"Sekarang aku harus apa? Bagaimana cara menghidupkan kompor ini?" "Putar tombol ini Bram, seperti ini." Klik. Birunya api dari tungku kompor pun menyala. Bram bertepuk tangan sekali, lalu berkata, "oke step selanjutnya aku harus memastikan apakah ada nasi di .. dimana?" Tiara meloloskan tawa melihat ketidak tahuan suaminya. Sambil menggeleng-geleng samar ia berjalan menuju rice cooker, dan menyambar piring yang berada tidak tahu dari tempat itu. Wajar jika suaminya itu merasa asing di dapurnya sendiri. Selama ini apapun yang Bram butuhkan selalu tersedia. Kehidupan mewah memang selalu bersamanya sejak kecil."Jadi disana mereka menyimpannya," gumam Bram mengambil sepiring nasi yang Tiara sodorkan. "Aku mau nasi goreng sederhana, hanya telur tanpa tambahan topping apapun."Tanpa diduga Bram langsung mengangguk tegas, seolah ia sudah terbiasa melakukannya."Sekarang duduklah, dan tunggu pesanan kamu. Aku janji itu tidak akan lama." Tiara mengangguk, lalu memilih duduk di salah satu
"Dia memilih menikahi anak haram itu?" Suara Metha bergetar, dengan kedua tangan terkepal kuat di atas meja, ia Menatap lekat pria paruh baya di depannya. "Sekarang Papa puas? anak haram itu sudah merampas satu-satunya harapanku bisa bebas." Sambil terisak ia meluapkan ketakutannya. "Sekarang aku hanya bisa pasrah menerima hukumanku. Menunggu saat dimana aku akan diadili sebagai terdakwa bandar narkoba." Semakin terisak kala membayangkan detik mengerikan itu datang."Tidak Nak, Papa tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu hanya pengguna bukan pengedar seperti yang dituduhkan mereka kepadamu." Si pria paruh baya ikut meneteskan air mata, sambil menggenggam erat tangan putrinya ia berusaha menguatkan. Namun sayang, tangis putus asa Metha lebih mendominasi. "Papa akan memanggil Kakakmu kembali, dia harus bisa menyelamatkanmu.""Percumah. Kakak tidak akan peduli dengan hidupku. Dia lebih nyaman di tempat persembunyiannya. Dia memang pecundang," lirih Metha menarik satu tangan dan mengusap
"Sudahlah, jangan cengeng." Bram melepas pelukannya. "Kau seorang suami sekarang. Bagaimana mungkin kau bisa menjaga istri dan juga anak-anakmu kelak jika kau masih suka menangis di pelukanku seperti ini." Thomas terkekeh sambil mengusap cairan dari sudut matanya. "Entahlah. Kenapa aku masih seperti ini. Padahal usiaku sudah dua puluh delapan tahun." Tepukan pelan kembali mendarat di lengan Thomas."Tapi bagiku kau masih seperti bocah lima tahun yang selalu merengek padaku." Thomas melebarkan senyum, ingatan dimana dulu ia selalu manja pada Bram tiba-tiba menyapa benaknya. "Aku hanya menagih janjimu yang ingin menggantikan posisi Papa setelah beliau tidak ada. Apa itu salah?" Bram menggeleng, tapi juga ikut tersenyum. "Dan sekarang kau masih ingin berebut pelukanku dengan Nana?""Tentu saja tidak," jawab Thomas cepat. "Bukankah sekarang aku punya tempat lain yang bisa memberiku pelukan hangat." Mendengar itu Bram menaikan alis. "Emmm .. maksudku, mana mungkin aku melakukan itu pada
'Apalagi ini Tuhan! kenapa dia selalu menggoda imanku yang setipis tisu ini.' Thomas mendengus dalam hati. Konsentrasinya seketika buyar. Layar raksasa di hadapannya yang tengah menayangkan siaran bola dunia, tak lagi menarik. Perhatian sepenuhnya beralih fokus pada belahan dada rendah Sari yang menyembul keluar. Bahkan, seolah melambai-lambai meminta untuk segera disentuh."Astaga! Sarimin." Mengusap kasar wajahnya gusar. "Kenapa kau tidak pindah juga. Dan, apa kau sengaja mengenakan baju itu untuk menggodaku?"Sontak, Sari yang tengah mengepel lantai mendongak sebentar, lalu kembali menunduk. Begitu menyadari kesalahannya, ia pun segera menegakkan tubuh."Ya Tuhan! kenapa tidak berpaling!" sentaknya. "Tv-nya 'kan ada disana, kenapa matanya kesini." Cepat-cepat Sari menarik kerah bajunya ke belakang. Dalam hati ia merutuki kebodohannya sudah mengenakan unfinished t-shirt. Sehingga ketika ia menunduk, maka dua aset berharganya akan menyembul keluar."Kenapa aku harus melakukan itu? to
