"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Nia saat melihat sang suami masih sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.
"Aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu," jawab Riko tanpa mempedulikan Nia yang berdiri di hadapannya. "Mengundurkan diri! Kenapa kamu berhenti dari pekerjaan itu, Mas?” tanya Nia yang terlihat terkejut mendengar jawaban Riko. “Aku lelah dan bosan jika hanya menjadi pembantu orang, aku ingin punya usaha sendiri." Riko menoleh ke arah Nia dengan wajah sinis. "Bosan, lelah? Mas, rasa bosan dan lelah itu adalah hal yang wajar. Tetapi rasa itu tidak bisa kamu jadikan alasan untuk berhenti dari pekerjaanmu, lagipula kita juga belum ada modal untuk membuka usaha," jelas Nia sambil memegang tangan Riko. Sambil berdiri dari tempat duduknya. "Dasar perempuan cerewet! Harusnya kamu itu mendukung apapun keputusan ku, bukannya bertanya yang tidak-tidak." "Bukan begitu, Mas. Sebagai istri aku akan selalu mendukungmu, tapi jika kamu tidak bekerja bagaimana kita akan menghidupi anak-anak dan membayar sewa rumah ini?" jawab Nia."Kamu pikir aku ini sapi perahan yang harus selalu bekerja untukmu!" bentak Riko sambil bertolak pinggang."Bukan begitu, Mas. Tapi masalahnya saat ini kita butuh banyak uang untuk menghidupi keluarga kita." "Ya sudah, kalau begitu kamu saja yang kerja. Bereskan!" bentak Riko sambil berjalan meninggalkan sang istri. Riko yang kesal dengan ocehan sang istri langsung memutuskan untuk pergi ke rumah orang tuanya. Nia yang merasa tidak ada kesempatan untuk bicara dengan Riko hanya bisa duduk di lantai yang beralaskan karpet. Sesaat Nia terdiam mengingat kejadian 9 tahun yang lalu. Nia yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA memutuskan menghabiskan masa libur sekolahnya di rumah saudaranya yang bernama Novi. Suatu malam, Novi yang saat itu mengenal Riko dari sebuah akun media sosial mengajak Nia untuk menemui Riko di sebuah alun-alun kota Surabaya. Pertemuan itulah yang ternyata membuat Riko dan Nia akhirnya saling jatuh cinta. Sambil menatap layar ponselnya. "Nomor siapa ini." Terlihat sebuah pesan singkat tanpa nama masuk ke ponsel Nia. Ada rasa penasaran dalam hati Nia saat melihat pesan tersebut. Pasalnya selama ini dia tidak pernah memberitahukan nomor ponselnya kepada siapa saja. "Maaf ini dengan siapa?" tanya Nia dalam sebuah pesan singkat. "Ini aku. Riko, bagaimana kabarmu?" jawab Riko sambil memberikan emoticon senyum. "Riko! Bagaimana dia bisa tahu nomorku?" ucap Nia sambil menatap layar ponselnya. "Baik. Kamu tahu nomor ponselku dari mana?" tanya Nia dengan rasa penasaran. "Dari Novi, aku sengaja meminta nomer mu karena aku ingin mengenalmu lebih dekat," jawab Riko. Hubungan yang berawal dari sebuah pesan singkat itu kini berubah menjadi hubungan di dunia nyata. Riko yang saat itu tinggal di kota Surabaya kini sering mengunjungi Nia yang saat itu tinggal di kota Malang. Hingga suatu hari Riko yang berusia 5 tahun lebih tua dari Nia mengajak gadis remaja tersebut ke sebuah losmen yang ada di kota itu. “Kenapa kita ke sini, Mas?" tanya Nia yang sambil melihat ke sekeliling losmen. "Aku hanya ingin istirahat sebentar saja, perjalanan dari Surabaya ke Malang benar-benar membuatku lelah." Riko terlihat langsung berjalan ke arah sebuah kamar. Nia yang sangat mencintai sang kekasih tidak menaruh curiga atas ajakan Riko. Setelah keduanya masuk Riko pun langsung mengunci