"Apa mungkin mereka pindah? rumah ini terlihat tidak terawat." Begitu menginjakkan kaki di teras rumah masa kecilnya, Tiara mengedarkan pandangan. Rumput liar merambati dinding, bunga-bunga tampak tak terawat, halaman samping yang terbengkalai, bahkan pintu gerbang yang tingginya sepinggang orang dewasa di biarkan terbuka setengah sebelum mobil Bram melewatinya.Sungguh keadaan yang memprihatinkan, membuat hati Tiara dipenuhi pertanyaan berselimut kekhawatiran akan kondisi kedua orang tuanya. Mungkinkah, mereka masih baik-baik saja seperti terakhir kali ia melihatnya?Menyadari kejanggalan itu, Bram yang sebelumnya berpikir akan tetap tinggal di mobil—-akhirnya ikut turun."Sepertinya rumah ini kosong," ucap Tiara begitu Bram berjalan mendekatinya."Mungkin saja mereka pindah ke suatu tempat yang lebih dekat dengan kerabat ibu atau ayahmu." Jawaban yang cukup masuk kasal sebenarnya, tapi Tiara menyakalnya setelah berpikir sejenak."Hubungan mereka tidak sedekat itu dengan para kerabat
Tiara merasa bahagia sekaligus haru. Pasalnya, Nana yang biasanya sulit beradaptasi dengan orang baru, kini tampak begitu bersemangat. Gadis kecil itu juga tak ragu menceritakan kegiatan apa saja yang dilakukan selama di rumah, sekolah, maupun sanggar lukis, kepada sang Kakek. Meski hanya merespon dengan kedipan mata, tapi Tiara tahu Ayahnya itu sangat bahagia dengan kedatangan mereka. Terlebih, sikap ramah Nana di pertemuan pertama mereka, membuat binar bahagia terpancar jelas dari sorot mata tua Wisnu, yang kini nampak mencekung dan dikelilingi kerutan.Mungkin benar kata pepatah, darah lebih kental dari air. Dan kini, Tiara bisa membuktikannya sendiri. Hubungan darah tidak mungkin dapat terhapus meski berpisah dalam kurung waktu yang lama, ataupun sampai maut menghampiri. Hal itu terbukti dari kedekatan Nana dengan Bram, dan sekarang pada sang Ayah. Sebelumnya, kedua pria berbeda generasi itu tidak pernah bertemu Nana. Namun, karena ikatan batin yang berasal dari hubungan darah itu
"Ara .."Keduanya kompak menoleh begitu mendengar panggilan dari arah pintu."Ibu!"Kerutan disekitar mata Suti semakin terlihat jelas saat bibir wanita itu melengkung sempurna. Wajah lelah tidak bisa tersamarkan, namun rasa bahagia telah mengundang bulir bening untuk terkumpul di pelupuk mata. Suti termenung sesaat, dua kantong besar di kedua tangannya pun terhempas ke lantai, tidak peduli jika di dalamnya ada pakaian berharga ataupun favorit seseorang. Suti hanya ingin secepat mungkin merengkuh sosok yang kini juga tertegun melihat kehadirannya. "Sayang, akhirnya kamu pulang, nak. Ibu sangat merindukanmu." Tangis berbalut senyum Suti, tak mampu lagi membuat Tiara Menahan diri untuk tidak jatuh dalam pelukan ibu sambungnya itu. Sungguh, adakah ketulusan dan kenyamanan yang setara Tiara rasakan dari ibu-ibu seperti Suti di luar sana? Anugerah yang selalu Tiara syukuri, memiliki wanita sehebat Suti dalam hidupnya. "Iya bu, Ara pulang. Maaf, baru bisa berkunjung sekarang."Keduanya men
"Suti! Suti!"Suara menggelegar dari luar membuat Tiara dan juga Bram tersentak. Keduanya saling bertukar pandang, seolah menanyakan hal yang sama 'Siapa itu?'. Sementara Suti sibuk merogoh setiap saku yang ada di pakaiannya—lalu mengeluarkan semua isinya ke atas meja."Siapa itu Bu? kenapa berteriak-teriak." Tiara baru hendak beranjak, tapi terhalang gelengan kepala Bram."Itu Gareng, rentenir yang setiap minggu datang menagih uang cicilan," jawab Suti menoleh sekilas pada Tiara. Tangannya sibuk menyusun uang pecahan sesuai nominalnya sebelum dihitung."Ibu berhutang pada rentenir? dan uang itu …"Suara Tiara tercekat, seperti telah terjadi kegersangan di kerongkongannya. Terlalu banyak kejutan yang ia dapatkan di hari yang sama. Namun, yang lebih membuatnya pilu, melihat bagaimana kehidupan orang tuanya sekarang. Terlebih keadaan sang ayah."Suti! cepatlah! kenapa lama sekali!" Mendengar suara Gareng kembali melengking, tangan Suti sampai bergetar. Setelah dirasa cukup, memasukan la