"Dia sudah tidur?" Bram menoleh begitu mendengar suara mendekat padanya."Kau baik-baik saja?" Bukannya menjawab, Bram justru bangkit dan balik bertanya.Sebenarnya, bukan tanpa alasan Bram terlihat begitu khawatir mengetahui Tiara menyusulnya ke kamar Nana. Bram masih ingat betul, bagaimana wajah pucat sang istri sore tadi, saat ia menjemputnya di rumah sakit."Parfum Dokter yang datang bersamamu tadi, penyebab kepalaku tiba-tiba pusing." Bram diam menyimak. Memang benar, saat Dokter Sarah menghampiri dirinya, ia juga bisa merasakan aroma rose yang keluar dari tubuh wanita itu begitu semerbak dan menenangkan. Hanya saja ia tidak menyangka, sang istri akan merasakan reaksi yang sama. "Lalu, apakah sekarang masih pusing?" Tiara dengan cepat menggeleng. Bibirnya seketika memunculkan lengkungan saat merasakan usapan lembut di pinggangnya. Seolah kembali mendapat amunisi."Sudah tidak." Bram mengulum senyum melihat semburat merah muncul di pipi istrinya itu. "Kamu masih ingin melanjutka
Tangis Sari pecah di dalam kamarnya. Ia memutuskan keluar dari kamar Thomas dan membatalkan niat untuk bermalam disana. Pernyataan pria itu sungguh menyakitkan hati. Jadi karena itu tujuan Thomas menikahinya, hanya karena terlena akan bentuk tubuhnya yang tak seberapa indah? "Ini pasti gara-gara hari itu dia melihat lekuk tubuhku, dasar otak mesum," gerutunya kesal.Sepersekian menit berlalu, tangis Sari sudah mereda. Namun, ia masih duduk termenung di atas ranjang, menatap jauh. Kini, ia juga ragu akan nasib pernikahan mereka, mungkinkah bisa bertahan lama. Sementara Sari sendiri mulai tak yakin sanggup tetap bertahan menjadi istri Thomas. Sebab, hanya tubuhnya yang pria itu inginkan. Bukan menjaga arti pernikahan yang sesungguhnya."Kenapa aku bisa berharap terlalu jauh padanya. Seharusnya aku cukup sadar diri, aku ini hanya anak pungut yang tidak sebanding dengannya," ucapnya lemah. "Tapi kenapa aku bisa terjebak dalam situasi ini? apa s
"Kamu dengar itu dari siapa, Sari?" Suara Ningsih bergetar, ia tak tahan melihat kesedihan putrinya. Tapi untuk berkata jujur, hati juga mulutnya masih terasa berat, ia dilema.Kenyataan yang ada tak sesederhana apa yang sudah Sari dengar dari orang yang ia tidak ketahui siapa."Jadi itu benar, Ma?" Dengan berderai air mata, Ningsih hanya mampu menggeleng lemah. Dia sudah lama memprediksikan situasi seperti ini pasti akan terjadi. Hanya saja, tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. "Ma, plis." Belum sempat menenangkan degup jantung, Ningsih dibuat terperanjat mengetahui Sari turun dari sofa, bersimpuh di sampingnya."Sari, bangun sayang. Jangan seperti ini, nak. Mama semakin sakit melihatmu seperti ini." Ningsih berusaha membantu Sari bangkit. Namun, gadis itu enggan menurutinya. Memilih tetap bersimpuh dengan menggenggam erat tangannya."Aku hanya tidak tahu harus bagaimana Ma, kenyataan ini terlalu menyakitkan. Kalau memang Mama dan Papa bukan orang tua kandungku. Lalu, dimana mere
Sari berdiri termangu di depan gerbang rumah Bram. Terlalu berat kenyataan yang didapatkan hari itu membuatnya memutuskan meninggalkan rumah Sudrajat, meski perdebatan di antara kedua orang tuanya belum mereda. Bukannya ia tidak peduli, hanya saja hati dan pikirannya sudah tidak mampu lagi mendengar pernyataan yang mungkin akan lebih menyakitkan. Mendapati dirinya bukan Anak Subrata, melainkan hasil perselingkuhan sang Mama dengan pria lain saja, kenyataan yang membuat Sari nyaris lupa bagaimana cara bernafas dengan benar. Dan, satu hal yang juga baru diketahui, bahwa, ia, Ziyan, dan juga Metha merupakan satu Ibu beda Ayah. Bagaimana bisa? Bukankah yang ia ketahui, Ziyan dan Metha anak dari sang Paman, Hutoyo?Ingin sekali Sari menemui sang Paman untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Hanya saja, kabar terakhir yang ia dengar, Hutoyo bersama istri sedang bertolak ke negeri Tirai Bambu dari bulan lalu untuk melakukan pengobatan. Ia memang mengetahui jika dalam kurung waktu setahun terakhir