pintu kamar. Perlahan Riko menghampiri Nia yang saat itu duduk di tempat tidur sambil memperhatikan seisi kamar. "Nia, apa kamu mencintaiku?" tanya Riko sambil menggegam tangan Nia. "Aku sangat mencintaimu, Mas. Tapi ….""Tapi apa, Nia?" tanya Riko dengan penasaran. Entah setan apa yang merasuki Riko siang itu, hingga dia tega merusak masa depan gadis yang dicintainya. Riko yang sudah terbawa nafsu setan langsung mengulum bibir ranum Nia dengan lembut. Kedua tangan yang sejak tadi mengegam tangan Nia perlahan lepas dan kini mulai meremas kedua bukit kembar Nia. "Jangan, Mas!" perintah Nia sambil melepaskan tangan Riko dari dadanya. "Kenapa, Nia? Bukankah kamu mencintaiku," tanya Riko sambil menatap kedua mata Nia. "Aku memang mencintaimu, Mas. Tapi bukan begini cara ku untuk menunjukkan rasa cintaku, lagi pula aku takut jika apa yang kita lakukan ini akan membuatku hamil.""Kamu tenang saja, Sayang. Aku janji akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padamu," bisik Riko yang langsung kembali mengulum bibir Nia. Siang itu menjadi hari yang panas bagi Riko dan Nia. Cumbuan, belaian dan kecupan di berikan Riko pada setiap lekuk tubuh Nia. Nia yang awalnya berusaha menolak kini mulai merasakan kenikmatan yang diberikan sang kekasih. Desahan kenikmatan mulai terdengar dari mulut kedua anak manusia itu. Sprei putih dan kamar losmen yang sempit menjadi saksi bisu hilangnya kesucian Nia. Bercak darah menjadi tanda robeknya kesucian Nia siang itu. Hampir tiga puluh menit keduanya larut dalam percintaan panas, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. ***Sambil menatap ke arah tespek yang ada di tangan. "Ya ampun ternyata aku positif hamil! Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang." Nia yang mengetahui jika dirinya hamil langsung menghubungi Riko dan memintanya untuk bertanggung jawab. Beruntungnya Riko yang mendengar berita kehamilan sang kekasih langsung bersedia tanggung jawab. Siang itu, Riko sengaja datang ke rumah Nia untuk bertemu dengan orang tua sang kekasih. Dengan wajah takut dan gugup Riko dan Nia akhirnya menceritakan kehamilannya kepada mereka. berita kehamilan Nia jelas saja membuat orang tuanya marah besar. Terlebih Ayah Nia, dengan cepat dia langsung berdiri dan menampar pipi sang putri. "Dasar anak tidak tahu diri! Bisa-bisanya kamu melemparkan kotoran di wajah kami," bentak Budi sambil menatap wajah Nia dengan penuh amarah. "Ampuni Nia, Ayah. Nia benar-benar khilaf," jawab Nia sambil menangis. "Maaf, Pak. Masalah ini bukan kesalahan Nia, ini semua salah saya karena saya tidak bisa mengendalikan hawa nafsu saya," ucap Riko sambil memeluk pundak Nia. Kehamilan itulah yang akhirnya membuat Nia terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya dan menikah dengan Riko. Setelah pernikahan Riko dan Nia dilakukan secara sederhana. Riko pun akhirnya mengajaknya untuk tinggal bersama keluarga besarnya. Hampir satu jam Nia melamun mengingat masa lalu yang pahit. Hingga tiba-tiba dia dikejutkan dengan bentakan sang suami yang baru saja datang. Nia yang baru sadar dari lamunan panjangnya terlihat terkejut saat melihat Riko sudah berdiri di hadapannya. "Nia! Dasar tuli, apa kamu tidak ada pekerjaan lain selain melamun dan menangis! " bentak Riko sambil menendang kaki sang istri. "Maaf, Mas. Aku hanya berpikir apa yang harus kita lakukan nanti," jawab Nia sambil mengusap air matanya."Dimana-mana orang itu