Rasanya masih seperti mimpi. Sejak terbangun dari tidurnya usai menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, Luisa tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Terlebih saat wanita itu melihat Abdi masih tertidur pulas di sampingnya. Sisi ranjang yang biasa kosong dan Luisa tempati seorang diri, kini kembali menemukan pemiliknya. Membuat hati Luisa menghangat seketika. Apalagi saat tanpa permisi bayangan saat Abdi menyentuhnya semalam kembali berputar.Menarik lebih tinggi selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubun polos keduanya, Luisa mengubah posisi menjadi berbaring miring menghadap Abdi agar bisa sepuasnya menatap wajah itu dari dekat. Pria itu boleh saja masih kehilangan ingatannya, namun cara Abdi menyentuhnya semalam benar-benar sama. Memuja dan begitu memabukkan.“Haruskah aku memberimu obat perangsang setiap hari agar kamu bisa terus bersikap manis seperti semalam sama aku, Kang?” gumam Luisa setengah berbisik. “Aku benar-benar merindukan kamu..”Luisa bergerak me
Luisa menatap layar laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Sudah lebih dari seminggu setelah pertengkaran hebatnya dengan Abdi, hingga kini kedua masih terlibat perang dingin. Tak ada satu pun yang mau mengalah untuk meminta maaf.Tak terhitung sudah berapa kali Pak Darmono atau pun Nisa memberi nasehat agar Luisa lebih bersabar menghadapi Abdi yang memang masih dalam masa pemulihan. Namun Luisa yang terlampau sakit hati, dengan bebal mengabaikan semua nasehat yang diberikan.“Kenapa harus aku yang selalu mengalah? Harusnya yang papa nasehati itu dia, bukan aku. Sekalian minta dia buat dengarkan penjelasan orang lain dulu, sebelum marah-marah tidak jelas.” Sahut Luisa tempo hari saat Pak Darmono mengajak wanita itu putrinya itu untuk bicara empat mata soal hubungan putrinya dengan sang menantu yang tak kunjung membaik. “Di pikir yang punya hati dan bisa tersinggung dia saja apa?” Setelah itu, Pak Darmono hanya bisa menghela napas saat melihat Luisa dan Abdi sibuk menghindar s
Pria itu diperiksa oleh dokter jaga di ruang gawat darurat, yang mendiagnosis geger otak. Pria itu tidak sadarkan diri sejak dari rumah sampai rumah sakit, sempat sadar sebentar saat berada di mobil tetangga yang membawa mereka, tetapi pingsan lagi sampai di rumah sakit."Apa Nona istri atau adik Pak Jonas?" "Bukan, Dok, saya ART-nya," jawab Rinai gugup. Baru dua Minggu kerja, ia sudah dua kali bikin bosnya celaka. Pertama ia menjatuhkan buku tepat di kepala Jonas dan yang kedua, hari ini, ia tengah mengepel lantai dan masih licin, tetapi Jonas malah berlari dan terpeleset. Rinai pun sudah siap dengan konsekuensinya kalau ia dipecat. Masih mending dipecat, bagaimana kalau dipenjara?"Coba hubungi keluarganya pasien," mata dokter itu pada Rinai."Saya gak bawa HP, Dok." Rinai yang kebingungan saat Jonas pingsan, tentu saja tidak ingat akan ponselnya. "Kamu gak hapal nomor yang lain?""Ada, Dok, nomor Cici teman saya yang masukin saya kerja di rumah Pak Jonas." Salah satu perawat pun
"Non, kenapa? Mau langsung tidur atau kita mau ngobrol dulu?" tanya suamiku dengan senyuman lebar. "Ngobrol, Kang. Saya memang udah capek, tapi belum mengantuk." Aku naik ke atas ranjang baru yang dihadiahkan papa untuk kami. Untunglah kamar Kang abdi luas, sehingga kasur ukuran seratus delapan puluh itu muat di kamar. Ditambah lemari baju, sebuah rak, dan juga meja rias. Lantainya masih dari semen, sehingga ruangan di dalam rumah luas. Baik kamar, ruang tamu, ruang kumpul keluarga, dan juga dapur. Ditambah rumah Kang Abdi tanpa sekat. Aku rasa, saat nanti kami punya anak, anak-anak bisa main bola di dalam rumah."Lagi mikirin apa, Non?" tanya suamiku yang kini sudah menatapku dengan wajah manisnya. Istri mana yang tidak GR sekaligus berbunga-bunga ditatap begitu oleh suami."Lagi mikirin takdir yang membawa saya menjadi istri untuk kedua kalinya," jawabku ikut tersenyum. Kuberanikan diri untuk mengambil tangannya, lalu kegenggam erat. "Bantu saya melewati semua ini ya, Kang. Kakang
