Pagi itu, Bram yang tengah mengaitkan kancing kemeja di bagian lengan, langsung menoleh dengan kedua alis terangkat saat mendengar suara muntahan dari arah kamar mandi. Bram yakin itu suara Tiara, karena melalui kaca di depannya tadi ia bisa melihat istrinya itu terburu-buru memasuki kamar mandi. Awalnya Bram ingin tetap bersikap acuh, berpikir mungkin Tiara sedang kurang enak badan, atau yang lebih parahnya lagi istrinya itu sedang mencari perhatiannya karena putus asa selalu diabaikan. Namun, berjalan sepersekian menit, suara muntahan terdengar semakin keras, dan kering seolah tidak ada apapun yang melewati kerongkongan.Lama tercenung, akhirnya Bram memutuskan mendekat. Selain pendengarannya yang mulai terusik, rupanya hati kecil Bram memberi sinyal agar kakinya bergerak memasuki kamar mandi. "Ck, kalau sakit kenapa tidak istirahat saja," gerutunya. Alih-alih mengusap punggung Tiara atau membantu memegangi rambut wanita itu yang terurai ke depan. Bram hanya berdiri di ambng pintu d
"Kita mau kemana mas?"Sari duduk gelisah di samping kemudi, sejak meninggalkan kediaman Bram, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Thomas. Pria itu memilih bungkam dengan raut wajah sedingin puncak gunung Denali. Sari heran, pasalnya sejak hari itu Thomas selalu bertingkah dingin dan terkesan acuh padanya. Berbanding terbalik dari waktu sebelumnya. Walaupun sebelumnya Sari sempat kesal karena pria itu telah melihat lekuk tubuhnya, setidaknya selain Tiara, Thomas tuan rumah yang ramah padanya.Tapi kini, keadaan telah berubah. Hari itu satu bulan lalu, dengan raut marah Thomas memberinya beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Sari hanya anak angkat keluarga Subrata. Namun, untuk apa dan atas dasar apa pria itu menelusuri jati dirinya, belum Sari ketahui pasti. Sebab, Sari sendiri seolah mengingkari bahwa kedua orang tua yang selama ini begitu ia sayangi ternyata hanya orang tua angkat."Turun!" Sari terkesiap, selain suara lirih Thomas yang penuh ketegasan, dimana mobil pri
Tidak tahu harus bagaimana lagi Sari menyakinkan ketiga wanita itu, sementara dua diantara masih sibuk mempoles wajahnya. Entah akan seperti apa hasilnya nanti. Semua usaha semeyakinkan mungkin sudah gadis itu upayakan, bahwa dirinya tidak perlu melakukan persiapan apapun, cukup mengenakan seragam pelayan dan menguncir kuda rambutnya, maka semua akan beres. Tapi, nyatanya ketiga wanita itu tetap memaksa melakukan kehendak mereka, penolakan Sari tidak sekalipun digubris. "Apa perlu sedetail ini?" gerutunya semakin kesal saat bulu mata palsu yang memiliki jargon anti badai, tengah ditempelkan ke pangkal bulu matanya yang tak seberapa panjang, membuat kelopak matanya terasa lebih berat. "Dan ini, kenapa harus menggunakan benda gatal ini, apa kalian tidak melihat. Air mataku terus saja menetes sejak benda ini terpasang." Rasanya Sari tidak lagi bisa menahan diri, semua alat penunjang kecantikan itu membuatnya tidak nyaman."Maaf, nyonya. Karena bentuk mata anda sedikit sipit, kami terpak
"Keterlaluan! dianggap apa aku ini. Bagaimana bisa dia menikah hari ini sementara aku tidak tahu apapun!" Bram meradang begitu membaca pesan singkat dari Thomas. Bahkan dasi yang sudah terpasang rapi kembali dilonggarkan karena terasa mencekik leher. Merasa tidak dianggap mengingat tinggal dirinya satu- satunya keluarga yang tersisa, membuat darah dalam Bram mendidih. Bagaimana tidak, Thomas memintanya untuk hadir menyaksikan prosesi sakral pria itu tanpa basa-basi hanya lewat pesan singkat. Semenatra mereka saja masih tinggal di atap yang sama. Bukan hal mustahil jika keduanya saling berinteraksi setiap harinya, bukan? Bahkan semalam saja, mereka masih membicarakan proyek yang saat ini sedang Thomas tangani, dan sialnya pria itu tetap bersikap normal seolah tidak merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya. "Ada apa? Kenapa berteriak?" Tiara datang tergopoh, kekhawatiran kentara jelas di wajahnya. Saat baru memasuki kamar, ia mendengar suara Bram melengking tinggi dari walk in cl
