"Buku kelahiran. Untuk apa?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Bang Robi memintaku untuk membawa buku itu padanya. Dia bilang kalau dia ingin melihat buku itu," jawabnya sambil terlihat ragu. Sambil berdiri di hadapan sang suami. "Jadi keluarga mu ragu akan anak ini, apa karena dia jelek jadi keluargamu meragukannya." "Aku sudah menjelaskan itu, tapi Bang Robi tetap tidak mempercayainya. Aku minta maaf, Sayang." Nia yang sudah kesal dengan sikap keluarga Rafli. Langsung berjalan ke arah lemari untuk mengambil buku yang diminta oleh suaminya. Dan langsung menyerahkannya pada Rafli. "Katakan pada keluargamu, jika mereka tidak mengakui anak ini aku tidak masalah. Karena bagiku pengakuan dari mereka tidak penting," ucap Nia sambil menyerahkan buku itu. "Iya, ya sudah aku akan keluar sebentar untuk menunjukkan buku ini pada Abangku," ucap Rafli sambil langsung berjalan keluar kamar. "Aku pikir keluarga Mas Rafli semakin hari semakin membuatku tidak nyaman, tapi bagaimanapun
"Apa, istri saya harus dirujuk ke rumah sakit besar!" teriak Rafli yang terlihat terkejut. "Maaf, apa tidak ada cara lain selain dirujuk?" tanya Nia yang saat itu menggendong Tiara. "Tidak bisa, Bu. Ibu harus mendapatkan penanganan secara serius dan pemeriksaan Laboratorium, kebetulan di Puskesmas ini belum tersedia Laboratorium." "Bagaimana dengan Tiara jika aku harus dirawat di Rumah sakit," batin Nia sambil menatap Tiara yang sedang terlelap di gendongannya. "Apa Ibu Nia punya kartu kesehatan? Biar saya buatkan surat pengantar," ucap Dokter tersebut. "Ada, Dok. " Rafli langsung memberikan kartu kesehatan Nia. "Mas, aku tidak mau ke Rumah sakit." "Kita tidak ada pilihan lain, kamu harus segera mendapat penanganan, kamu harus yakin semua pasti akan baik-baik saja," jawab Rafli sambil menggegam tangan Nia. "Tapi bagaimana dengan Tiara, siapa yang merawatnya saat aku di rumah sakit." Wajahnya terlihat khawatir sambil menatap sang putri. Setelah menerima surat pengantar
"Kamu pikir aku pembantumu atau baby sitter anak itu! Yang harus menunggu dan meminta izin kalian untuk pergi!" bentak Yola sambil bertolak pinggang. "Bukan begitu. Kak, tapi paling tidak tunggu atau hubungi aku, tidak meninggalkan Tiara seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?" ucap Rafli. "Makanya punya anak itu dijaga, bukannya di tinggal-tinggal." "Kak Yola! Kakak pikir aku dan Nia rekreasi. Kami ke rumah sakit, bahkan saat ini dia harus dirawat. Apa tidak bisa Kakak bersimpati sedikit padanya?" jelas sang adik. "Diam! Ada apa ini, kenapa kalian bertengkar seperti itu." Tiba-tiba Robi masuk kedalam rumah. "Lihat apa yang sudah diperbuat adik kesayanganmu, sejak kecil aku yang merawatnya. Tapi apa balasannya sekarang? Dia justru membenciku seperti itu," jawab Yola sambil menangis. "Rafli! Apa-apaan kamu? Sejak kamu menikah dengan perempuan tidak jelas itu, kamu jadi berubah. Dipikiranmu hanya wanita itu, bahkan sekarang kamu tega membentak orang yang sudah
Shafira yang selama ini tidak terdengar kabarnya. Tiba-tiba menghubunginya. Nia yang mengetahui siapa orang yang menghubunginya dia terlihat terkejut. [Shafira, apa ada yang bisa aku bantu?] tanya Nia. [Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu,] jawabnya yang terdengar ragu. [Apa yang kamu katakan.][Aku ingin Ibu mengembalikan putriku, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat merindukan putriku,] jelasnya dengan suara bergetar. [Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Tiara padamu, dia putriku. Aku yang merawatnya dari kecil, aku juga yang sudah begadang dan menangisinya setiap dia sakit!] bentak Nia sambil mulai menangis. [Tidak bisa. Bu, kalian harus terima kenyataan jika Tiara adalah putri kandungku. Bukan anak kalian."] Nia yang ketakutan langsung menutup ponselnya. Dengan segera dia menggendong Tiara yang masih tertidur pulas. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. "Dia putriku, bukan milik orang lain. Mas Rafli, ya aku harus bicara dengan Mas Rafli." Nia segera keluar
"Yuni." Rafli terlihat terkejut saat melihat Yuni sudah berada di depan bengkelnya."Yuni. Jadi wanita ini mantan kekasih Mas Rafli," batin Nia sambil menatap Yuni.Apa yang diucapkan Rafli memang benar. Yuni adalah wanita muda yang sangat cantik. Tidak hanya Rafli yang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, Nia yang yang baru saja bertemu dengannya pun terlihat kagum."Aak. Bagaimana kabarmu?" tanya Yuni sambil langsung memeluk tubuh Rafli.Sambil melepaskan pelukan Yuni. "Aku baik-baik saja.""Ini siapa?" tanya Yuni saat melihat Nia yang berdiri di samping Rafli sambil menggendong putrinya.
