"Kau selalu mengatakan hal positif tentangnya. Ketika aku mengenalnya langsung dan hampir setiap hari melihat wajahnya, semakin terlihat pula berbagai macam kekurangannya."
Jihan terkekeh mendengar penuturan Kalista."Kau saat sekolah dulu sangat mengaguminya. Ku pikir kau akan mencintainya dengan mudah."Kalista menggeleng,"Sulit. Bukan karena soal sifat Bian, tapi karena dia suamimu.""Suamimu juga. Suami kita," sahut Jihan dengan entengnya.Kalista tersenyum kesal,"Hentikan mengatakan itu. Aku tidak akan pernah terbiasa dengan kata kita. Aku tahu kita berdua sering berbagi. Memakai baju bergantian, sepatu, tas, sampai jepit rambut yang sama. Namun aku tak menyangka punya suami yang sama denganmu.""Nanti kita juga akan punya anak yang sama."Kalista mendesah pasrah."Kal, kau pasti lelah, ya, karena harus memenuhi ekspektasiku?"Kalista menggeleng,"Kau pasti lebih lelah dari diriku, karena lebih bBian nyaris mematahkan hidung Nevan jika saja ia tak segera menghindar dari tinjunya. Pengunjung restoran memekik tertahan menyaksikan kericuhan yang disebabkan dua pria parlente tersebut. "Jangan melecehkan istriku, Brengsek!" Bian tak pernah merasa semarah ini. Rasanya begitu terbakar ketika Nevan dengan mulut tak sopannya menyindir tentang perilaku Kalista di tempat tidur. "Dia ibu dari putraku, Bodoh! Kau sekarang mendua?" Nevan masih bisa menyeringai kala Bian menendang meja, membaliknya hingga menimbulkan berantakan yang abstrak. "Terlambat, sialan! Kau sudah menyia-nyiakannya dan aku tidak akan memberimu kesempatan kedua. Kalista milikku dan akan tetap menjadi milikku selamanya." Bian kembali melayangkan tinju. Nevan siap menghindar dan bersamaan dengan itu, dua orang security bersama seorang manager restoran datang untuk melerai, lebih tepatnya mengusir Bian dan Nevan yang tentu membuat suasana restoran tidak kondusif dan menimbulkan k
Jihan begitu bahagia malam itu. Dibantu Kalista, ia merias dirinya dengan harapan Bian akan jatuh cinta kembali. Jihan mengenakan gaun terbaiknya yang akhirnya bisa ia tunjukkan pada Bian. Sepanjang jalan, Jihan begitu gugup. Jihan terus menggenggam tangan Kalista yang sibuk terkekeh, karena Jihan seolah terserah serangan panik. Kalista berulang kali menenangkannya, khawatir kalau Jihan berkeringat, maka akan mengurangi penampilannya. Walau Jihan menggunakan make up waterproof, tetap saja Kalista tidak mau ada keringat yang nyempil di wajah cantik Jihan. "Harusnya kau spa dulu ya tadi siang. Terus luluran.""Apa sih, Kal? Jadi seperti mau menikah saja pakai seperti itu." Jihan tertawa lebar. "Ya kan biar Mas Bian jatuh cinta lagi. Eh, tapi sepertinya si Bian memang tidak bisa tidak jatuh cinta denganmu. Soalnya dia suka sekali memujimu."Jihan semakin malu saat Kalista mengatakan hal demikian. Kalista memang suka sekali mengg
Liam dan Nanda asyik bercengkerama. Sedangkan Kalista total membisu di mana di hadapannya sekarang ada Nevan yang sama bungkamnya. Kalista sengaja tidak menegur Nevan. Begitu pula sebaliknya. Keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dialog yang terjadi antara Liam dan Nanda seolah tak terdengar sama sekali di rungu Kalista dan Nevan. Nevan tak membuang muka dari sang mantan istri yang menunduk sejak tadi. Sayang mereka bertemunya dalam situasi yang kurang tepat. Jika saja Nevan tahu bila Kalista ada di Euforia World, maka Nevan tidak akan menyetujui ajakan Nanda untuk berkencan. Jika sudah begini, pasti Kalista akan berpikiran macam-macam tentangnya. Rasanya gatal untuk mengobrol dengan Kalista. Nevan pun merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Ia ketik sesuatu di ruang percakapan dan dikirimkan kepada Kalista. Nevan bisa mendengar denting notifikasi di ponsel Kalista. Wanita itu membaca chat dari Nevan. Kalista mendongak sedikit se
Betapa terkejutnya Jihan dengan pemandangan yang ia lihat setelahnya. Kedua netra Jihan membelalak tak kuasa. Cengkeraman Jihan oleng dan nyaris saja ambruk. Untung berhasil bertumpu pada sesuatu. Kamar Kalista tidak terkunci, bahkan pintunya tidak tertutup. Hanya dirapatkan begitu saja. Jangan salahkan Jihan yang akhirnya melihat Kalista merangkak di lantai tanpa sehelai benang pun dengan Bian yang juga dalam penampilan sama seperti Kalista. Jihan melihat sahabat dan suami tercintanya telanjang bulat dengan area selatan mereka yang menyatu begitu jelas. Tidak pernah sebelumnya Jihan menyaksikan hal semenggairahkan itu. Bian dan Kalista seperti lupa segalanya selain aktivitas menyentuh satu sama lain dan mengerang kenikmatan. Jihan sudah tahu bila yang ia lihat bukan barang tontonan. Namun tidak tahu mengapa, matanya malah tidak mau melepaskannya dari hal tersebut. Jihan bisa melihat jelas kedua orang yang paling ia percaya di dunia itu sedang berada di
