“Aku sudah mendapatkan perawat sayang, besok dia akan datang,” kata Rangga pada istrinya.Febby hanya mengangguk. Dia pasrah pada suaminya karena kalau Rangga sudah memutuskan makan tak akan ada yang bisa menghalanginya.Tiga bulan berlaluKehamilan adalah anugerah yang sangat dinantikan oleh Febby dan Rangga. Sejak menikah, mereka selalu berharap diberikan momongan, dan ketika akhirnya Febby dinyatakan hamil, kebahagiaan mereka terasa sempurna. Namun, kebahagiaan itu sedikit terganggu oleh pengalaman ngidam yang nggak biasa. Febby mengalami hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—ia tak sanggup menatap sinar matahari. Setiap kali terkena sinar matahari atau cahaya terang, perutnya seketika terasa mual, dan sering kali disertai muntah hebat.Pada awalnya, Febby mengira mual tersebut adalah bagian dari morning sickness biasa yang dialami oleh sebagian besar wanita hamil. Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa reaksinya lebih dari sekadar morning sickness. Jika dia hanya m
“Suter, silahkan masuk,” kata Rangga.“Terima kasih pak Rangga,” jawabnya.Rangga kembali menutup pintu apartemennya, lalu masuk ke dalam kamar untuk berpamitan pergi ke kator. “Sayang, aku kerja dulu ya. Suster Lusiana sudah datang,” katanya memberitahu sang istri.“Iya sayang, hati-hati di jalan.”Rangga mengecup kening dan bibir sang istri, lalu mengecup perut sang istri yang sudah berusia tiga bulan. “Papa berangkat kerja dulu ya sayang,” pamitnya pada kedua calon anaknya.Setelah itu Rangga menitipkan Febby pada suster Lusiana.Sementara itu di sudut Kota Sun CityMayang duduk di sebuah coffee shop kecil di pinggir kota, matanya memandang ke luar jendela dengan pikiran penuh kekhawatiran. Sudah berbulan-bulan sejak Rossa, ditangkap oleh polisi karena kasus narkoba dia merasa sangat kesepian, para tetangga pun menjauhinya sejak kasusnya menyeruak ke publik. Dia yang dulu paling berkuasa kini nyaris tak punya teman.Dia seperti orang yang berpenyakitan dan harus dihindari oleh y
“Saya akan segera menghubungi anda lagi, sekarang pulanglah,” kata Pak Brata dingin.“Baik, saya permisi dulu,” pamit Mayang.Mayang pulang ke rumah dengan hati yang berat. Ia Tidak bisa tidur, bayangan warga desa yang akan kehilangan tanah mereka terus menghantuinya. Namun, ketika ia berpikir tentang Rossa, hatinya berdebar kencang. Rossa adalah segalanya bagi Mayang, dan dia harus melakukan apa pun untuk memastikan anak tirinya itu bisa bebas.Esok harinya, Mayang mulai menjalankan tugasnya. Ia pergi ke desa yang telah ditunjukkan oleh Pak Brata dan mulai berbicara dengan beberapa warga. Dengan menggunakan tipu daya dan bahasa manis, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa menjual tanah mereka adalah pilihan terbaik.Semakin banyak warga yang mulai menyerahkan tanah mereka dengan harga yang sangat murah. Mayang merasakan beban berat setiap kali ia menandatangani kesepakatan, namun ia mencoba mengabaikan perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.Sampai akhirnya, setelah semua ta
“Terima kasih Tuhan, sudah mempermudah kebahagiaan kami. Ma, Pa. Rangga akan segera memberi kalian dua cucu kembar sekaligus, Rangga juga akan menuntut keadilan pada siapapun yang terlibat dalam kasus besar itu. Rangga ingin segera menyelesaikannya, karena Rangga merasa sangat berdosa membohongi Febby,” gumamnya sambil memejamkan mata.Sementara sang istri sudah terlelap di sebelahnya. Rangga merengkuh tubuh istrinya, membawa masuk ke dalam kamar, Febby pasti sangat kelelahan, pikirnya.Lalu ia ikut masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang anak.Esok harinya matahari baru saja menyinari langit, namun Febby masih nyaman dalam dekapan hangat selimutnya. Ia merasa tubuhnya lebih berat dari biasanya, tapi bukan karena lelah. Ada perasaan manja yang menggelayut di dalam dirinya. Semenjak menjadi istri calon ibu, Febby memang sering merasakan dorongan untuk selalu berada dekat dengan suaminya. Rangga, pria yang penuh pengertian, selalu siap memberikan perhatian yang Febby butuhkan, ter