bergerak, bukan melamun. Kalau hanya melamun dan menangis itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang lebih baik kamu cepat kemasi barang-barang kita!" perintah Riko dengan nada tinggi. "Berkemas! Memangnya kita mau pergi kemana?" tanya Nia penasaran. "Sudah kamu tidak perlu tahu, lebih baik cepat bereskan semua barang-barang kita!" ucap Riko sambil duduk di lantai.Setelah mengemasi semua barang-barang. Riko pun langsung mengajaknya pergi dari rumah kontrakan itu. Riko yang sudah tidak bekerja lagi kini memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya. Nia yang kini sudah ada di depan rumah keluarga Riko terlihat terkejut. Pasalnya dia tahu pasti jika keluarga suaminya akan membenci keberadaannya. Persis seperti pertama kali dia datang ke rumah itu 7 tahun yang lalu. "Jadi kamu menyuruhku membereskan barang-barang kita karena kamu ingin mengajakku tinggal bersama orang tuamu," ucap Nia sambil menggendong Sandi. "Iya, aku sudah tidak bekerja jadi menurutku lebih baik kita tinggal disini saja," jawab Riko yang langsung mengangkat beberapa tas koper. "Tapi, Mas …." "Kenapa? Kamu tidak suka. Jika kamu tidak suka, kamu bisa tinggal bersama orang tuamu!" perintah Riko yang langsung berjalan masum ke rumah.Jarak rumah Riko dengan rumah kontrakan mereka tidak begitu jauh. Masih dalam satu komplek perumahan tapi beda Rt. Riko memang terlahir dari keluar
Nia yang tidak merasa pernah melakukan pengajuan kredit apapun langsung menolak untuk membayar tagihan tersebut. Keributan kecil itu ternyata didengar oleh Sukma dan Sari yang saat itu sedang menonton televisi di dalam rumah. Saat keduanya keluar terlihat Nia sedang berdebat dengan dua dekoleptor tersebut. "Ada apa ini?!" bentak Sukma yang baru saja keluar dari rumah. "Ini Bu. Dua laki-laki ini datang kemari untuk meminta uang angsuran motor yang belum terbayarkan selama 4 bulan lebih," jawab Nia sambil menunjukkan surat kepada Sukma. "Kredit motor." Sukma terlihat membaca surat itu dengan seksama. "Benar. Di surat itu tertulis jika Ibu Nia telah melakukan pembelian motor kepada kami, dan ini sudah hampir 5 bulan dia menunggak pembayaran." jawab salah satu dekoleptor. Setelah mendengar penjelasan sang depkolektor wajah Sukma langsung terlihat kesal. Terlihat jelas jika dia sedang menahan amarah yang besar kepada sang menantu. Sambil menyerahkan kertas itu kepada Nia, Sukma langsu
Tidak berapa lama Nia dan Riko sudah tiba di sebuah hotel mewah yang ada di kota Surabaya. Sesaat Nia terlihat bingung saat baru saja tiba di hotel tersebut. Terlihat Nia sedang melihat sekeliling lobby hotel dengan rasa takjub. "Mas, kenapa kita ke hotel ini?" tanya Nia yang sedikit bingung. "Pertemuan memang diadakan di sini, jadi jangan buat aku malu." Riko mencoba memperingatkan Nia. "Ya Allah, besar sekali hotel ini. Sepertinya Mas Riko memang memiliki pekerjaan yang lebih baik," gumam Nia sambil melihat sekeliling hotel. Riko yang sejak tadi berdiri di loby hotel langsung meminta Nia untuk duduk di sebuah sofa. Sementara Riko langsung berjalan ke arah sebuah meja yang berjarak 50 meter dari tempat duduk Nia. Terlihat Riko sedang berbicara dengan seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun. “Mas Riko sedang bicara dengan siapa itu? Apa mungkin itu Bos besar yang dia maksud,” ucap Nia sambil memperhatikan Riko dari kejauhan. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Riko pun kemb
