Tangis Febby semakin menjadi-jadi, dengan derai air mata yang tidak terkendali. Suara tangisnya menusuk relung hati Rangga yang panik sembari mencoba meredakan keadaan. "Sayang, jangan menangis seperti ini, cepat katakan apa yang sakit," katanya sambil berusaha menenangkan sang istri yang sedang hamil. "Kenapa kamu pulang terlambat? Hanya sepuluh menit tapi itu seperti setahun bagiku!" Febby menjerit antara isakannya, dera rasa takut dan kekhawatiran berkecamuk dalam dadanya. "Apakah kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Apakah kamu sengaja mengulur waktu agar tidak harus pulang? Kamu bahkan tidak pulang saat makan siang, Rangga! Kamu benar-benar tidak peduli dengan aku," ujarnya dengan suara penuh kekecewaan mendalam. Rangga menyeka keringat di dahinya, bingung dengan perubahan mood istrinya yang tiba-tiba. 'Mungkin ini memang sindrom ibu hamil,' pikirnya. Sebuah hal sepele kini bisa membuat Febby terguncang hebat. Dengan hati yang gundah, Rangga mencium kening istrinya dengan lem
Mereka duduk berdampingan di atas ranjang, saling berpelukan dalam keheningan. Sang istri, Febby, menolak untuk mandi sebelum pukul tujuh malam; sebuah ngidam tak biasa yang dipicu oleh silau cahaya matahari yang menembus ruang kamar mandi. Ketika sinar itu menyerang pandangannya, ia tiba-tiba merasa mual dan tak terkendali. "Sayang, sebenarnya tugasku di kota ini sudah selesai, tapi aku bisa tinggal lebih lama jika itu membuatmu nyaman. Aku akan berada di sini, menemanimu sampai anak kita lahir," ucap Rangga, mengusap lembut perut istrinya dengan penuh kasih. "Kita pulang saja, Sayang. Tadi Mama menelepon, katanya Kak Rossa sudah pergi dari rumah. Mama memintaku untuk kembali dan membayarkan kartu kreditnya," jawab Febby dengan suara yang serak. Ada kekhawatiran yang mendalam tentang kembali dan berada di bawah satu atap dengan ibunya, tempat yang penuh kenangan pahit dan manis masa kecilnya. "Kamu yakin? Pulang dalam kondisi hamil seperti ini dan menghadapi semua sifat kasar Ma
Tiba di kota Suncity yang sudah senyap dan sunyi, Rangga dan Febby mendarat di bandara pada pukul tiga pagi, sebuah waktu dimana kota itu tertidur lelap. Arka, tangan kanan Rangga, sudah siap di bandara untuk membawa mereka pulang. Kendaraan itu melaju lambat, menerobos keheningan malam menuju rumah Febby yang tampaknya masih menyimpan rahasia besar. Dua puluh menit perjalanan di malam yang dingin dan gelap, mereka akhirnya tiba di depan rumah Febby. Langkah mereka pelan, seolah tidak ingin membangunkan tidur malam yang masih membungkus kota. Barang bawaan diletakkan dengan hati-hati, suara pelan mereka berusaha tidak memecah kesunyian. Namun, pintu kamar Mayang terbuka, sinar dari dalam rumah itu menyilaukan sejenak. Mata Mayang memicing ketika dia melihat sosok Febby yang hamil dan Rangga yang dianggap tidak layak di sisinya. Hatinya membara, kekesalannya seperti bara yang siap menyala. "Kau benar-benar hamil?" tanyanya dengan nada menuduh, penuh kebencian yang membara. Bagi M
Di sekeliling meja kayu besar yang berada di tengah ruangan, duduk beberapa orang penting yang sudah menunggu instruksi dari Rangga, termasuk seorang perwira polisi, pengacara pribadi Rangga, dan Arka, bawahan setianya. Mereka sudah bekerja sama sejak lama, menyusun rencana untuk membongkar semua kebusukan Brian.Rangga menatap ke arah mereka satu per satu, matanya tajam, namun penuh dengan ketenangan. Pagi itu adalah momen yang sudah ia tunggu bertahun-tahun. Dia tidak akan membiarkan Brian lolos kali ini."Apakah semua bukti sudah siap?" tanya Rangga memulai percakapan, suaranya rendah namun penuh tekanan.Pengacara pribadinya, Pak Bram, membuka sebuah map yang sudah diletakkan di meja. "Semua bukti sudah ada di sini, Tuan. Rekaman percakapan, transaksi keuangan, dan bahkan kesaksian dari beberapa orang yang pernah bekerja di perusahaan papa Anda. Mereka mengonfirmasi bahwa Brian-lah yang mengatur semua ini dari balik layar."Setiap kali mengenang momen itu rasa sakit seketika meny
