Semua warga sudah pulang ke rumah masing-masing. Tenda kursi pun sudah dirapikan, ditumpuk tinggi agar besok, saat tahlilan lagi, tinggal diturunkan saja. Tikar dan karpet pun sudah masuk ke dalam rumah dan disimpan di rumah tengah. Namun, rumah juragan tidak sepi. Masih ada Udin, Yadi, Pak Hasan, bahkan Rinai masih di sana. Begitu juga Mbok Nah. Semua berkumpul di meja makan untuk berbincang sebelum semua kembali pada aktivitas masing-masing.Wajahnya pada sendu tak bercahaya. Semua sedih dengan meninggalnya majikan mereka. Suara pintu dibuka, semua menoleh ke lantai atas. Jelita turun digandeng oleh Syabil. "Mbok, buatkan saya air jahe. Tenggorokan saya sakit dan pedih banyak menangis," pinta Jelita dengan suara serak. "Boleh, Non, tunggu sebentar ya.""Mbok, nyalakan saja kompornya, terulus kembali ke sini lagi. Sambil bawa jahe aja, kupas di sini," titah Jelita lagi. Mbok Nah melakukan seperti yang diperintahkan majikannya."Bagaimana perasaan kalian? Pasti syok, sama seperti sa
Sebulan berlalu Abdi masih dalam mode ingatan yagbbekum kembali. Luisa masih bersabar terhadap hal itu, meskipun terkadang ada rasa lelah menderanya. Dalam keadaan hamil lima bulan, ia berusaha kuat, tegar mendampingi suaminya yang belum juga mengenali dan ingat padanya. Sebuah lamaran yang ia kirim ke kantor media redaksi, dibalas oleh pihak kantor tersebut. Akhirnya, setelah sekian lama menjadi nona dan nyonya, akhirnya ia diterima bekerja. Email yang baru ia baca subuh, ternyata mengatakan bahwa ia harus diwawancara pagi ini jam delapan. Luisa pun mandi dan bergegas mengganti pakaian. Abdi sejak tadi memperhatikan istrinya yang terus sibuk dengan wajah cerah ceria . "Mau ke mana? " tanya Abdi. "Mau wawancara kerja.""Kamu lagi hamil, emangnya bisa kerja?" Luisa tersenyum, kemudian mengangguk. "Kerja jadi editor media online. Bisa dikerjakan di rumah. Dari pada nganggur, nungguin suami yang gak inget sama istri, lebih baik saya kerja. Biar otak saya fresh, sehingga bayi saya
Sudah dua bulan sejak Levi diputuskan penjara selama sepuluh tahun dan selama itu pula, istri dan mommy-nya rajin menjenguk. Rana tinggal bersama ibu mertuanya, merawat Bu Hera yang kesehatannya perlahan menurun setelah Levi dipenjara. Beberapa kali beliau terserang demam, sariawan, asam lambung, dan pernah juga terjatuh saat tersandung karpet di ruang tamu. Daya tahan tubuhnya perlahan menurun karena terus memikirkan nasib putra semata wayang yang masih sepuluh tahun kurang tiga bulan lagi mendekam di penjara. Ia merawat dengan penuh cinta kasih karena mertuanya pun juga menyayanginya layaknya anak sendiri."Hari ini kamu gak jenguk Levi?" tanya Bu Hera."Nggak, Ma. Saya jenguk sesuai jadwal saja. Kalau sesuai jadwal, gak perlu bayar ke petugas, Ma. Kalau kita diluar jadwal, jadi kena bayar uang administrasi. Sayang uangnya, lebih baik disimpan untuk Mama yang lagi kurang sehat. Bisa untuk lahiran ini nanti juga." Rana memegang perutnya yang masih rata. Bu Hera tersenyum."Benar ju
“Assalamualaykum.” Rinai mengucap salam dari depan pintu rumah.“Wa’alaykumussalam. Eh, Rinai. Pak, Rinai pulang!” seru Bu Surti yang tidak lain adalah ibu dari Rinai. Ia menyambut anak gadis tengah yang baru lagi ini pulang setmah setengah tahun bekerja di Juragan Andri.“Alhamdulillah, anak Bapak udah pulang.” Pak Yanto juga menyambut putrinya dengan senang. Meskipun Rinai bekerja hanya berjarak satu kilometer saja dari rumah, tetapi Rinai memabg tidak pernah pulang ke rumah. Itu perjanjian yang ia sepakati dengan Jelita sewaktu akan bekerja. Kini, ia pulang ke ruamhnya untuk melepas rindu.“Kamu ijin berapa hari?” tanya Pak Yanto pada Rinai.“Saya keluar, Pak. Bapak udah dapat kabar kan, kalau Syabil menikah dengan majikan saya. Non Jelita adalah istri Syabil. Kabar terbaru yang saya dengar, Non Jelita tengah hamil. Jadinya saya pamit untuk tidak bekerja lagi. Saya udah gak ada harapan untuk dekat dengan Syabil karean Syabil udah menjadi ayah. Bukan hanya satu bayi yang dik