"Lebih baik aku menceritakan perbuatan Mas Riko pada orang tuaku," batin Nia sambi duduk di tempat tidur.Sejak pertengkaran itu, Nia akhirnya berusaha mencari solusi dengan menceritakan semua perbuatan Riko kepada orang tuanya. Harapan akan pembelaan orang tuanya ternyata hanyalah isapan jempol belakang. Bukannya mendapat pembelaan Nia justru disalahkan atas apa yang dikatakannya. "Kamu pikir Ayah percaya dengan ceritamu? Tidak, karena selama ini Ayah tidak pernah melihat keburukan pada diri Riko!" bentak Budi yang terlihat kesal. “Ayah memang tidak pernah melihat keburukan pada Riko karena selama ini dia selalu bersikap baik di depan kalian, berbeda saat dia ada dirumahnya!” teriak Nia sambil menangis. “Nia, jaga ucapanmu! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu menjadi wanita pembangkang, apalagi pada suami,” bentak Budi yang langsung menampar pipi sang putri. "Nia, semua masalah itu pasti ada di setiap rumah tangga. Tetapi Ibu yakin Riko tidak akan sampai hati menjualmu pada l
"Kalian berdua memalukan! Anak tiga saja kalian tidak mampu memberi kehidupan yang layak, sekarang malah mau punya anak lagi." Sukma masuk ke dalam rumah sambil marah-marah. "Ada apa, Bu? Pulang dari Rumah sakit malah marah-marah seperti itu?" tanya Rumi yang saat iti duduk di sofa bersama Sari. Sambil menoleh ke arah Nia dan Riko yang ada di belakangnya. "Kalian tanya saja sama saudara kalian ini." "Nia! Apa kamu tidak melakukan KB selama ini?" tanya Riko pada sang istri. "Tidak, Mas. Karena selama ini aku tidak pernah cocok setiap melakukan KB," jawab Nia sambil menunduk. "Itulah bodohnya dirimu, sudah tahu miskin masih saja sok-sokan punya anak lagi," ucap Sukma. "Riko Ibu tidak mau tahu kalian harus menggugurkan anak itu." "Apa di gugurkan? Tidak aku tidak mau mengugurkan anak ini!" bentak Nia sambil memegang perutnya. "Jadi wanita miskin ini sedang hamil, dasar tidak tahu diri. Bayakin itu uang bukan anak," ucap Sari sambil memandang Nia dengan tatapan hina. "Ibu benar, ka
"Riko! Apa kamu tidak mendengar istrimu berteriak seperti itu?" tanya Sukma yang terlihat kesal. "Halah, sudahlah. Bu, biarkan dia berteriak sesuka hati nanti kalau capek juga diam sendiri," jawab Riko sambil terus menatap ke arah televisi. "Bukan masalah dia nanti diam atau apa, tapi Ibu ini pusing mendengar teriakan istrimu. Lagi pula tidak enak jika sampai tetangga mendengarnya," ucap Sukma. "Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan, Ibu tahu sendiri aku sedang melihat acara televisi." Sambil menarik tangan Riko."Sekarang kamu masuk ke dalam dan minta istrimu untuk menghentikan teriakannya." "Tidak mau, aku masih melihat acara ini." Riko langsung menolak perintah Sukma. "Dasar anak tidak bisa di atur," gerutu Sukma sambil berjalan ke arah kamar Nia. Sukma yang baru saja membuka pintu terkejut saat melihat menantunya duduk di lantai dengan darah segar yang menggalir. Merasa khawatir Sukma langsung berteriak memanggil Riko. Hingga membuat seluruh orang yang ada di rumah itu te