Dengan bukti yang begitu kukuh menjerat Brian, kali ini Rangga tidak main-main. Setiap serpihan bukti yang berhasil dikumpulkan timnya, termasuk masa magang Brian yang penuh kecurangan di perusahaan, telah membangun sebuah kasus yang tidak terbantahkan. Kini, saatnya untuk menghukum Brian seberat-beratnya dan memasukkannya ke balik jeruji besi. Dua mobil polisi menghentak di lobby, dan segera komandan Adam berlari menuju meja resepsionis, diikuti oleh petugas keamanan yang berlomba mengamankan area. Hanya empat orang yang masuk ke dalam, sementara polisi lainnya memperketat penjagaan di setiap pintu masuk, menutup setiap jalan pelarian yang mungkin diambil Brian. Adrenaline masing-masing orang yang hadir di lokasi saat itu meningkat, suasana menjadi jauh lebih menegangkan daripada penangkapan Alexander dan rekan-rekannya dulu. Hari ini, tekanan yang muncul membuat nafas tercekat, karyawan yang menyaksikan pun terpana, bertanya-tanya, merasakan desas-desus kekhawatiran dan kebingun
Rangga, didampingi Arka, perlahan melepaskan jasnya dan membuka kemeja, mengungkapkan bekas luka cambukan di punggungnya, saksi bisu kekejaman yang pernah dilakukan oleh Brian pada masa kecilnya. Setiap jalur merah itu memori kejam ketika ia diculik pria itu, sementara kedua orang tuanya dibunuh dengan cara diracun dalam kebrutalan oleh Brian. "Luka ini tetap ada, menyala dalam tubuhku sebagai monumen atas keadilan yang masih harus kutuntut!" suara Rangga bergema dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Brian, mendengarkan, merasakan jantungnya memompa deras, hampir keluar dari dada. Keinginan untuk melarikan diri membakar sanubarinya, tetapi dengan polisi yang sudah mengepung, escapism itu hanyalah mimpi semu. "Dan lihatlah, di lengan kiri serta kakiku terpatri bekas operasi. Aku mengalami patah tulang ketika kau melemparku ke jurang, dan ajaibnya, aku bisa bertahan," Rangga menatap dalam ke arah Brian, api keadilan berkobar dalam irama nafasnya. "Kau tak akan bisa melarikan diri
Rangga tidak bisa menyembunyikan senyum puasnya saat mengetahui Brian telah berhasil ditangkap polisi tanpa perlawanan. Rasa sakit atas kehilangan kedua orang tuanya dulu karena ulah Brian kini berubah menjadi tekad bulat. "Dia pasti terkejut karena kita datang menggerebek tiba-tiba, tuan," kata Arka sambil mengemudikan mobil, matanya fokus ke jalan. Rangga, duduk di sampingnya, mengangguk tegas, "Tentu, Arka. Brian tidak pernah menyangka masa lalunya yang kelam akan mengejar dan mempermalukannya hari ini." Suara Arka berubah serius, "Dia akan mendapatkan hukuman yang layak, tuan. Tenang saja, proses hukum akan memastikan dia membayar semua kejahatannya." Rangga menarik napas dalam, "Terima kasih, Arka. Kerja tim kalian luar biasa. Sekarang, kita hanya perlu satu langkah lagi agar Brian mengakui semua perbuatannya." Emosi keadilan mewarnai setiap kata yang terucap, membawa angin perubahan dan penutupan bagi masa lalu yang suram.Setelah membuat laporan di kantor polisi, Rangga d
Rangga dengan langkah cepat dan dada bergemuruh, bergegas meninggalkan ruang penyidikan. Sinar matahari menyinari wajahnya yang dipenuhi kegelisahan. Dia harus bergegas, waktu terasa semakin mendesak. "Arka, kita harus pulang sekarang!" desak Rangga, suaranya serak oleh beban pikiran. Di dalam mobil yang dikemudikan oleh Arka, keheningan sesekali dipatahkan oleh suara mesin yang berdengung. Rangga terdiam, merenungkan kata-kata yang akan ia ungkapkan pada sang istri. Hatinya terasa berat, setiap detik terasa seperti menambah beban pada bahunya yang telah lelah. "Tuan, apakah Anda yakin akan mengungkap semuanya pada istri Anda malam ini?" tanya Arka, suaranya penuh kekhawatiran. "Harus, Arka. Tidak ada pilihan lain," jawab Rangga, tekadnya membara meski hatinya dilanda ragu. "Apa yang terjadi selanjutnya, hanya waktu yang akan menjawab." Mata Rangga tertuju pada jalan di depan, namun pikirannya melayang jauh, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi saat ia mengungkapk