"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Nia saat melihat sang suami masih sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya. "Aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu," jawab Riko tanpa mempedulikan Nia yang berdiri di hadapannya. "Mengundurkan diri! Kenapa kamu berhenti dari pekerjaan itu, Mas?” tanya Nia yang terlihat terkejut mendengar jawaban Riko. “Aku lelah dan bosan jika hanya menjadi pembantu orang, aku ingin punya usaha sendiri." Riko menoleh ke arah Nia dengan wajah sinis. "Bosan, lelah? Mas, rasa bosan dan lelah itu adalah hal yang wajar. Tetapi rasa itu tidak bisa kamu jadikan alasan untuk berhenti dari pekerjaanmu, lagipula kita juga belum ada modal untuk membuka usaha," jelas Nia sambil memegang tangan Riko. Sambil berdiri dari tempat duduknya. "Dasar perempuan cerewet! Harusnya kamu itu mendukung apapun keputusan ku, bukannya bertanya yang tidak-tidak." "Bukan begitu, Mas. Sebagai istri aku akan selalu mendukungmu, tapi jika kamu tidak bekerja bagaimana kita akan menghid
Setelah mengemasi semua barang-barang. Riko pun langsung mengajaknya pergi dari rumah kontrakan itu. Riko yang sudah tidak bekerja lagi kini memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya. Nia yang kini sudah ada di depan rumah keluarga Riko terlihat terkejut. Pasalnya dia tahu pasti jika keluarga suaminya akan membenci keberadaannya. Persis seperti pertama kali dia datang ke rumah itu 7 tahun yang lalu. "Jadi kamu menyuruhku membereskan barang-barang kita karena kamu ingin mengajakku tinggal bersama orang tuamu," ucap Nia sambil menggendong Sandi. "Iya, aku sudah tidak bekerja jadi menurutku lebih baik kita tinggal disini saja," jawab Riko yang langsung mengangkat beberapa tas koper. "Tapi, Mas …." "Kenapa? Kamu tidak suka. Jika kamu tidak suka, kamu bisa tinggal bersama orang tuamu!" perintah Riko yang langsung berjalan masum ke rumah.Jarak rumah Riko dengan rumah kontrakan mereka tidak begitu jauh. Masih dalam satu komplek perumahan tapi beda Rt. Riko memang terlahir dari keluar
Nia yang tidak merasa pernah melakukan pengajuan kredit apapun langsung menolak untuk membayar tagihan tersebut. Keributan kecil itu ternyata didengar oleh Sukma dan Sari yang saat itu sedang menonton televisi di dalam rumah. Saat keduanya keluar terlihat Nia sedang berdebat dengan dua dekoleptor tersebut. "Ada apa ini?!" bentak Sukma yang baru saja keluar dari rumah. "Ini Bu. Dua laki-laki ini datang kemari untuk meminta uang angsuran motor yang belum terbayarkan selama 4 bulan lebih," jawab Nia sambil menunjukkan surat kepada Sukma. "Kredit motor." Sukma terlihat membaca surat itu dengan seksama. "Benar. Di surat itu tertulis jika Ibu Nia telah melakukan pembelian motor kepada kami, dan ini sudah hampir 5 bulan dia menunggak pembayaran." jawab salah satu dekoleptor. Setelah mendengar penjelasan sang depkolektor wajah Sukma langsung terlihat kesal. Terlihat jelas jika dia sedang menahan amarah yang besar kepada sang menantu. Sambil menyerahkan kertas itu kepada Nia, Sukma langsu
"Yuni." Rafli terlihat terkejut saat melihat Yuni sudah berada di depan bengkelnya."Yuni. Jadi wanita ini mantan kekasih Mas Rafli," batin Nia sambil menatap Yuni.Apa yang diucapkan Rafli memang benar. Yuni adalah wanita muda yang sangat cantik. Tidak hanya Rafli yang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, Nia yang yang baru saja bertemu dengannya pun terlihat kagum."Aak. Bagaimana kabarmu?" tanya Yuni sambil langsung memeluk tubuh Rafli.Sambil melepaskan pelukan Yuni. "Aku baik-baik saja.""Ini siapa?" tanya Yuni saat melihat Nia yang berdiri di samping Rafli sambil menggendong putrinya.