"Aku akan membawa mu bertemu dengan Maya, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa syaratnya?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Yang pertama kamu tidak boleh menyakitinya, dan yang kedua setelah bertemu dengannya kamu harus mau melayani seorang tamu," jawab Riko sambil dudukdi tempat tidur. "Syarat pertama aku terima, tapi tidak dengan syarat kedua. Aku akan bekerja sebagai pembatu untuk membayar semua hutang-hutang mu," ucap Nia dengan tatapan tajam. "Tidak bisa! Kamu harus terus melayani tamu yang datang, jika tidak aku akan melaporkanmu ke Polisi. Sekaligus tidak ada pertemuan dengan Maya." Bagaimana ini, lebih baik aku iyakan saja. Semua ini aku lakukan untuk mengetahui siapa wanita bernama Maya tersebut," batin Nia sambil menatap wajah licik sang suami. "Baik, aku terima semua syarat darimu." *** Keesokan harinya, Nia dan Riko akhirya pergi ke ruma Maya. Nia yang saat itu memiliki sedikit uang pemberian ibunya. Meminta sang suami untuk berhenti di sebuah toko kue. "Assalammua
Riko yang sudah menahan amarahnya sejak tadi. Langsung menyeret Nia kedalam kamar. Dengan sadis Riko langsung mencambuk istrinya itu dengan menggunakan ikat pinggang. "Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kamu kabur dari tempat itu." Riko terus mencambuk sang istri tanpa belas kasihan. "Ampun, Mas. Aku mohon ampuni aku!" teriak Nia sambil menangis. "Kamu tahu, gara-gara kelakuanmu itu hari ini aku rugi banyak! Dan kamu harus mengganti semua kerugian itu," jelas Riko sambil terus mencambuk tubuh sang istri. "Aku janji akan membayar semua, tapi aku mohon jangan paksa aku untuk melakukan pekerjaan itu lagi. Mas, aku lebih baik menjadi pembantu daripada harus melayani laki-laki yang bukan suamiku!" teriak Nia sambil memohon. "Tutup mulutmu! Ingat aku tidak akan segan-segan menyakitimu jika kamu melaporkan hal ini pada orang lain," ancam Riko sambil menjambak rambut Nia. Sambil mengetuk pintu kamar. "Riko! Riko. Cepat buka pintu kamarnya." "Ibu, ada apa sih mengganggu sa
"Yuni." Rafli terlihat terkejut saat melihat Yuni sudah berada di depan bengkelnya."Yuni. Jadi wanita ini mantan kekasih Mas Rafli," batin Nia sambil menatap Yuni.Apa yang diucapkan Rafli memang benar. Yuni adalah wanita muda yang sangat cantik. Tidak hanya Rafli yang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, Nia yang yang baru saja bertemu dengannya pun terlihat kagum."Aak. Bagaimana kabarmu?" tanya Yuni sambil langsung memeluk tubuh Rafli.Sambil melepaskan pelukan Yuni. "Aku baik-baik saja.""Ini siapa?" tanya Yuni saat melihat Nia yang berdiri di samping Rafli sambil menggendong putrinya.
Shafira yang selama ini tidak terdengar kabarnya. Tiba-tiba menghubunginya. Nia yang mengetahui siapa orang yang menghubunginya dia terlihat terkejut. [Shafira, apa ada yang bisa aku bantu?] tanya Nia. [Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu,] jawabnya yang terdengar ragu. [Apa yang kamu katakan.][Aku ingin Ibu mengembalikan putriku, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat merindukan putriku,] jelasnya dengan suara bergetar. [Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Tiara padamu, dia putriku. Aku yang merawatnya dari kecil, aku juga yang sudah begadang dan menangisinya setiap dia sakit!] bentak Nia sambil mulai menangis. [Tidak bisa. Bu, kalian harus terima kenyataan jika Tiara adalah putri kandungku. Bukan anak kalian."] Nia yang ketakutan langsung menutup ponselnya. Dengan segera dia menggendong Tiara yang masih tertidur pulas. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. "Dia putriku, bukan milik orang lain. Mas Rafli, ya aku harus bicara dengan Mas Rafli." Nia segera keluar