Di tempat berbeda, Mayang terasa lebih lengang dari biasanya. Udara dingin yang menyelinap dari celah jendela kaca besar di ruang tamu, seolah mencerminkan suasana hati Mayang yang sedang tak menentu. Di sofa, Mayang duduk dengan tatapan kosong, masih memikirkan kejadian yang baru saja berlalu. Rossa, putri sulungnya, akhirnya bisa keluar dari kantor polisi berkat segala upaya yang ia lakukan. Namun, bukannya bersyukur, Rossa justru memperlihatkan kemarahan yang tak pernah Mayang duga sebelumnya."Kenapa lama sekali, Ma? Kenapa aku harus menunggu begitu lama di sana?!" bentak Rossa beberapa jam yang lalu saat baru sampai di rumah.Mayang yang awalnya merasa lega begitu melihat putrinya keluar dari jeruji besi, tak menyangka bahwa tanggapan yang diterimanya justru penuh amarah. Segala jerih payah, usaha mencari pinjaman uang, bahkan pertemuannya dengan rentenir bernama Pak Brata—semuanya tampak sia-sia di mata Rossa.Mayang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu
Rossa bergegas mencari tempat tinggal yang jauh dari rumahnya. Ia memilih apartemen. Minimal, kalau dia sudah tidak tinggal di rumah itu, dia takkan lagi mendengar jahatnya mulut para tetangga yang menganggapnya begitu hina.Dalam hatinya, ia terus bergumam bahwa dia akan membalas dendam pada orang yang sudah menjebaknya malam itu. Bahkan dirinya belum lama menjadi pengguna barang terlarang tersebut, namun justru harus mempertanggungjawabkan lebih dari yang ia lakukan.Setelah melakukan check-in, Rossa segera diantarkan menuju unit apartemennya oleh petugas keamanan di apartemen itu.Meski bukan apartemen mewah, dia sangat bersyukur bisa ada di tempat ini.“Tak masalah untuk tempat sementara,” ucapnya pada diri sendiri setelah duduk di dalam kamarnya.“Aku yakin ini pasti orang suruhan Bayu yang masih menyimpan dendam padaku dan juga Mama. Padahal kami ini korban. Dia yang terlalu banyak bertingkah sehingga video itu bisa tersebar luas di media sosial, tapi justru kami yang kena apesn
**Ting Nong**Mayang kembali berdecak kesal saat bel rumahnya berbunyi lagi.“Siapa lagi sih ini?” ucapnya geram. Meski dalam keadaan kesal, dia tetap keluar kamar untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik pintu. Ia berharap Rossa kembali dan mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah.Saat pintu rumah sudah terbuka, Mayang melihat dua orang berpenampilan rapi seperti pegawai bank. Lalu ia ingat bahwa tunggakan kartu kreditnya belum dibayar hingga kini.“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara penuh amarah. Mayang sama seperti orang kebanyakan, yang kalau ditagih utang pasti marah.“Kami dari pihak bank untuk meminta cicilan kartu kredit yang belum Anda lunasi hingga kini. Waktunya sudah melewati jatuh tempo dan bunga sudah terus berlaku setiap harinya,” ucap salah satu pria berpenampilan rapi kepada Mayang.“Aku tidak punya uang! Pergi kalian! Nanti kalau aku sudah punya uang, aku akan membayarnya,” jawabnya tanpa tahu malu.“Kami tidak peduli Anda punya uang atau tidak. An
"Mengapa tidak kamu jual saja seluruh tanah itu, Rangga? Daripada hanya terbengkalai begitu saja. Kamu bisa mendapatkan uang yang sangat besar, jauh melebihi harga tanah itu," ujar lelaki itu, suaranya berat dengan penuh rayuan. Dia adalah kerabat jauh yang telah lama mengincar tanah warisan kedua orang tua Rangga, yang terletak di sudut kota yang strategis. Namun, tanah tersebut belum tersentuh oleh Rangga, masih terbengkalai sehingga menarik hasrat pria tua itu untuk membuat Rangga menjualnya. Rencana besar sudah ada di kepala sang kerabat jauh: sebuah kombinasi apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang akan merubah landskap kota. "Tidak akan ada kata penjualan tanah itu dariku, Om. Berhentilah mencoba, ini hanya akan membuang waktu Om saja," Rangga memotong dengan nada yang tegas dan penuh kekuatan, menolak tanpa ruang untuk negosiasi. Rahang pria tua di hadapannya mengeras, wajahnya menunjukkan campuran rasa frustasi dan kemarahan yang mendalam karena kembali mendapat penol