Tiara semakin mengeratkan rangkulan di lengan Bram, sejujurnya ia merasa sudah tidak nyam sejak memasuki gedung. Namun, mengingat yang menikah adik iparnya, dan demi memastikan reaksi Sari apakah gadis itu bahagia. Tiara memaksakan diri hadir, apalagi Nana tidak mau di ikut. Putrinya itu lebih mementingkan kelas melukisnya daripada menghadiri pesta sang paman."Kenapa? kau merasa tidak nyaman?" Menyadari kegelisahan Tiara, Bram menghentikan langkahnya. Senyum kaku Tiara tunjukkan, berusaha menutupi, tapi dari raut wajahnya yang berubah pucat Bram tahu apa yang istrinya itu inginkan. "Aku antar ke toilet." Tak butuh jawaban, Bram langsung berbelok arah. Dan, benar saja baru memasuki lorong menuju toilet, Tiara melepaskan tangan Bram lalu berlari memasuki toilet tanpa memperhatikan petunjuk."Woi! asal masuk aja, kamu gak bisa baca kalau ini toilet pria." Tiara yang terhenyak langsung berbalik badan agar tidak melihat apa yang ketiga pria lakukan. Dan sialnya, rasa mual semakin tidak
Pesta yang sebelumnya terlihat mengagumkan, kini nampak menyesakkan bagi Sari. Bahkan meski sekarang ia diajak untuk menari di panggung dansa-pun, Sari tak yakin apakah dirinya benar-benar bisa bergerak apik. Jika hati tidak lagi menginginkan. 'Bahkan dia tidak mengundang mereka,' batin Sari getir setelah mengamati sekilas tamu yang hadir, dan tidak mendapati keberadaan kedua orang tuanya. Atau paling tidak ibunya saja sudah lebih dari cukup, karena memang ayahnya yang lumpuh akan dianggap merepotkan. Namun ternyata, semua hanya harapan yang tak mungkin jadi nyata. Dan, satu hal yang pasti, Thomas telah berubah."Tunjukkan ekspresi senormal mungkin, atau kau mau tamuku berpikir jika aku memaksamu." Sari menoleh, dan langsung tertegun saat mendapati wajah dingin Thomas."Bukannya memang itu yang terjadi," balas Sari pelan nyaris seperti bisikan. "Bahkan sampai detik ini aku masih belum mengerti dengan apa yang kamu sampaikan mas. Otak dangkalku masih belum bisa mencerna semuanya, mani
"Kamu sudah pulang?" Suara serak Tiara terdengar seiring lengan kekar menyelinap masuk ke dalam selimut, dan mengusap perut ratanya dari belakang. Meski tidak menimbulkan suara apapun, tapi Tiara yakin jika sosok yang tengah memeluknya dari belakang itu, tak lain Bram.Dulu, tiga tahun bersama, dan kini kembali bersama setelah berpisah walau enam tahun lamanya. Tapi Tiara sangat mengenal aroma maskulin pria itu. Terlebih, Bram yang dulu maupun sekarang tetap menggunakan parfum yang sama. Aroma yang selalu membuatnya nyaman."Kau belum tidur?" Semakin menggerakan pelukannya, tanpa menghentikan usapannya di perut Tiara. "Atau mungkin aku mengganggu tidurmu?" "Aku hanya sedikit terkejut tadi.""Maaf aku sudah membuatmu terkejut." Tiara bergumam di selah senyumnya. "Aku hanya ingin membuatnya nyaman. Apa dia merepotkanmu selama aku tidak ada?" Bram memang memutuskan pergi sendiri di pesta kedua Thomas, ia mengesampingkan rasa kesalnya pada adiknya itu mengingat semua tamu undangan adala
"Kau sudah bangun?"Gerakan menggeliat Sari seketika terhenti—mendengar suara familiar dari arah belakang. Gadis itu menoleh, ia yang sebelumnya meringkuk menghadap sandaran sofa seketika terjingkat duduk begitu mengetahui Thomas menatap tajam dirinya."Ma-mas Thomas!" seru Sari gugup yang langsung menarik turun pakaiannya yang tersingkap naik hingga paha mulusnya terlihat karena gerakan spontannya. Mengeratkan jubah berharap kain transparan itu bisa menghalau tatapan tajam Thomas dari lekuk tubuhnya.Hal yang sebenarnya sempat Sari sesalkan, kenapa hanya pakaian itu yang pihak hotel siapkan untuknya. Hingga kini ia merasa malu sendiri. Karena meski pakaian yang dikenakan itu merupakan dua lapis. Namun, bahannya yang tipis, kain berwarna maroon dengan belahan dada cukup rendah itu justru mempertegas warna kulitnya yang seputih susu.Semalam, saat mengenakan lingerie sialan itu, Sari hanya berpikir yang penting bisa terbebas dari gaun yang cukup membuatnya tidak nyaman. Selain itu, ia
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te