Shafira yang selama ini tidak terdengar kabarnya. Tiba-tiba menghubunginya. Nia yang mengetahui siapa orang yang menghubunginya dia terlihat terkejut. [Shafira, apa ada yang bisa aku bantu?] tanya Nia. [Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu,] jawabnya yang terdengar ragu. [Apa yang kamu katakan.][Aku ingin Ibu mengembalikan putriku, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat merindukan putriku,] jelasnya dengan suara bergetar. [Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Tiara padamu, dia putriku. Aku yang merawatnya dari kecil, aku juga yang sudah begadang dan menangisinya setiap dia sakit!] bentak Nia sambil mulai menangis. [Tidak bisa. Bu, kalian harus terima kenyataan jika Tiara adalah putri kandungku. Bukan anak kalian."] Nia yang ketakutan langsung menutup ponselnya. Dengan segera dia menggendong Tiara yang masih tertidur pulas. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. "Dia putriku, bukan milik orang lain. Mas Rafli, ya aku harus bicara dengan Mas Rafli." Nia segera keluar
"Kamu pikir aku pembantumu atau baby sitter anak itu! Yang harus menunggu dan meminta izin kalian untuk pergi!" bentak Yola sambil bertolak pinggang. "Bukan begitu. Kak, tapi paling tidak tunggu atau hubungi aku, tidak meninggalkan Tiara seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?" ucap Rafli. "Makanya punya anak itu dijaga, bukannya di tinggal-tinggal." "Kak Yola! Kakak pikir aku dan Nia rekreasi. Kami ke rumah sakit, bahkan saat ini dia harus dirawat. Apa tidak bisa Kakak bersimpati sedikit padanya?" jelas sang adik. "Diam! Ada apa ini, kenapa kalian bertengkar seperti itu." Tiba-tiba Robi masuk kedalam rumah. "Lihat apa yang sudah diperbuat adik kesayanganmu, sejak kecil aku yang merawatnya. Tapi apa balasannya sekarang? Dia justru membenciku seperti itu," jawab Yola sambil menangis. "Rafli! Apa-apaan kamu? Sejak kamu menikah dengan perempuan tidak jelas itu, kamu jadi berubah. Dipikiranmu hanya wanita itu, bahkan sekarang kamu tega membentak orang yang sudah
"Apa, istri saya harus dirujuk ke rumah sakit besar!" teriak Rafli yang terlihat terkejut. "Maaf, apa tidak ada cara lain selain dirujuk?" tanya Nia yang saat itu menggendong Tiara. "Tidak bisa, Bu. Ibu harus mendapatkan penanganan secara serius dan pemeriksaan Laboratorium, kebetulan di Puskesmas ini belum tersedia Laboratorium." "Bagaimana dengan Tiara jika aku harus dirawat di Rumah sakit," batin Nia sambil menatap Tiara yang sedang terlelap di gendongannya. "Apa Ibu Nia punya kartu kesehatan? Biar saya buatkan surat pengantar," ucap Dokter tersebut. "Ada, Dok. " Rafli langsung memberikan kartu kesehatan Nia. "Mas, aku tidak mau ke Rumah sakit." "Kita tidak ada pilihan lain, kamu harus segera mendapat penanganan, kamu harus yakin semua pasti akan baik-baik saja," jawab Rafli sambil menggegam tangan Nia. "Tapi bagaimana dengan Tiara, siapa yang merawatnya saat aku di rumah sakit." Wajahnya terlihat khawatir sambil menatap sang putri. Setelah menerima surat pengantar
"Buku kelahiran. Untuk apa?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Bang Robi memintaku untuk membawa buku itu padanya. Dia bilang kalau dia ingin melihat buku itu," jawabnya sambil terlihat ragu. Sambil berdiri di hadapan sang suami. "Jadi keluarga mu ragu akan anak ini, apa karena dia jelek jadi keluargamu meragukannya." "Aku sudah menjelaskan itu, tapi Bang Robi tetap tidak mempercayainya. Aku minta maaf, Sayang." Nia yang sudah kesal dengan sikap keluarga Rafli. Langsung berjalan ke arah lemari untuk mengambil buku yang diminta oleh suaminya. Dan langsung menyerahkannya pada Rafli. "Katakan pada keluargamu, jika mereka tidak mengakui anak ini aku tidak masalah. Karena bagiku pengakuan dari mereka tidak penting," ucap Nia sambil menyerahkan buku itu. "Iya, ya sudah aku akan keluar sebentar untuk menunjukkan buku ini pada Abangku," ucap Rafli sambil langsung berjalan keluar kamar. "Aku pikir keluarga Mas Rafli semakin hari semakin membuatku tidak nyaman, tapi bagaimanapun
