Sari berdiri termangu di depan gerbang rumah Bram. Terlalu berat kenyataan yang didapatkan hari itu membuatnya memutuskan meninggalkan rumah Sudrajat, meski perdebatan di antara kedua orang tuanya belum mereda. Bukannya ia tidak peduli, hanya saja hati dan pikirannya sudah tidak mampu lagi mendengar pernyataan yang mungkin akan lebih menyakitkan. Mendapati dirinya bukan Anak Subrata, melainkan hasil perselingkuhan sang Mama dengan pria lain saja, kenyataan yang membuat Sari nyaris lupa bagaimana cara bernafas dengan benar. Dan, satu hal yang juga baru diketahui, bahwa, ia, Ziyan, dan juga Metha merupakan satu Ibu beda Ayah. Bagaimana bisa? Bukankah yang ia ketahui, Ziyan dan Metha anak dari sang Paman, Hutoyo?Ingin sekali Sari menemui sang Paman untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Hanya saja, kabar terakhir yang ia dengar, Hutoyo bersama istri sedang bertolak ke negeri Tirai Bambu dari bulan lalu untuk melakukan pengobatan. Ia memang mengetahui jika dalam kurung waktu setahun terakhir
"Ini Ibu Mbak, Sari, dan itu Bapak." Gadis itu mengikuti arah yang ditunjuk Tiara. Setelah mengangguk sopan pada Suti, pandangan Sari beralih ke ranjang dimana Wisnu tengah terbaring tak berdaya. Tatapannya berubah sendu melihat bagaimana keadaan Wisnu. Walaupun Subrata tidak bisa berjalan, namun keadaannya jauh lebih beruntung daripada Wisnu. Dan, tidak ingin kembali mengingat kemelut keluarganya, Sari segara menggeleng cepat agar kepingan-kepingan pahit yang hari itu ia dengar menjauh dari benaknya."Aku turut prihatin ya Bu, semoga Pak Wisnu bisa cepat sembuh." Doa tulus Sari haturkan, begitu duduk di sebelah kiri Suti, sementara di sisi kanan ada Tiara dan Nana di tengah-tengah Ibu serta Neneknya."Terima kasih, Nak. Jadi kamu yang bernama Sari? ternyata kamu sangat cantik." Yang dipuji tersipu, dan diam-diam melirik Tiara yang sepertinya setuju dengan pujian Suti. "Oh iya, selamat untuk pernikahanmu dengan Nak Thomas, ya. Maaf Ibu mendengar itu dari Tiara, kemarin lusa." Sari men
Sementara Sari bermain dengan Nana, di ruang rawat Wisnu. Tiara bersama Suti berada di ruang Dokter Sarah, menyimak serius penjelasan mengenai perkembangan Wisnu."Jadi begini Nyonya Tiara, dan juga Nyonya Suti. Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan Pasien, ada yang ingin sedikit saya terangkan mengenai penyakit saraf motorik atau motor neuron disease (MND) termasuk dalam kelompok penyakit yang menyebabkan gangguan saraf motorik pada tulang belakang atau otak. sehingga kehilangan fungsinya secara progresif. Saraf motorik adalah sel saraf yang mengirimkan sinyal listrik pada otot tubuh sehingga menyebabkan otot berfungsi. Jika seseorang mengidap saraf motorik, pada akhirnya penderita dapat kehilangan kemampuan bergerak, berbicara ataupun bahkan bernafas. Dua dari ketiganya sedang terjadi pada Tuan Wisnu. Dalam kata lain, pasien tidak hanya gegar otak ringan seperti diagnosa Dokter sebelumnya." "Penyakit ini bisa saja menyerang berbagai usia. Namun, yang paling re
"Astaga! Ibu!" Tangis Tiara seketika berhenti, berubah keterkejutan mengetahui tubuh Suti tiba-tiba lemas dan luruh ke lantai. Ia yang sebelumnya dipeluk Suti tidak sempat menangkap tubuh Ibunya itu, hingga akhirnya terjerembab setelah menghantam kursi yang ia duduki. Untung saja disaat bersamaan Bram datang dan langsung berlari mendekat.Dokter Sarah tak kalah terkejut, namun tak bisa bergerak cepat karena posisinya yang terhalang meja."Bu! Ibu bangun. Ibu kenapa, Bu? Dokter! tolong Ibu saya.""Tiara, tenanglah.""Bram?" Melihat kehadiran suaminya, Tiara yang sudah membawa kepala Suti ke pangkuannya kembali terisak."Tenangkan dirimu, Ibu hanya pingsan." Seolah tidak mengindahkan, Tiara tetap menangisi Suti yang tak juga sadarkan diri."Kenapa bisa seperti ini, Bram? Bapak, Bapak belum belum sembuh dan sekarang Ibu pingsan." Sadar Suti butuh pertolongan, Bram segera mengangkat ibu me