Sari tertegun, begitu Thomas membuka pintu apartemen. Matanya berkedip-kedip seolah menganggap jika kemewahan di depannya hanya halusinasi. Namun, sudah berulang kali hal itu Sari lakukan hasilnya tetap nyata."Kau tidak ingin masuk?""I-iya," jawabnya gugup.Mengekor di belakang Thomas, Sari tak henti-henti berdecak kagum melihat furnitur dan juga desain ruangan. Benar-benar seperti tempat tinggal para oppa-oppa di drama yang sering ia nonton. Sungguh mengagumkan.DUG!"Auw!" Terlalu serius memperhatikan sekitar, Sari sampai tidak menyadari, Thomas yang ada di depannya tiba-tiba berhenti. Hingga membuat dahinya membentur punggung lebar pria itu."Perhatikan jalanmu, Sari," lirih Thomas."Maaf, tapi Mas juga salah. Kenapa tiba-tiba berhenti." Gadis itu mengerucutkan bibir sambil mengusap dahinya yang sedikit ngilu."Hah! sudahlah. Ini kamarmu, dan sudah ada beberapa pakaianmu disana, istirahatlah. Atau terserah kau mau melakukan apa, karena aku harus pergi sekarang." Setelah mengataka
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Aku, aku melihatnya .. iya, aku melihatnya saat kecelakaan hari itu."Thomas semakin tidak mengerti dengan apa yang Sari ucapkan, ia pun kembali membawa istrinya itu ke dalam pelukan, dan menganggap emosinya mungkin belum stabil akibat bermimpi buruk."Tenanglah, kau hanya bermimpi, dan sekarang semuanya sudah baik-baik saja.""Tidak! aku memang melihatnya!" sentak Sari melepaskan diri—mengejutkan Thomas. Reaksi gadis itu sungguh tak terduga, ada apa sebenarnya? "Aku berkata yang sebenarnya Mas, aku melihat tuan Bram disana. Di tempat mas Ziyan kecelakaan." Suara Sari melemah di akhir kata.Melihat tatapan Sari memancarkan kesungguhan, dan betapa kacaunya gadis itu. Otak Thomas seketika tumpul. Pria itu tercenung, sesaat. "Aku sungguh melihatnya, pria yang ada di dalam mobil itu adalah tuan Bram," gumam Sari dengan tubuh bergetar. Ia selalu dihantui rasa takut setiap kali mimpi buruk itu datang. Mimpi dimana ia harus menyaksikan dengan mata kepalan
"Kalian yakin tidak mau menginap?" Suti seolah enggan melepaskan Nana dari pangkuannya, begitu bertemu gadis kecil itu. Tatapan haru, bahagia, serta merasa bersalah seketika membaur menjadi satu, kala manik teduhnya bertemu dengan mata Nana yang memiliki corak sama dengan sang menantu. Sosok mungil yang sebelumnya ia pikir darah daging Ziyan itu, ternyata milik Bram—membuat rasa bersalah semakin mendominasi hatinya. Karena dulu, ia tidak bisa berbuat banyak untuk hubungan mereka, sehingga beranggapan Nana putri pria lain.Walaupun sebelumnya Suti tahu Tiara sudah memiliki anak, tetap saja bulir bening meluncur dari sudut matanya sebagai pengiring pertemuan perdananya dengan si gadis kecil. Bahkan, sempat terselip keraguan bahwa gadis kecilnya yang dulu selalu mengalah, dan juga penurut itu ternyata benar-benar sudah menjadi seorang ibu. Semoga, kebahagian kini milik Tiara bersama keluarga kecilnya. Doa tulus terus bergulir dari hati Suti, sudah saatnya putrinya itu bahagia dengan lak
"Terima kasih. Terima kasih untuk hari ini," ucap Tiara lembut, selembut sentuhannya di pinggang Bram yang sempat terkesiap. "Aku juga melihat kebahagiaan di wajah Nana. Sekarang dia benar-benar merasakan keluarga yang lengkap."Bram berbalik dan menundukan kepala. Menatap dalam netra Tiara yang tengah mendongak padanya."Jujur, awalnya aku terkejut saat mengetahui ternyata ini pertemuan pertama mereka, aku tidak menyangka kau juga merahasiakan keberadaan anakku dari orang tuamu." Tiba-tiba tenggorokan Tiara terasa tercekat, kegugupan membuat pandangannya perlahan menurun. "Apa ini juga karena pecundang itu?"Tiara menggeleng, bibirnya berubah kelu untuk menjawab. Kenapa harus Ziyan lagi yang disalahkan. Rasanya ingin sekali mencetuskan bantahan itu, hanya saja akal sehat masih menyadarkannya untuk tetap memilih diam.'Tahan Tiara, sabar,' sarannya dalam hati."Hah! sudahlah. Lebih baik sekarang kamu tidur, aku akan ke ruang kerja, ada yang harus aku kerjakan disana.""Bram …"Tiara me