"Maaf, Sus. Dimana pasien bernama Shafira, kenapa dia tidak ada di kamarnya?" tanya Nia pada seorang Perawat yang ada di meja resepsionis. "Ibu Shafira sudah dibawa ke ruang bersalin, karena beliau sudah mengalami pembukaan sempurna dan akan segera melahirkan," jawab Perawat tersebut. "Kalau begitu kamu tunggu disini saja, biar aku masuk ke ruang bersalin untuk menemaninya." Nia memegang tangan suaminya. "Kamu yakin bisa mengatasinya?" tanya Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh sang istri. Setelah meminta izin pada suaminya. Nia langsung berjalan ke arah ruang bersalin. Terlihat Shafira sedang menangis dan berteriak kesakitan diatas sebuah tempat tidur. "Sakit, Bu. Aku tidak mau disini, aku mau pulang!" teriak Shafira sambil menggegam tangan Nia. "Sabar ya, Mbak. Istighfar insya Allah semuanya akan baik-baik saja," ucap Nia yang memandang wanita itu dengan iba. "Aku tidak mau, Bu. Aku mau pulang! Mama tolong aku,Ma." Shafira terus berteriak sambil memanggil nama orang
“Rumah bersalin," bisik Nia saat melihat sebuah papan nama. "Kenapa kita kemari? Apa ada yang melakukan persalinan." Nia langsung menoleh ke arah Rafli. Sambil melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di dadanya. "Nanti juga kamu tahu, oh ya. Jangan lupa bawa tas yang ada di bagasi belakang." Nia yang masih belum paham dengan tujuan suaminya itu hanya bisa mengikuti perintah Rafli. Di bagasi belakang terlihat sebuah tas bayi dan beberapa peralatan bayi yang sepertinya sudah sengaja di siapkan oleh Rafli. Seketika timbul pertanyaan di benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Tas bayi, sebenarnya siapa yang akan melahirkan. Apa jangan-jangan suamiku selama ini sudah berselingkuh di belakangku," batin Nia sambil menatap ke arah tas itu dengan pandangan kosong. Sambil berjalan ke arah Nia. "Kenapa kamu masih disini, ayo! Mereka sudah menunggu kedatangan kita." "Tunggu, Mas. Sebenarnya ada apa ini, siapa yang melahirkan?" tanya Nia sambil memegang tangan suaminya. "
Sejak saat itu Rafli terlihat begitu gelisah. Bahkan setiap malam dia selalu menghabiskan waktu dengan ponselnya. Sebenarnya ada rasa kesal dalam hati Nia saat itu, karena dia berpikir disaat genting seperti ini suaminya masih bisa bersikap santai. "Aku pergi dulu, kamu di kamar saja!" perintah Rafli sambil mencium kening istrinya dan berjalan keluar. "Kamu mau kemana, Mas … ." Belum juga Nia selesai bicara Rafli sudah keluar dari kamar. "Kemana dia, apa jangan-jangan Mas Rafli sudah mendapatkan wanita lain untuk menggantikanku," ucap Nia dengan pandangan bingung. Hari itu tidak banyak yang dilakukannya selain ke bengkel untuk memasak dan mencuci baju. Rafli yang sangat paham dengan sifat kakaknya memang melarang Nia untuk menggunakan yang ada di rumah itu. Jadi tidak heran jika Nia lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel. “Mas Rafli kemana ya, kenapa sampai jam segini dia belum pulang. Bahkan ponselnya tidak dapat di hubungi,” ucap Nia sambil melihat ponselnya. ***
“Rafli berhenti! Aku sudah bilang Yanto tidak ada di rumah, sejak semalam dia tidak pulang!" teriak Yola. "Kamu benar-benar di butakan oleh cintamu pada brondong itu, hingga sulit bagimu melihat mana yang benar dan mana yang salah!" bentak Rafli sambil menendang sebuah meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku? Kamu yang udah buta, kamu lebih mementingkan istri mu daripada aku. Kakak mu sendiri." Yola terlihat benar-benar kecewa dengan sikap Rafli. Pertengkaran Yola dan Rafli ternyata terdengar oleh Nia yang masih berada di bengkel. Merasa khawatir dengan Rafli yang tidak dapat mengontrol emosinya. Nia langsung menutup bengkelnya dan berjalan ke arah rumah. "Sudah, Mas. Jangan diperpanjang lagi, tidak enak jika sampai di dengar orang lain." Nia menggandeng tangan suaminya. "Tidak bisa, laki-laki itu harus mendapatkan pelajaran atas kesalahannya hari ini," ucap Rafli sambil menoleh ke arah sang istri. "Eh perempuan benalu! Apa saja yang kamu katakan sampai adikku