**Ting Nong**Mayang kembali berdecak kesal saat bel rumahnya berbunyi lagi.“Siapa lagi sih ini?” ucapnya geram. Meski dalam keadaan kesal, dia tetap keluar kamar untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik pintu. Ia berharap Rossa kembali dan mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah.Saat pintu rumah sudah terbuka, Mayang melihat dua orang berpenampilan rapi seperti pegawai bank. Lalu ia ingat bahwa tunggakan kartu kreditnya belum dibayar hingga kini.“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara penuh amarah. Mayang sama seperti orang kebanyakan, yang kalau ditagih utang pasti marah.“Kami dari pihak bank untuk meminta cicilan kartu kredit yang belum Anda lunasi hingga kini. Waktunya sudah melewati jatuh tempo dan bunga sudah terus berlaku setiap harinya,” ucap salah satu pria berpenampilan rapi kepada Mayang.“Aku tidak punya uang! Pergi kalian! Nanti kalau aku sudah punya uang, aku akan membayarnya,” jawabnya tanpa tahu malu.“Kami tidak peduli Anda punya uang atau tidak. An
"Mengapa tidak kamu jual saja seluruh tanah itu, Rangga? Daripada hanya terbengkalai begitu saja. Kamu bisa mendapatkan uang yang sangat besar, jauh melebihi harga tanah itu," ujar lelaki itu, suaranya berat dengan penuh rayuan. Dia adalah kerabat jauh yang telah lama mengincar tanah warisan kedua orang tua Rangga, yang terletak di sudut kota yang strategis. Namun, tanah tersebut belum tersentuh oleh Rangga, masih terbengkalai sehingga menarik hasrat pria tua itu untuk membuat Rangga menjualnya. Rencana besar sudah ada di kepala sang kerabat jauh: sebuah kombinasi apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang akan merubah landskap kota. "Tidak akan ada kata penjualan tanah itu dariku, Om. Berhentilah mencoba, ini hanya akan membuang waktu Om saja," Rangga memotong dengan nada yang tegas dan penuh kekuatan, menolak tanpa ruang untuk negosiasi. Rahang pria tua di hadapannya mengeras, wajahnya menunjukkan campuran rasa frustasi dan kemarahan yang mendalam karena kembali mendapat penol
Tangis Febby semakin menjadi-jadi, dengan derai air mata yang tidak terkendali. Suara tangisnya menusuk relung hati Rangga yang panik sembari mencoba meredakan keadaan. "Sayang, jangan menangis seperti ini, cepat katakan apa yang sakit," katanya sambil berusaha menenangkan sang istri yang sedang hamil. "Kenapa kamu pulang terlambat? Hanya sepuluh menit tapi itu seperti setahun bagiku!" Febby menjerit antara isakannya, dera rasa takut dan kekhawatiran berkecamuk dalam dadanya. "Apakah kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Apakah kamu sengaja mengulur waktu agar tidak harus pulang? Kamu bahkan tidak pulang saat makan siang, Rangga! Kamu benar-benar tidak peduli dengan aku," ujarnya dengan suara penuh kekecewaan mendalam. Rangga menyeka keringat di dahinya, bingung dengan perubahan mood istrinya yang tiba-tiba. 'Mungkin ini memang sindrom ibu hamil,' pikirnya. Sebuah hal sepele kini bisa membuat Febby terguncang hebat. Dengan hati yang gundah, Rangga mencium kening istrinya dengan lem
Mereka duduk berdampingan di atas ranjang, saling berpelukan dalam keheningan. Sang istri, Febby, menolak untuk mandi sebelum pukul tujuh malam; sebuah ngidam tak biasa yang dipicu oleh silau cahaya matahari yang menembus ruang kamar mandi. Ketika sinar itu menyerang pandangannya, ia tiba-tiba merasa mual dan tak terkendali. "Sayang, sebenarnya tugasku di kota ini sudah selesai, tapi aku bisa tinggal lebih lama jika itu membuatmu nyaman. Aku akan berada di sini, menemanimu sampai anak kita lahir," ucap Rangga, mengusap lembut perut istrinya dengan penuh kasih. "Kita pulang saja, Sayang. Tadi Mama menelepon, katanya Kak Rossa sudah pergi dari rumah. Mama memintaku untuk kembali dan membayarkan kartu kreditnya," jawab Febby dengan suara yang serak. Ada kekhawatiran yang mendalam tentang kembali dan berada di bawah satu atap dengan ibunya, tempat yang penuh kenangan pahit dan manis masa kecilnya. "Kamu yakin? Pulang dalam kondisi hamil seperti ini dan menghadapi semua sifat kasar Ma