Sepasang mata tengah menerawang jauh kedepan. Hiruk-pikuk di sekitar tak membuatnya ingin merubah arah pandang sedikitpun. Jauh di Kota Nottingham-Inggris, tepatnya di sebuah kafe yang berada Old Market Square yang merupakan alun-alun terbesar di kota itu, Ziyan bersama Merry tengah duduk menikmati kualiti time mereka di hari libur. Setelah sempat berkeliling bersama putra sematang wayang mereka, yang kini sedang duduk tenang di atas troli menikmati biskuit. Tangan kanan Ziyan masih setia menggenggam erat tangan kiri Merry di atas meja, seolah khawatir genggam itu bisa terlepas jika ia lengah sedikit saja."Honey, ada apa denganmu? kenapa hari ini aku lebih banyak melihat dahimu berkerut. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Baru Ziyan menoleh, dan saat itulah ia tersadar, jika tengah berada di luar bersama keluarga kecilnya. Namun, setelah menatap hangat sang istri, bukannya langsung menjawab, Ziyan justru beralih pada Sean, putra mereka."Sayang, berikan aku tisu." Buru-buru M
"Tunggu Sar, kita perlu bicara." Sari melirik malas lengannya yang ditahan Thomas."Apalagi Mas, jangan katakan apapun sekarang, plis. Aku lelah." Memutar lengannya, berharap genggaman Thomas bisa terlepas. Namun, yang terjadi pria itu justru menariknya, hingga tanpa Sari perhitungkan, tubuh mereka berubah saling berhadapan.Thomas menatap Sari dalam diam. Untuk sesaat mereka memilih mengunci pandangan, larut dalam pikiran masing-masing.'Sekarang aku semakin yakin untuk melepasmu, Mas. Kamu tidak seharusnya bersamaku.''Maafkan aku, Sari. Bukan maksudku merendahkanmu. Hanya saja, untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan, aku masih belum cukup yakin. Karena aku khawatir, kau hanya menganggapnya omong kosong.' Keduanya saling berkomunikasi lewat suara hati, seolah mereka saling mendengar jelas kata hati masing-masing. Sampai akhirnya, Thomas tersadar lebih dulu. Lalu, melepas cengkraman tangannya.
"Tunggu Sari!"Seketika bulu kuduk Sari meremang, dibalik tubuhnya yang membeku, ia merapalkan doa. Berharap sosok itu bukan makhluk astral atau sejenisnya yang biasa menampakkan diri di siang hari."Maaf, jika kedatangan Mas mengejutkanmu. Tapi ini benar-benar Mas Zi, Dek."Deg!!Suara lembut itu, yah, Sari masih ingat betul walaupun sudah bertahun-tahun tidak mendengarnya. 'Tidak mungkin itu Mas Ziyan, bukankah dia …?' batin Sari meragukan. Namun saat merasakn sentuhan di lengannya, tubuhnya terasa tersengat listrik ribuan watt."Maafkan Mas harus membuatmu menyaksikan kejadian itu. Mas sungguh menyesal, Dek."Ketegangan Sari karena takut berubah keterkejutan. Secara perlahan dengan tubuh bergetar ia memberanikan diri memutar badan. Meski dalam hati tetap meragukan jika suara itu benar-benar milik Ziyan. Tapi ia sangat ingin memastikan sendiri. Begitu sudah menghadap sosok jangkung itu, Sari bisa melihat jelas bahwa kaki berbalut pantofel coklat itu, memang menapak di atas lantai p
"Apa yang kau maksud Thomas Wijaya, adik dari Bramantyo Wijaya?" Melihat Sari mengangguk lemah, kesadaran yang baru saja kembali nyaris, menghilang lagi. Ziyan merasa gagal menjadi seorang Kakak, sampai adik-adiknya harus berurusan dengan pria dari keluarga yang bahkan sangat ingin ia hindari. "Bagaimana bisa aku sampai tidak mengetahui jika Metha berhubungan dengan Thomas?" gumamnya gusar."Dia kecewa karena Mbak Metha ditangkap beberapa hari sebelum hari pernikahan mereka. Apalagi, kasus yang menjerat Mbak Metha sangat berat, sehingga tidak bisa dibebaskan dengan jaminan. Sementara, dia tidak mau rugi dengan dana yang sudah digelontorkan untuk menyiapkan pesta itu.""Lalu, dia menjadikanmu istri pengganti?" Sari lagi-lagi hanya bisa mengangguk lemah. Sejujurnya, ada rasa sesak kala mengingat statusnya. Apalagi, hubungannya dengan Thomas belum juga membaik. Tepatnya, selama satu minggu setelah malam itu, Sari memilih menghindari Thomas, agar tekadnya untuk mengembalikan suaminya it
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te