Bian ceroboh. Ketika ia ingin menarik kembali pesannya, sudah terlanjur bercentang biru dua buah. Bian menampar jemarinya frustasi. Betapa bodohnya dia untuk tidak hati-hati dalam mengetik. Bisa-bisanya ia malah mengatai Kalista sebagai iblis.
(“Cocok. Yang satu sok malaikat dan yang satu iblis betina. Kita berdua memang terlalu brengsek berada di tengah Jihan yang the real angel.”)Kalista selalu punya cara untuk membalas Bian.(“Kal, aku tidak bermaksud mengataimu. Maafkan aku. Kau dimana sekarang?”)Kalista membalas bila ia masih tidak ingin bertemu dengan Bian.(“Tapi kita di kantor bertemu terus.”)Dan Kalista membalas jika bekerja itu berada dalam ranah profesional.(“Maafkan aku. Jariku kadang tremor dengan mengetik hal nista.”)Dan Kalista meminta sesuatu dari Bian.(“Dengan satu syarat, maka aku akan memaafkanmu.”)Bian menanyakan syarat apa itu.Bian melega sedikit. Setida"Bekalnya sudah Jihan persiapkan. Kotak yang warna kuning."Meski hari sabtu, Bian memiliki schedulle sendiri hari itu. Bian memang tidak ke kantor hari itu. Ia ada agenda di luar kantor dengan seseorang. Agendanya hari itu cukup membuatnya lebih bersemangat dari biasanya. Apalagi bila mengingat malamnya akan dinner romantis bersama Kalista. Ah, terbayang wajah Kalista yang melongo ketika menerima semua hadiah yang sudah dipersiapkan Bian. Akan Bian pastikan bila Kalista tidak akan menolak pemberiannya. "Sayang, Mas berangkat dulu." Bian membubuhkan satu kecupan singkat di kening Jihan. "Telepon Jihan, ya, kalau sudah sampai. Untuk villa, biarkan atas nama Kalista saja. Kalau dipikir-pikir, untuk apa juga punya villa banyak-banyak. Selama itu berbagi dengan Kalista, Jihan ikhlas."Hati Bian mencelos rasanya. Entah perbuatan baik apa yang dilakukan Bian di kehidupan lalu sampai-sampai ia bisa menjadi suami dari seorang wanita yang baik
"Kau selalu mengatakan hal positif tentangnya. Ketika aku mengenalnya langsung dan hampir setiap hari melihat wajahnya, semakin terlihat pula berbagai macam kekurangannya."Jihan terkekeh mendengar penuturan Kalista."Kau saat sekolah dulu sangat mengaguminya. Ku pikir kau akan mencintainya dengan mudah."Kalista menggeleng,"Sulit. Bukan karena soal sifat Bian, tapi karena dia suamimu.""Suamimu juga. Suami kita," sahut Jihan dengan entengnya. Kalista tersenyum kesal,"Hentikan mengatakan itu. Aku tidak akan pernah terbiasa dengan kata kita. Aku tahu kita berdua sering berbagi. Memakai baju bergantian, sepatu, tas, sampai jepit rambut yang sama. Namun aku tak menyangka punya suami yang sama denganmu.""Nanti kita juga akan punya anak yang sama."Kalista mendesah pasrah. "Kal, kau pasti lelah, ya, karena harus memenuhi ekspektasiku?" Kalista menggeleng,"Kau pasti lebih lelah dari diriku, karena lebih b
Bian nyaris mematahkan hidung Nevan jika saja ia tak segera menghindar dari tinjunya. Pengunjung restoran memekik tertahan menyaksikan kericuhan yang disebabkan dua pria parlente tersebut. "Jangan melecehkan istriku, Brengsek!" Bian tak pernah merasa semarah ini. Rasanya begitu terbakar ketika Nevan dengan mulut tak sopannya menyindir tentang perilaku Kalista di tempat tidur. "Dia ibu dari putraku, Bodoh! Kau sekarang mendua?" Nevan masih bisa menyeringai kala Bian menendang meja, membaliknya hingga menimbulkan berantakan yang abstrak. "Terlambat, sialan! Kau sudah menyia-nyiakannya dan aku tidak akan memberimu kesempatan kedua. Kalista milikku dan akan tetap menjadi milikku selamanya." Bian kembali melayangkan tinju. Nevan siap menghindar dan bersamaan dengan itu, dua orang security bersama seorang manager restoran datang untuk melerai, lebih tepatnya mengusir Bian dan Nevan yang tentu membuat suasana restoran tidak kondusif dan menimbulkan k
Jihan begitu bahagia malam itu. Dibantu Kalista, ia merias dirinya dengan harapan Bian akan jatuh cinta kembali. Jihan mengenakan gaun terbaiknya yang akhirnya bisa ia tunjukkan pada Bian. Sepanjang jalan, Jihan begitu gugup. Jihan terus menggenggam tangan Kalista yang sibuk terkekeh, karena Jihan seolah terserah serangan panik. Kalista berulang kali menenangkannya, khawatir kalau Jihan berkeringat, maka akan mengurangi penampilannya. Walau Jihan menggunakan make up waterproof, tetap saja Kalista tidak mau ada keringat yang nyempil di wajah cantik Jihan. "Harusnya kau spa dulu ya tadi siang. Terus luluran.""Apa sih, Kal? Jadi seperti mau menikah saja pakai seperti itu." Jihan tertawa lebar. "Ya kan biar Mas Bian jatuh cinta lagi. Eh, tapi sepertinya si Bian memang tidak bisa tidak jatuh cinta denganmu. Soalnya dia suka sekali memujimu."Jihan semakin malu saat Kalista mengatakan hal demikian. Kalista memang suka sekali mengg
