Pesta yang sebelumnya terlihat mengagumkan, kini nampak menyesakkan bagi Sari. Bahkan meski sekarang ia diajak untuk menari di panggung dansa-pun, Sari tak yakin apakah dirinya benar-benar bisa bergerak apik. Jika hati tidak lagi menginginkan. 'Bahkan dia tidak mengundang mereka,' batin Sari getir setelah mengamati sekilas tamu yang hadir, dan tidak mendapati keberadaan kedua orang tuanya. Atau paling tidak ibunya saja sudah lebih dari cukup, karena memang ayahnya yang lumpuh akan dianggap merepotkan. Namun ternyata, semua hanya harapan yang tak mungkin jadi nyata. Dan, satu hal yang pasti, Thomas telah berubah."Tunjukkan ekspresi senormal mungkin, atau kau mau tamuku berpikir jika aku memaksamu." Sari menoleh, dan langsung tertegun saat mendapati wajah dingin Thomas."Bukannya memang itu yang terjadi," balas Sari pelan nyaris seperti bisikan. "Bahkan sampai detik ini aku masih belum mengerti dengan apa yang kamu sampaikan mas. Otak dangkalku masih belum bisa mencerna semuanya, mani
"Kamu sudah pulang?" Suara serak Tiara terdengar seiring lengan kekar menyelinap masuk ke dalam selimut, dan mengusap perut ratanya dari belakang. Meski tidak menimbulkan suara apapun, tapi Tiara yakin jika sosok yang tengah memeluknya dari belakang itu, tak lain Bram.Dulu, tiga tahun bersama, dan kini kembali bersama setelah berpisah walau enam tahun lamanya. Tapi Tiara sangat mengenal aroma maskulin pria itu. Terlebih, Bram yang dulu maupun sekarang tetap menggunakan parfum yang sama. Aroma yang selalu membuatnya nyaman."Kau belum tidur?" Semakin menggerakan pelukannya, tanpa menghentikan usapannya di perut Tiara. "Atau mungkin aku mengganggu tidurmu?" "Aku hanya sedikit terkejut tadi.""Maaf aku sudah membuatmu terkejut." Tiara bergumam di selah senyumnya. "Aku hanya ingin membuatnya nyaman. Apa dia merepotkanmu selama aku tidak ada?" Bram memang memutuskan pergi sendiri di pesta kedua Thomas, ia mengesampingkan rasa kesalnya pada adiknya itu mengingat semua tamu undangan adala
"Kau sudah bangun?"Gerakan menggeliat Sari seketika terhenti—mendengar suara familiar dari arah belakang. Gadis itu menoleh, ia yang sebelumnya meringkuk menghadap sandaran sofa seketika terjingkat duduk begitu mengetahui Thomas menatap tajam dirinya."Ma-mas Thomas!" seru Sari gugup yang langsung menarik turun pakaiannya yang tersingkap naik hingga paha mulusnya terlihat karena gerakan spontannya. Mengeratkan jubah berharap kain transparan itu bisa menghalau tatapan tajam Thomas dari lekuk tubuhnya.Hal yang sebenarnya sempat Sari sesalkan, kenapa hanya pakaian itu yang pihak hotel siapkan untuknya. Hingga kini ia merasa malu sendiri. Karena meski pakaian yang dikenakan itu merupakan dua lapis. Namun, bahannya yang tipis, kain berwarna maroon dengan belahan dada cukup rendah itu justru mempertegas warna kulitnya yang seputih susu.Semalam, saat mengenakan lingerie sialan itu, Sari hanya berpikir yang penting bisa terbebas dari gaun yang cukup membuatnya tidak nyaman. Selain itu, ia
"Apa mungkin mereka pindah? rumah ini terlihat tidak terawat." Begitu menginjakkan kaki di teras rumah masa kecilnya, Tiara mengedarkan pandangan. Rumput liar merambati dinding, bunga-bunga tampak tak terawat, halaman samping yang terbengkalai, bahkan pintu gerbang yang tingginya sepinggang orang dewasa di biarkan terbuka setengah sebelum mobil Bram melewatinya.Sungguh keadaan yang memprihatinkan, membuat hati Tiara dipenuhi pertanyaan berselimut kekhawatiran akan kondisi kedua orang tuanya. Mungkinkah, mereka masih baik-baik saja seperti terakhir kali ia melihatnya?Menyadari kejanggalan itu, Bram yang sebelumnya berpikir akan tetap tinggal di mobil—-akhirnya ikut turun."Sepertinya rumah ini kosong," ucap Tiara begitu Bram berjalan mendekatinya."Mungkin saja mereka pindah ke suatu tempat yang lebih dekat dengan kerabat ibu atau ayahmu." Jawaban yang cukup masuk kasal sebenarnya, tapi Tiara menyakalnya setelah berpikir sejenak."Hubungan mereka tidak sedekat itu dengan para kerabat