Seminggu kemudian, Jihan sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Walaupun demikian, Jihan diharuskan untuk memeriksakan kandungannya sekali dalam seminggu. Dengan dituntun perlahan oleh Bian, seakan-akan Jihan adalah sesuatu yang rapuh dan bisa pecah berantakan kapan saja, Bian tidak pernah melepaskan barang sedetik pun sentuhannya. Ketika Jihan dan Bian sudah bersiap masuk ke mobil, kaca jendela mobil tersebut turun dan menampilkan senyum cerah Kalista yang sudah siap di balik kemudi. "Halo, Tuan Putri. Sudah siap kembali ke istana? Izinkan saya yang menjadi supir anda hari ini.""Kal, kau bisa menyetir?" Jihan cukup terkejut dengan tawaran Kalista yang akan mengemudikan mobil hari itu. "Yes. Selama kau di rumah sakit, aku jadi muridnya Liam. Saat tes drive terakhir, Pak Anto, supir kalian yang jadi penguji." Tawa Kalista terkembang di ujung kalimat. Jihan jadi ikut tertawa. Bian di sana hanya memilih diam. Kalista jug
Acara syukuran pun berlangsung keesokan harinya. Walau Margareth sering mengatakan apabila acara tersebut berlabel sederhana, tetap saja di mata Kalista, semuanya berbalut kemewahan. Hidangan-hidangan lezat tersaji di pekarangan belakang yang disulap menjadi tempat pesta. Meja-meja berjejer rapi dimana di tengahnya terdapat bunga lily segar. Satu meja di kelilingi oleh enam buah kursi. Para tamu undangan yang datang adalah rata-rata rekan bisnisnya Bian dan Nicholas, sebagian juga teman-temannya Margareth, dan teman-teman Jihan di circle yang sangat berbeda dari Kalista. Para karyawan Glitz Chemical juga diundang ke pesta tersebut. Lagi-lagi bila ada keramaian seperti ini, seorang Kalista hanya duduk di tepian bahkan di pojokan mengamati situasi. Kalista bisa melihat tawa bahagia ayah dan ibu Bian bersama para tamu yang datang dengan balutan pakaian mahal. Di sekitar sana juga ada Saddam, ayahnya Liam yang tampak merengut tak bahagia di antara
"Apa kau ingin memiliki Bian?" pertanyaan Liam termasuk menjebak bagi Kalista. Kalista sangat memahami bedanya mencintai Nevan dan mencintai Bian di sini. Ketika mencintai Nevan, Kalista cenderung tidak ingin memiliki. Mengapa? Karena Kalista sudah pernah menjadi milik pria itu, tapi yang dia dapatkan bukan kebahagiaan. Dan ketika mencintai Bian, Kalista merasa tersiksa. Tersiksa melawan perasaan dan prinsip sendiri, karena Kalista merasa tidak akan pernah mengkhianati Jihan. Namun nyatanya, Kalista sudah jatuh tanpa ia sadari. Kalista sudah jatuh ketika hatinya masih dihiasi nama Nevan. Bian diam-diam menghapus Nevan dari dinding hati Kalista sedikit demi sedikit. "Sebaiknya aku tidak menginginkan itu, Val." Jihan yang menguping, mengurungkan niat untuk menemui Kalista. Dia juga tidak mau kalau Liam mengetahui hal tersebut. Jihan memilih kembali ke lokasi pesta dengan pikiran kusut di kepala. Apa yang harus Jihan lakukan sekarang? I
Pagi senin hari itu berjalan normal untuk Jihan. Bian yang terbangun disampingnya setelah ia peluk semalaman untuk tidur. Bian yang memakan sarapan buatnya dan sebagian ia jadikan bekal seperti biasa. Ia yang memasangkan dasi untuk Bian dan diberikan kecupan selamat pagi. Tak lupa berpamitan pada Mochi yang masih sebesar stroberi di rahim Jihan. Semua itu sempurna untuk Jihan yang merasa segalanya sudah kembali seperti semestinya. Hingga akhirnya Jihan menaiki tangga untuk menuju kamar Kalista. Tumben sekali pikirnya Kalista belum siap-siap ke kantor. Akan tetapi kalau dipikir-pikir, ini bahkan belum pukul tujuh. Bisa jadi Kalista masih bersiap atau bahkan masih tidur. Jika memang demikian, Jihan ingin berbicara empat mata sebentar perihal cerita di SMA dulu. Tetapi ketika pintu kamar Kalista yang entah sengaja atau tidak dikunci, hanya ruangan kosong yang didapat Kalista. "Nyonya, maaf. Saya baru saja ditelpon Nyonya Kalista untuk mengunci kamarnya. Katanya lupa