Liam dan Nanda asyik bercengkerama. Sedangkan Kalista total membisu di mana di hadapannya sekarang ada Nevan yang sama bungkamnya. Kalista sengaja tidak menegur Nevan. Begitu pula sebaliknya. Keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dialog yang terjadi antara Liam dan Nanda seolah tak terdengar sama sekali di rungu Kalista dan Nevan. Nevan tak membuang muka dari sang mantan istri yang menunduk sejak tadi. Sayang mereka bertemunya dalam situasi yang kurang tepat. Jika saja Nevan tahu bila Kalista ada di Euforia World, maka Nevan tidak akan menyetujui ajakan Nanda untuk berkencan. Jika sudah begini, pasti Kalista akan berpikiran macam-macam tentangnya. Rasanya gatal untuk mengobrol dengan Kalista. Nevan pun merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Ia ketik sesuatu di ruang percakapan dan dikirimkan kepada Kalista. Nevan bisa mendengar denting notifikasi di ponsel Kalista. Wanita itu membaca chat dari Nevan. Kalista mendongak sedikit se
Betapa terkejutnya Jihan dengan pemandangan yang ia lihat setelahnya. Kedua netra Jihan membelalak tak kuasa. Cengkeraman Jihan oleng dan nyaris saja ambruk. Untung berhasil bertumpu pada sesuatu. Kamar Kalista tidak terkunci, bahkan pintunya tidak tertutup. Hanya dirapatkan begitu saja. Jangan salahkan Jihan yang akhirnya melihat Kalista merangkak di lantai tanpa sehelai benang pun dengan Bian yang juga dalam penampilan sama seperti Kalista. Jihan melihat sahabat dan suami tercintanya telanjang bulat dengan area selatan mereka yang menyatu begitu jelas. Tidak pernah sebelumnya Jihan menyaksikan hal semenggairahkan itu. Bian dan Kalista seperti lupa segalanya selain aktivitas menyentuh satu sama lain dan mengerang kenikmatan. Jihan sudah tahu bila yang ia lihat bukan barang tontonan. Namun tidak tahu mengapa, matanya malah tidak mau melepaskannya dari hal tersebut. Jihan bisa melihat jelas kedua orang yang paling ia percaya di dunia itu sedang berada di
Seminggu kemudian, Jihan sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Walaupun demikian, Jihan diharuskan untuk memeriksakan kandungannya sekali dalam seminggu. Dengan dituntun perlahan oleh Bian, seakan-akan Jihan adalah sesuatu yang rapuh dan bisa pecah berantakan kapan saja, Bian tidak pernah melepaskan barang sedetik pun sentuhannya. Ketika Jihan dan Bian sudah bersiap masuk ke mobil, kaca jendela mobil tersebut turun dan menampilkan senyum cerah Kalista yang sudah siap di balik kemudi. "Halo, Tuan Putri. Sudah siap kembali ke istana? Izinkan saya yang menjadi supir anda hari ini.""Kal, kau bisa menyetir?" Jihan cukup terkejut dengan tawaran Kalista yang akan mengemudikan mobil hari itu. "Yes. Selama kau di rumah sakit, aku jadi muridnya Liam. Saat tes drive terakhir, Pak Anto, supir kalian yang jadi penguji." Tawa Kalista terkembang di ujung kalimat. Jihan jadi ikut tertawa. Bian di sana hanya memilih diam. Kalista jug
Acara syukuran pun berlangsung keesokan harinya. Walau Margareth sering mengatakan apabila acara tersebut berlabel sederhana, tetap saja di mata Kalista, semuanya berbalut kemewahan. Hidangan-hidangan lezat tersaji di pekarangan belakang yang disulap menjadi tempat pesta. Meja-meja berjejer rapi dimana di tengahnya terdapat bunga lily segar. Satu meja di kelilingi oleh enam buah kursi. Para tamu undangan yang datang adalah rata-rata rekan bisnisnya Bian dan Nicholas, sebagian juga teman-temannya Margareth, dan teman-teman Jihan di circle yang sangat berbeda dari Kalista. Para karyawan Glitz Chemical juga diundang ke pesta tersebut. Lagi-lagi bila ada keramaian seperti ini, seorang Kalista hanya duduk di tepian bahkan di pojokan mengamati situasi. Kalista bisa melihat tawa bahagia ayah dan ibu Bian bersama para tamu yang datang dengan balutan pakaian mahal. Di sekitar sana juga ada Saddam, ayahnya Liam yang tampak merengut tak bahagia di antara