Tiara merasa bahagia sekaligus haru. Pasalnya, Nana yang biasanya sulit beradaptasi dengan orang baru, kini tampak begitu bersemangat. Gadis kecil itu juga tak ragu menceritakan kegiatan apa saja yang dilakukan selama di rumah, sekolah, maupun sanggar lukis, kepada sang Kakek. Meski hanya merespon dengan kedipan mata, tapi Tiara tahu Ayahnya itu sangat bahagia dengan kedatangan mereka. Terlebih, sikap ramah Nana di pertemuan pertama mereka, membuat binar bahagia terpancar jelas dari sorot mata tua Wisnu, yang kini nampak mencekung dan dikelilingi kerutan.Mungkin benar kata pepatah, darah lebih kental dari air. Dan kini, Tiara bisa membuktikannya sendiri. Hubungan darah tidak mungkin dapat terhapus meski berpisah dalam kurung waktu yang lama, ataupun sampai maut menghampiri. Hal itu terbukti dari kedekatan Nana dengan Bram, dan sekarang pada sang Ayah. Sebelumnya, kedua pria berbeda generasi itu tidak pernah bertemu Nana. Namun, karena ikatan batin yang berasal dari hubungan darah itu
"Ara .."Keduanya kompak menoleh begitu mendengar panggilan dari arah pintu."Ibu!"Kerutan disekitar mata Suti semakin terlihat jelas saat bibir wanita itu melengkung sempurna. Wajah lelah tidak bisa tersamarkan, namun rasa bahagia telah mengundang bulir bening untuk terkumpul di pelupuk mata. Suti termenung sesaat, dua kantong besar di kedua tangannya pun terhempas ke lantai, tidak peduli jika di dalamnya ada pakaian berharga ataupun favorit seseorang. Suti hanya ingin secepat mungkin merengkuh sosok yang kini juga tertegun melihat kehadirannya. "Sayang, akhirnya kamu pulang, nak. Ibu sangat merindukanmu." Tangis berbalut senyum Suti, tak mampu lagi membuat Tiara Menahan diri untuk tidak jatuh dalam pelukan ibu sambungnya itu. Sungguh, adakah ketulusan dan kenyamanan yang setara Tiara rasakan dari ibu-ibu seperti Suti di luar sana? Anugerah yang selalu Tiara syukuri, memiliki wanita sehebat Suti dalam hidupnya. "Iya bu, Ara pulang. Maaf, baru bisa berkunjung sekarang."Keduanya men
"Suti! Suti!"Suara menggelegar dari luar membuat Tiara dan juga Bram tersentak. Keduanya saling bertukar pandang, seolah menanyakan hal yang sama 'Siapa itu?'. Sementara Suti sibuk merogoh setiap saku yang ada di pakaiannya—lalu mengeluarkan semua isinya ke atas meja."Siapa itu Bu? kenapa berteriak-teriak." Tiara baru hendak beranjak, tapi terhalang gelengan kepala Bram."Itu Gareng, rentenir yang setiap minggu datang menagih uang cicilan," jawab Suti menoleh sekilas pada Tiara. Tangannya sibuk menyusun uang pecahan sesuai nominalnya sebelum dihitung."Ibu berhutang pada rentenir? dan uang itu …"Suara Tiara tercekat, seperti telah terjadi kegersangan di kerongkongannya. Terlalu banyak kejutan yang ia dapatkan di hari yang sama. Namun, yang lebih membuatnya pilu, melihat bagaimana kehidupan orang tuanya sekarang. Terlebih keadaan sang ayah."Suti! cepatlah! kenapa lama sekali!" Mendengar suara Gareng kembali melengking, tangan Suti sampai bergetar. Setelah dirasa cukup, memasukan la
Sari tertegun, begitu Thomas membuka pintu apartemen. Matanya berkedip-kedip seolah menganggap jika kemewahan di depannya hanya halusinasi. Namun, sudah berulang kali hal itu Sari lakukan hasilnya tetap nyata."Kau tidak ingin masuk?""I-iya," jawabnya gugup.Mengekor di belakang Thomas, Sari tak henti-henti berdecak kagum melihat furnitur dan juga desain ruangan. Benar-benar seperti tempat tinggal para oppa-oppa di drama yang sering ia nonton. Sungguh mengagumkan.DUG!"Auw!" Terlalu serius memperhatikan sekitar, Sari sampai tidak menyadari, Thomas yang ada di depannya tiba-tiba berhenti. Hingga membuat dahinya membentur punggung lebar pria itu."Perhatikan jalanmu, Sari," lirih Thomas."Maaf, tapi Mas juga salah. Kenapa tiba-tiba berhenti." Gadis itu mengerucutkan bibir sambil mengusap dahinya yang sedikit ngilu."Hah! sudahlah. Ini kamarmu, dan sudah ada beberapa pakaianmu disana, istirahatlah. Atau terserah kau mau melakukan apa, karena aku harus pergi sekarang." Setelah mengataka
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te