Sari tertegun, begitu Thomas membuka pintu apartemen. Matanya berkedip-kedip seolah menganggap jika kemewahan di depannya hanya halusinasi. Namun, sudah berulang kali hal itu Sari lakukan hasilnya tetap nyata."Kau tidak ingin masuk?""I-iya," jawabnya gugup.Mengekor di belakang Thomas, Sari tak henti-henti berdecak kagum melihat furnitur dan juga desain ruangan. Benar-benar seperti tempat tinggal para oppa-oppa di drama yang sering ia nonton. Sungguh mengagumkan.DUG!"Auw!" Terlalu serius memperhatikan sekitar, Sari sampai tidak menyadari, Thomas yang ada di depannya tiba-tiba berhenti. Hingga membuat dahinya membentur punggung lebar pria itu."Perhatikan jalanmu, Sari," lirih Thomas."Maaf, tapi Mas juga salah. Kenapa tiba-tiba berhenti." Gadis itu mengerucutkan bibir sambil mengusap dahinya yang sedikit ngilu."Hah! sudahlah. Ini kamarmu, dan sudah ada beberapa pakaianmu disana, istirahatlah. Atau terserah kau mau melakukan apa, karena aku harus pergi sekarang." Setelah mengataka
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Aku, aku melihatnya .. iya, aku melihatnya saat kecelakaan hari itu."Thomas semakin tidak mengerti dengan apa yang Sari ucapkan, ia pun kembali membawa istrinya itu ke dalam pelukan, dan menganggap emosinya mungkin belum stabil akibat bermimpi buruk."Tenanglah, kau hanya bermimpi, dan sekarang semuanya sudah baik-baik saja.""Tidak! aku memang melihatnya!" sentak Sari melepaskan diri—mengejutkan Thomas. Reaksi gadis itu sungguh tak terduga, ada apa sebenarnya? "Aku berkata yang sebenarnya Mas, aku melihat tuan Bram disana. Di tempat mas Ziyan kecelakaan." Suara Sari melemah di akhir kata.Melihat tatapan Sari memancarkan kesungguhan, dan betapa kacaunya gadis itu. Otak Thomas seketika tumpul. Pria itu tercenung, sesaat. "Aku sungguh melihatnya, pria yang ada di dalam mobil itu adalah tuan Bram," gumam Sari dengan tubuh bergetar. Ia selalu dihantui rasa takut setiap kali mimpi buruk itu datang. Mimpi dimana ia harus menyaksikan dengan mata kepalan
"Kalian yakin tidak mau menginap?" Suti seolah enggan melepaskan Nana dari pangkuannya, begitu bertemu gadis kecil itu. Tatapan haru, bahagia, serta merasa bersalah seketika membaur menjadi satu, kala manik teduhnya bertemu dengan mata Nana yang memiliki corak sama dengan sang menantu. Sosok mungil yang sebelumnya ia pikir darah daging Ziyan itu, ternyata milik Bram—membuat rasa bersalah semakin mendominasi hatinya. Karena dulu, ia tidak bisa berbuat banyak untuk hubungan mereka, sehingga beranggapan Nana putri pria lain.Walaupun sebelumnya Suti tahu Tiara sudah memiliki anak, tetap saja bulir bening meluncur dari sudut matanya sebagai pengiring pertemuan perdananya dengan si gadis kecil. Bahkan, sempat terselip keraguan bahwa gadis kecilnya yang dulu selalu mengalah, dan juga penurut itu ternyata benar-benar sudah menjadi seorang ibu. Semoga, kebahagian kini milik Tiara bersama keluarga kecilnya. Doa tulus terus bergulir dari hati Suti, sudah saatnya putrinya itu bahagia dengan lak
"Terima kasih. Terima kasih untuk hari ini," ucap Tiara lembut, selembut sentuhannya di pinggang Bram yang sempat terkesiap. "Aku juga melihat kebahagiaan di wajah Nana. Sekarang dia benar-benar merasakan keluarga yang lengkap."Bram berbalik dan menundukan kepala. Menatap dalam netra Tiara yang tengah mendongak padanya."Jujur, awalnya aku terkejut saat mengetahui ternyata ini pertemuan pertama mereka, aku tidak menyangka kau juga merahasiakan keberadaan anakku dari orang tuamu." Tiba-tiba tenggorokan Tiara terasa tercekat, kegugupan membuat pandangannya perlahan menurun. "Apa ini juga karena pecundang itu?"Tiara menggeleng, bibirnya berubah kelu untuk menjawab. Kenapa harus Ziyan lagi yang disalahkan. Rasanya ingin sekali mencetuskan bantahan itu, hanya saja akal sehat masih menyadarkannya untuk tetap memilih diam.'Tahan Tiara, sabar,' sarannya dalam hati."Hah! sudahlah. Lebih baik sekarang kamu tidur, aku akan ke ruang kerja, ada yang harus aku kerjakan disana.""Bram …"Tiara me