“Assalamualaykum.” Rinai mengucap salam dari depan pintu rumah.“Wa’alaykumussalam. Eh, Rinai. Pak, Rinai pulang!” seru Bu Surti yang tidak lain adalah ibu dari Rinai. Ia menyambut anak gadis tengah yang baru lagi ini pulang setmah setengah tahun bekerja di Juragan Andri.“Alhamdulillah, anak Bapak udah pulang.” Pak Yanto juga menyambut putrinya dengan senang. Meskipun Rinai bekerja hanya berjarak satu kilometer saja dari rumah, tetapi Rinai memabg tidak pernah pulang ke rumah. Itu perjanjian yang ia sepakati dengan Jelita sewaktu akan bekerja. Kini, ia pulang ke ruamhnya untuk melepas rindu.“Kamu ijin berapa hari?” tanya Pak Yanto pada Rinai.“Saya keluar, Pak. Bapak udah dapat kabar kan, kalau Syabil menikah dengan majikan saya. Non Jelita adalah istri Syabil. Kabar terbaru yang saya dengar, Non Jelita tengah hamil. Jadinya saya pamit untuk tidak bekerja lagi. Saya udah gak ada harapan untuk dekat dengan Syabil karean Syabil udah menjadi ayah. Bukan hanya satu bayi yang dik
Levi terus bersujud di lantai kamar premium saat mengetahui istrinya hamil kembar. Air matanya tidak berhenti mengalir karena begitu bersyukur atas kabar bahagia ini.Bu Hera pun ikut memeluk putranya dengan haru."Sayang, bener kan kata Mommy. Kamu nurut aja kata Mommy, akhirnya bisa bahagia kan. Untunglah ketemu Rana yang sayang banget sama kamu. Bukan karena harta kamu, tetapi karena memang cintanya begitu besar sama kamu, Nak." "Makasih, Ma." Ibu dan anak itu saling berpelukan. Rana ikut terharu melihat pemandangan ini karena baginya, mama mertua dan suaminya begitu berharga. Kabar bahagia Rana pun disematkan gadis itu di status WA. Tentu saja bapak dan kakaknya ikut membaca status tersebut. Jika Pak Ramdan merasa begitu senang, maka berbeda dengan Adis yang sampai saat ini masih menyimpan rasa iri di hati. "Begitu aja sombong!" Ketus Adis."Ya itu bahagia namanya, Nak. Kamu gak boleh gitu karena dia adik kamu. Dia satu-satunya sodara kamu dan kalian harus akur." Pak Ramdan men
“Pa.” pinta Luisa memohon.Namun, tatapan memohon putrinya yang biasanya selalu berhasil membuat pria paruh baya itu luluh, tak sedikit pun membuat hati Pak Darmono tergerak dan menarik perkataannya.Setelah tempo hari dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kembali drop, Pak Darmono benar-benar melarang Luisa menemui Abdi. Jangankan menginjakkan kaki ke rumah sakit, sekadar keluar rumah pun wanita itu tak diberi ijin. Hal itu jelas menyiksanya. Selain tak ingin melewatkan sedikit pun perkembangan Abdi pasca koma, Luisa takut, jika dia terlalu lama tak mengunjungi Abdi, pria itu benar-benar tak akan mengingatnya lagi.“Tolong jangan begini, Pa. Biarkan aku menemui Kang Abdi seperti biasa.”“Papa bilang tidak, ya berarti tidak Luisa. Harus berapa kali papa mengatakannya supaya kamu bisa mengerti?”“Aku sudah baik-baik saja,” ujar Luisa bersikeras.“Tempo hari kamu juga mengatakan itu, tapi apa? Nyatanya kamu drop lagi dan harus kembali di larikan ke rumah sakit kan?”“It
Rasanya masih seperti mimpi. Sejak terbangun dari tidurnya usai menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, Luisa tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Terlebih saat wanita itu melihat Abdi masih tertidur pulas di sampingnya. Sisi ranjang yang biasa kosong dan Luisa tempati seorang diri, kini kembali menemukan pemiliknya. Membuat hati Luisa menghangat seketika. Apalagi saat tanpa permisi bayangan saat Abdi menyentuhnya semalam kembali berputar.Menarik lebih tinggi selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubun polos keduanya, Luisa mengubah posisi menjadi berbaring miring menghadap Abdi agar bisa sepuasnya menatap wajah itu dari dekat. Pria itu boleh saja masih kehilangan ingatannya, namun cara Abdi menyentuhnya semalam benar-benar sama. Memuja dan begitu memabukkan.“Haruskah aku memberimu obat perangsang setiap hari agar kamu bisa terus bersikap manis seperti semalam sama aku, Kang?” gumam Luisa setengah berbisik. “Aku benar-benar merindukan kamu..”Luisa bergerak me