kalian! Nanti kalau aku sudah punya uang, aku akan membayarnya,” jawabnya tanpa tahu malu.“Kami tidak peduli Anda punya uang atau tidak. An
"Mengapa tidak kamu jual saja seluruh tanah itu, Rangga? Daripada hanya terbengkalai begitu saja. Kamu bisa mendapatkan uang yang sangat besar, jauh melebihi harga tanah itu," ujar lelaki itu, suaranya berat dengan penuh rayuan. Dia adalah kerabat jauh yang telah lama mengincar tanah warisan kedua orang tua Rangga, yang terletak di sudut kota yang strategis. Namun, tanah tersebut belum tersentuh oleh Rangga, masih terbengkalai sehingga menarik hasrat pria tua itu untuk membuat Rangga menjualnya. Rencana besar sudah ada di kepala sang kerabat jauh: sebuah kombinasi apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang akan merubah landskap kota. "Tidak akan ada kata penjualan tanah itu dariku, Om. Berhentilah mencoba, ini hanya akan membuang waktu Om saja," Rangga memotong dengan nada yang tegas dan penuh kekuatan, menolak tanpa ruang untuk negosiasi. Rahang pria tua di hadapannya mengeras, wajahnya menunjukkan campuran rasa frustasi dan kemarahan yang mendalam karena kembali mendapat penol
Tangis Febby semakin menjadi-jadi, dengan derai air mata yang tidak terkendali. Suara tangisnya menusuk relung hati Rangga yang panik sembari mencoba meredakan keadaan. "Sayang, jangan menangis seperti ini, cepat katakan apa yang sakit," katanya sambil berusaha menenangkan sang istri yang sedang hamil. "Kenapa kamu pulang terlambat? Hanya sepuluh menit tapi itu seperti setahun bagiku!" Febby menjerit antara isakannya, dera rasa takut dan kekhawatiran berkecamuk dalam dadanya. "Apakah kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Apakah kamu sengaja mengulur waktu agar tidak harus pulang? Kamu bahkan tidak pulang saat makan siang, Rangga! Kamu benar-benar tidak peduli dengan aku," ujarnya dengan suara penuh kekecewaan mendalam. Rangga menyeka keringat di dahinya, bingung dengan perubahan mood istrinya yang tiba-tiba. 'Mungkin ini memang sindrom ibu hamil,' pikirnya. Sebuah hal sepele kini bisa membuat Febby terguncang hebat. Dengan hati yang gundah, Rangga mencium kening istrinya dengan lem
Mereka duduk berdampingan di atas ranjang, saling berpelukan dalam keheningan. Sang istri, Febby, menolak untuk mandi sebelum pukul tujuh malam; sebuah ngidam tak biasa yang dipicu oleh silau cahaya matahari yang menembus ruang kamar mandi. Ketika sinar itu menyerang pandangannya, ia tiba-tiba merasa mual dan tak terkendali. "Sayang, sebenarnya tugasku di kota ini sudah selesai, tapi aku bisa tinggal lebih lama jika itu membuatmu nyaman. Aku akan berada di sini, menemanimu sampai anak kita lahir," ucap Rangga, mengusap lembut perut istrinya dengan penuh kasih. "Kita pulang saja, Sayang. Tadi Mama menelepon, katanya Kak Rossa sudah pergi dari rumah. Mama memintaku untuk kembali dan membayarkan kartu kreditnya," jawab Febby dengan suara yang serak. Ada kekhawatiran yang mendalam tentang kembali dan berada di bawah satu atap dengan ibunya, tempat yang penuh kenangan pahit dan manis masa kecilnya. "Kamu yakin? Pulang dalam kondisi hamil seperti ini dan menghadapi semua sifat kasar Ma