"Sekarang aku harus apa? Bagaimana cara menghidupkan kompor ini?" "Putar tombol ini Bram, seperti ini." Klik. Birunya api dari tungku kompor pun menyala. Bram bertepuk tangan sekali, lalu berkata, "oke step selanjutnya aku harus memastikan apakah ada nasi di .. dimana?" Tiara meloloskan tawa melihat ketidak tahuan suaminya. Sambil menggeleng-geleng samar ia berjalan menuju rice cooker, dan menyambar piring yang berada tidak tahu dari tempat itu. Wajar jika suaminya itu merasa asing di dapurnya sendiri. Selama ini apapun yang Bram butuhkan selalu tersedia. Kehidupan mewah memang selalu bersamanya sejak kecil."Jadi disana mereka menyimpannya," gumam Bram mengambil sepiring nasi yang Tiara sodorkan. "Aku mau nasi goreng sederhana, hanya telur tanpa tambahan topping apapun."Tanpa diduga Bram langsung mengangguk tegas, seolah ia sudah terbiasa melakukannya."Sekarang duduklah, dan tunggu pesanan kamu. Aku janji itu tidak akan lama." Tiara mengangguk, lalu memilih duduk di salah satu
"Dia memilih menikahi anak haram itu?" Suara Metha bergetar, dengan kedua tangan terkepal kuat di atas meja, ia Menatap lekat pria paruh baya di depannya. "Sekarang Papa puas? anak haram itu sudah merampas satu-satunya harapanku bisa bebas." Sambil terisak ia meluapkan ketakutannya. "Sekarang aku hanya bisa pasrah menerima hukumanku. Menunggu saat dimana aku akan diadili sebagai terdakwa bandar narkoba." Semakin terisak kala membayangkan detik mengerikan itu datang."Tidak Nak, Papa tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu hanya pengguna bukan pengedar seperti yang dituduhkan mereka kepadamu." Si pria paruh baya ikut meneteskan air mata, sambil menggenggam erat tangan putrinya ia berusaha menguatkan. Namun sayang, tangis putus asa Metha lebih mendominasi. "Papa akan memanggil Kakakmu kembali, dia harus bisa menyelamatkanmu.""Percumah. Kakak tidak akan peduli dengan hidupku. Dia lebih nyaman di tempat persembunyiannya. Dia memang pecundang," lirih Metha menarik satu tangan dan mengusap
"Sudahlah, jangan cengeng." Bram melepas pelukannya. "Kau seorang suami sekarang. Bagaimana mungkin kau bisa menjaga istri dan juga anak-anakmu kelak jika kau masih suka menangis di pelukanku seperti ini." Thomas terkekeh sambil mengusap cairan dari sudut matanya. "Entahlah. Kenapa aku masih seperti ini. Padahal usiaku sudah dua puluh delapan tahun." Tepukan pelan kembali mendarat di lengan Thomas."Tapi bagiku kau masih seperti bocah lima tahun yang selalu merengek padaku." Thomas melebarkan senyum, ingatan dimana dulu ia selalu manja pada Bram tiba-tiba menyapa benaknya. "Aku hanya menagih janjimu yang ingin menggantikan posisi Papa setelah beliau tidak ada. Apa itu salah?" Bram menggeleng, tapi juga ikut tersenyum. "Dan sekarang kau masih ingin berebut pelukanku dengan Nana?""Tentu saja tidak," jawab Thomas cepat. "Bukankah sekarang aku punya tempat lain yang bisa memberiku pelukan hangat." Mendengar itu Bram menaikan alis. "Emmm .. maksudku, mana mungkin aku melakukan itu pada
'Apalagi ini Tuhan! kenapa dia selalu menggoda imanku yang setipis tisu ini.' Thomas mendengus dalam hati. Konsentrasinya seketika buyar. Layar raksasa di hadapannya yang tengah menayangkan siaran bola dunia, tak lagi menarik. Perhatian sepenuhnya beralih fokus pada belahan dada rendah Sari yang menyembul keluar. Bahkan, seolah melambai-lambai meminta untuk segera disentuh."Astaga! Sarimin." Mengusap kasar wajahnya gusar. "Kenapa kau tidak pindah juga. Dan, apa kau sengaja mengenakan baju itu untuk menggodaku?"Sontak, Sari yang tengah mengepel lantai mendongak sebentar, lalu kembali menunduk. Begitu menyadari kesalahannya, ia pun segera menegakkan tubuh."Ya Tuhan! kenapa tidak berpaling!" sentaknya. "Tv-nya 'kan ada disana, kenapa matanya kesini." Cepat-cepat Sari menarik kerah bajunya ke belakang. Dalam hati ia merutuki kebodohannya sudah mengenakan unfinished t-shirt. Sehingga ketika ia menunduk, maka dua aset berharganya akan menyembul keluar."Kenapa aku harus melakukan itu? to