Tiba di kota Suncity yang sudah senyap dan sunyi, Rangga dan Febby mendarat di bandara pada pukul tiga pagi, sebuah waktu dimana kota itu tertidur lelap. Arka, tangan kanan Rangga, sudah siap di bandara untuk membawa mereka pulang. Kendaraan itu melaju lambat, menerobos keheningan malam menuju rumah Febby yang tampaknya masih menyimpan rahasia besar. Dua puluh menit perjalanan di malam yang dingin dan gelap, mereka akhirnya tiba di depan rumah Febby. Langkah mereka pelan, seolah tidak ingin membangunkan tidur malam yang masih membungkus kota. Barang bawaan diletakkan dengan hati-hati, suara pelan mereka berusaha tidak memecah kesunyian. Namun, pintu kamar Mayang terbuka, sinar dari dalam rumah itu menyilaukan sejenak. Mata Mayang memicing ketika dia melihat sosok Febby yang hamil dan Rangga yang dianggap tidak layak di sisinya. Hatinya membara, kekesalannya seperti bara yang siap menyala. "Kau benar-benar hamil?" tanyanya dengan nada menuduh, penuh kebencian yang membara. Bagi M
Di sekeliling meja kayu besar yang berada di tengah ruangan, duduk beberapa orang penting yang sudah menunggu instruksi dari Rangga, termasuk seorang perwira polisi, pengacara pribadi Rangga, dan Arka, bawahan setianya. Mereka sudah bekerja sama sejak lama, menyusun rencana untuk membongkar semua kebusukan Brian.Rangga menatap ke arah mereka satu per satu, matanya tajam, namun penuh dengan ketenangan. Pagi itu adalah momen yang sudah ia tunggu bertahun-tahun. Dia tidak akan membiarkan Brian lolos kali ini."Apakah semua bukti sudah siap?" tanya Rangga memulai percakapan, suaranya rendah namun penuh tekanan.Pengacara pribadinya, Pak Bram, membuka sebuah map yang sudah diletakkan di meja. "Semua bukti sudah ada di sini, Tuan. Rekaman percakapan, transaksi keuangan, dan bahkan kesaksian dari beberapa orang yang pernah bekerja di perusahaan papa Anda. Mereka mengonfirmasi bahwa Brian-lah yang mengatur semua ini dari balik layar."Setiap kali mengenang momen itu rasa sakit seketika meny
Dengan bukti yang begitu kukuh menjerat Brian, kali ini Rangga tidak main-main. Setiap serpihan bukti yang berhasil dikumpulkan timnya, termasuk masa magang Brian yang penuh kecurangan di perusahaan, telah membangun sebuah kasus yang tidak terbantahkan. Kini, saatnya untuk menghukum Brian seberat-beratnya dan memasukkannya ke balik jeruji besi. Dua mobil polisi menghentak di lobby, dan segera komandan Adam berlari menuju meja resepsionis, diikuti oleh petugas keamanan yang berlomba mengamankan area. Hanya empat orang yang masuk ke dalam, sementara polisi lainnya memperketat penjagaan di setiap pintu masuk, menutup setiap jalan pelarian yang mungkin diambil Brian. Adrenaline masing-masing orang yang hadir di lokasi saat itu meningkat, suasana menjadi jauh lebih menegangkan daripada penangkapan Alexander dan rekan-rekannya dulu. Hari ini, tekanan yang muncul membuat nafas tercekat, karyawan yang menyaksikan pun terpana, bertanya-tanya, merasakan desas-desus kekhawatiran dan kebingun
Rangga, didampingi Arka, perlahan melepaskan jasnya dan membuka kemeja, mengungkapkan bekas luka cambukan di punggungnya, saksi bisu kekejaman yang pernah dilakukan oleh Brian pada masa kecilnya. Setiap jalur merah itu memori kejam ketika ia diculik pria itu, sementara kedua orang tuanya dibunuh dengan cara diracun dalam kebrutalan oleh Brian. "Luka ini tetap ada, menyala dalam tubuhku sebagai monumen atas keadilan yang masih harus kutuntut!" suara Rangga bergema dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Brian, mendengarkan, merasakan jantungnya memompa deras, hampir keluar dari dada. Keinginan untuk melarikan diri membakar sanubarinya, tetapi dengan polisi yang sudah mengepung, escapism itu hanyalah mimpi semu. "Dan lihatlah, di lengan kiri serta kakiku terpatri bekas operasi. Aku mengalami patah tulang ketika kau melemparku ke jurang, dan ajaibnya, aku bisa bertahan," Rangga menatap dalam ke arah Brian, api keadilan berkobar dalam irama nafasnya. "Kau tak akan bisa melarikan diri