Istrinya sedang meeting zoom di halaman depan. Nampaknya begitu serius dan tidak bisa diganggu. Ia lewat saat menyapu saja, istrinya tidka menoleh. Hal itu membuatnya semakin ketar-ketir. Abdi masuk ke kamar, rencananya ia kaan meminta maaf pada Luisa dan ingin memulainya smua dari awal. Karena bosan seharian di kamar, Abdi pun membuka lemari. Ia ingin melihat album foto pernikahan yang disimpan Luisa didalam kotak. Prak! "Aduh! " Abdi menyentuh kepalanya yang pedih karena ditimpa buku tebal. Ia membolak-balikan buku bersampul merah muda itu. Ia buka berlahan dan ia menemukan tulisan Luisa. Ini diari sang Istri . Kapan istrinya menulis? Aku di sini, di kota Yogyakarta yang katanya kota akan penuh kenangan. Hal itu yang aku rasakan saat ini, tepat tiga hari aku dan Kang Abdi melewati masa honeymoon yang sebenarnya kabur di kota ini. Aku senang diajak berkeliling Yogyakarta, sepertinya Kang Abdi banyak tahu tentang kota ini. Suamiku juga sangat perhatian dan penuh kehati-hatian. Se
Lembaran kedua di balik oleh Abdi diantara serangan sakit kepala itu. Ia hampir menyerah, tapi ia harus tahu isi lengkap dari istrinya. Apa saja yang sudah mereka lalui bersama dan bagaimana bisa ia tidak mengingatnya sedikit pun.Kang Abdi tidak main-main dengan ucapannya. Kami tidak jadi pergi jalan-jalan, melainkan mampir di sebuah motel yang tidak terlalu besar. Biaya sewanya saja hanya delapan puluh ribu untuk satu hari. Kamarnya tidak terlalu besar, tetapi rapi. Isi kamar standar seperti hotel bintang tiga lainnya. "Kenapa tidak balik ke hotel kita pertama saja?" tanyaku saat ia tengah membuka kancing baju gamis ini dengan napas memburu. "Kakang terlalu lapar." Suaranya bergetar menahan hasrat. Aku pun pasrah jika saat ini jilbab panjangku sudah teronggok di lantai. Kami berciuman dengan penuh kerinduan setelah mengungkapkan perasaan masing-masing. Jika kebanyakan orang mungkin akan mengungkapkan perasaan di restoran mewah atau tempat menyenangkan, tetapi kami malah di pedang
"Tuan, ini makan malam ...."Prak!"Aku gak butuh perhatian dari kamu, Bangsat! Gara-gara kamu, wanita yang paling aku cintai kini menikah dengan orang lain. Kamu sialan! Wanita kampung yang gak tahu diri!" Aku mencengkeram kuat rahang kedua pipinya."Dengar, selama Luisa tidak kembali padaku, maka selama itu juga kamu akan aku siksa. Jika kamu berani lapor pada mommy, maka kamu dan bayi sialan kamu itu, akan aku buang ke jurang. Biar kamu tahu siapa Levi Mananta!" Kuhentakkan kembali tubuhnya, hingga wanita itu terhuyung. "Bereskan makanan di atas karpet ini dan jangan ada satu butir nasi pun yang tertinggal, paham!" Rana mengangguk takut. Ia mengusap perutnya yang mulai membuncit dengan gerakan naik turun. Mungkin ia berharap aku iba, tetapi ia salah. Tidak akan ada yang tahu bagaimana kejamnya seorang Levi, sampai kamu berani mengusik kesenangannya.Aku keluar dari kamar. Mommy sedang ke Singapura untuk urusan bisnis berliannya, sehingga aku bebas melakukan apa saja pada Rana. Wan
Sekian tahun kemudian."Mama, Romi hari ini ada kerjaan tugas kuliah," kata seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sedang menyantap sarapan buatan sang Mama."Iya, biasanya juga banyak tugas'kan?""Tapi ini Romi nginep di rumah Ardin." Luisa menghentikan kunyahannya. "Oh, nginep, emangnya gak bisa sampai malam aja?" Luisa tidak pernah mengijinkan putranya untuk tidur di luar, selain di rumah atau di rumah opanya. Untuk itu ia cukup kaget saat Romi meminta ijin tidak pulang. Baginya, mau pulang jam satu malam silakan saja, asalkan tidur di rumah."Maket project, Ma. Tugas kelompok. Ardin, Romi, Soni, sama Muslim. Empat orang ini yang kerja bareng sepulang kuliah nanti." Luisa menghela napas, lalu ia menoleh pada suaminya Abdi yang juga tengah mendengarkan percakapan mereka. "Bagaimana, Pa?" tanya Luisa pada suaminya. "Oke, gak papa. Lagian anak kita udah dua puluh satu tahun. Dia bisa tanggung jawab atas dirinya. Apalagi untuk kerjain tugas kuliah. Berangkat aja, Nak. Tapi