"Kamu pikir aku pembantumu atau baby sitter anak itu! Yang harus menunggu dan meminta izin kalian untuk pergi!" bentak Yola sambil bertolak pinggang. "Bukan begitu. Kak, tapi paling tidak tunggu atau hubungi aku, tidak meninggalkan Tiara seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?" ucap Rafli. "Makanya punya anak itu dijaga, bukannya di tinggal-tinggal." "Kak Yola! Kakak pikir aku dan Nia rekreasi. Kami ke rumah sakit, bahkan saat ini dia harus dirawat. Apa tidak bisa Kakak bersimpati sedikit padanya?" jelas sang adik. "Diam! Ada apa ini, kenapa kalian bertengkar seperti itu." Tiba-tiba Robi masuk kedalam rumah. "Lihat apa yang sudah diperbuat adik kesayanganmu, sejak kecil aku yang merawatnya. Tapi apa balasannya sekarang? Dia justru membenciku seperti itu," jawab Yola sambil menangis. "Rafli! Apa-apaan kamu? Sejak kamu menikah dengan perempuan tidak jelas itu, kamu jadi berubah. Dipikiranmu hanya wanita itu, bahkan sekarang kamu tega membentak orang yang sudah
"Apa, istri saya harus dirujuk ke rumah sakit besar!" teriak Rafli yang terlihat terkejut. "Maaf, apa tidak ada cara lain selain dirujuk?" tanya Nia yang saat itu menggendong Tiara. "Tidak bisa, Bu. Ibu harus mendapatkan penanganan secara serius dan pemeriksaan Laboratorium, kebetulan di Puskesmas ini belum tersedia Laboratorium." "Bagaimana dengan Tiara jika aku harus dirawat di Rumah sakit," batin Nia sambil menatap Tiara yang sedang terlelap di gendongannya. "Apa Ibu Nia punya kartu kesehatan? Biar saya buatkan surat pengantar," ucap Dokter tersebut. "Ada, Dok. " Rafli langsung memberikan kartu kesehatan Nia. "Mas, aku tidak mau ke Rumah sakit." "Kita tidak ada pilihan lain, kamu harus segera mendapat penanganan, kamu harus yakin semua pasti akan baik-baik saja," jawab Rafli sambil menggegam tangan Nia. "Tapi bagaimana dengan Tiara, siapa yang merawatnya saat aku di rumah sakit." Wajahnya terlihat khawatir sambil menatap sang putri. Setelah menerima surat pengantar
"Buku kelahiran. Untuk apa?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Bang Robi memintaku untuk membawa buku itu padanya. Dia bilang kalau dia ingin melihat buku itu," jawabnya sambil terlihat ragu. Sambil berdiri di hadapan sang suami. "Jadi keluarga mu ragu akan anak ini, apa karena dia jelek jadi keluargamu meragukannya." "Aku sudah menjelaskan itu, tapi Bang Robi tetap tidak mempercayainya. Aku minta maaf, Sayang." Nia yang sudah kesal dengan sikap keluarga Rafli. Langsung berjalan ke arah lemari untuk mengambil buku yang diminta oleh suaminya. Dan langsung menyerahkannya pada Rafli. "Katakan pada keluargamu, jika mereka tidak mengakui anak ini aku tidak masalah. Karena bagiku pengakuan dari mereka tidak penting," ucap Nia sambil menyerahkan buku itu. "Iya, ya sudah aku akan keluar sebentar untuk menunjukkan buku ini pada Abangku," ucap Rafli sambil langsung berjalan keluar kamar. "Aku pikir keluarga Mas Rafli semakin hari semakin membuatku tidak nyaman, tapi bagaimanapun
"Maaf, Sus. Dimana pasien bernama Shafira, kenapa dia tidak ada di kamarnya?" tanya Nia pada seorang Perawat yang ada di meja resepsionis. "Ibu Shafira sudah dibawa ke ruang bersalin, karena beliau sudah mengalami pembukaan sempurna dan akan segera melahirkan," jawab Perawat tersebut. "Kalau begitu kamu tunggu disini saja, biar aku masuk ke ruang bersalin untuk menemaninya." Nia memegang tangan suaminya. "Kamu yakin bisa mengatasinya?" tanya Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh sang istri. Setelah meminta izin pada suaminya. Nia langsung berjalan ke arah ruang bersalin. Terlihat Shafira sedang menangis dan berteriak kesakitan diatas sebuah tempat tidur. "Sakit, Bu. Aku tidak mau disini, aku mau pulang!" teriak Shafira sambil menggegam tangan Nia. "Sabar ya, Mbak. Istighfar insya Allah semuanya akan baik-baik saja," ucap Nia yang memandang wanita itu dengan iba. "Aku tidak mau, Bu. Aku mau pulang! Mama tolong aku,Ma." Shafira terus berteriak sambil memanggil nama orang
“Rumah bersalin," bisik Nia saat melihat sebuah papan nama. "Kenapa kita kemari? Apa ada yang melakukan persalinan." Nia langsung menoleh ke arah Rafli. Sambil melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di dadanya. "Nanti juga kamu tahu, oh ya. Jangan lupa bawa tas yang ada di bagasi belakang." Nia yang masih belum paham dengan tujuan suaminya itu hanya bisa mengikuti perintah Rafli. Di bagasi belakang terlihat sebuah tas bayi dan beberapa peralatan bayi yang sepertinya sudah sengaja di siapkan oleh Rafli. Seketika timbul pertanyaan di benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Tas bayi, sebenarnya siapa yang akan melahirkan. Apa jangan-jangan suamiku selama ini sudah berselingkuh di belakangku," batin Nia sambil menatap ke arah tas itu dengan pandangan kosong. Sambil berjalan ke arah Nia. "Kenapa kamu masih disini, ayo! Mereka sudah menunggu kedatangan kita." "Tunggu, Mas. Sebenarnya ada apa ini, siapa yang melahirkan?" tanya Nia sambil memegang tangan suaminya. "
Sejak saat itu Rafli terlihat begitu gelisah. Bahkan setiap malam dia selalu menghabiskan waktu dengan ponselnya. Sebenarnya ada rasa kesal dalam hati Nia saat itu, karena dia berpikir disaat genting seperti ini suaminya masih bisa bersikap santai. "Aku pergi dulu, kamu di kamar saja!" perintah Rafli sambil mencium kening istrinya dan berjalan keluar. "Kamu mau kemana, Mas … ." Belum juga Nia selesai bicara Rafli sudah keluar dari kamar. "Kemana dia, apa jangan-jangan Mas Rafli sudah mendapatkan wanita lain untuk menggantikanku," ucap Nia dengan pandangan bingung. Hari itu tidak banyak yang dilakukannya selain ke bengkel untuk memasak dan mencuci baju. Rafli yang sangat paham dengan sifat kakaknya memang melarang Nia untuk menggunakan yang ada di rumah itu. Jadi tidak heran jika Nia lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel. “Mas Rafli kemana ya, kenapa sampai jam segini dia belum pulang. Bahkan ponselnya tidak dapat di hubungi,” ucap Nia sambil melihat ponselnya. ***
“Rafli berhenti! Aku sudah bilang Yanto tidak ada di rumah, sejak semalam dia tidak pulang!" teriak Yola. "Kamu benar-benar di butakan oleh cintamu pada brondong itu, hingga sulit bagimu melihat mana yang benar dan mana yang salah!" bentak Rafli sambil menendang sebuah meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku? Kamu yang udah buta, kamu lebih mementingkan istri mu daripada aku. Kakak mu sendiri." Yola terlihat benar-benar kecewa dengan sikap Rafli. Pertengkaran Yola dan Rafli ternyata terdengar oleh Nia yang masih berada di bengkel. Merasa khawatir dengan Rafli yang tidak dapat mengontrol emosinya. Nia langsung menutup bengkelnya dan berjalan ke arah rumah. "Sudah, Mas. Jangan diperpanjang lagi, tidak enak jika sampai di dengar orang lain." Nia menggandeng tangan suaminya. "Tidak bisa, laki-laki itu harus mendapatkan pelajaran atas kesalahannya hari ini," ucap Rafli sambil menoleh ke arah sang istri. "Eh perempuan benalu! Apa saja yang kamu katakan sampai adikku