“Assalamualaykum.” Rinai mengucap salam dari depan pintu rumah.“Wa’alaykumussalam. Eh, Rinai. Pak, Rinai pulang!” seru Bu Surti yang tidak lain adalah ibu dari Rinai. Ia menyambut anak gadis tengah yang baru lagi ini pulang setmah setengah tahun bekerja di Juragan Andri.“Alhamdulillah, anak Bapak udah pulang.” Pak Yanto juga menyambut putrinya dengan senang. Meskipun Rinai bekerja hanya berjarak satu kilometer saja dari rumah, tetapi Rinai memabg tidak pernah pulang ke rumah. Itu perjanjian yang ia sepakati dengan Jelita sewaktu akan bekerja. Kini, ia pulang ke ruamhnya untuk melepas rindu.“Kamu ijin berapa hari?” tanya Pak Yanto pada Rinai.“Saya keluar, Pak. Bapak udah dapat kabar kan, kalau Syabil menikah dengan majikan saya. Non Jelita adalah istri Syabil. Kabar terbaru yang saya dengar, Non Jelita tengah hamil. Jadinya saya pamit untuk tidak bekerja lagi. Saya udah gak ada harapan untuk dekat dengan Syabil karean Syabil udah menjadi ayah. Bukan hanya satu bayi yang dik
“Assalamualaykum.” Rinai mengucap salam dari depan pintu rumah.“Wa’alaykumussalam. Eh, Rinai. Pak, Rinai pulang!” seru Bu Surti yang tidak lain adalah ibu dari Rinai. Ia menyambut anak gadis tengah yang baru lagi ini pulang setmah setengah tahun bekerja di Juragan Andri.“Alhamdulillah, anak Bapak udah pulang.” Pak Yanto juga menyambut putrinya dengan senang. Meskipun Rinai bekerja hanya berjarak satu kilometer saja dari rumah, tetapi Rinai memabg tidak pernah pulang ke rumah. Itu perjanjian yang ia sepakati dengan Jelita sewaktu akan bekerja. Kini, ia pulang ke ruamhnya untuk melepas rindu.“Kamu ijin berapa hari?” tanya Pak Yanto pada Rinai.“Saya keluar, Pak. Bapak udah dapat kabar kan, kalau Syabil menikah dengan majikan saya. Non Jelita adalah istri Syabil. Kabar terbaru yang saya dengar, Non Jelita tengah hamil. Jadinya saya pamit untuk tidak bekerja lagi. Saya udah gak ada harapan untuk dekat dengan Syabil karean Syabil udah menjadi ayah. Bukan hanya satu bayi yang dik
Levi terus bersujud di lantai kamar premium saat mengetahui istrinya hamil kembar. Air matanya tidak berhenti mengalir karena begitu bersyukur atas kabar bahagia ini.Bu Hera pun ikut memeluk putranya dengan haru."Sayang, bener kan kata Mommy. Kamu nurut aja kata Mommy, akhirnya bisa bahagia kan. Untunglah ketemu Rana yang sayang banget sama kamu. Bukan karena harta kamu, tetapi karena memang cintanya begitu besar sama kamu, Nak." "Makasih, Ma." Ibu dan anak itu saling berpelukan. Rana ikut terharu melihat pemandangan ini karena baginya, mama mertua dan suaminya begitu berharga. Kabar bahagia Rana pun disematkan gadis itu di status WA. Tentu saja bapak dan kakaknya ikut membaca status tersebut. Jika Pak Ramdan merasa begitu senang, maka berbeda dengan Adis yang sampai saat ini masih menyimpan rasa iri di hati. "Begitu aja sombong!" Ketus Adis."Ya itu bahagia namanya, Nak. Kamu gak boleh gitu karena dia adik kamu. Dia satu-satunya sodara kamu dan kalian harus akur." Pak Ramdan men
“Pa.” pinta Luisa memohon.Namun, tatapan memohon putrinya yang biasanya selalu berhasil membuat pria paruh baya itu luluh, tak sedikit pun membuat hati Pak Darmono tergerak dan menarik perkataannya.Setelah tempo hari dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kembali drop, Pak Darmono benar-benar melarang Luisa menemui Abdi. Jangankan menginjakkan kaki ke rumah sakit, sekadar keluar rumah pun wanita itu tak diberi ijin. Hal itu jelas menyiksanya. Selain tak ingin melewatkan sedikit pun perkembangan Abdi pasca koma, Luisa takut, jika dia terlalu lama tak mengunjungi Abdi, pria itu benar-benar tak akan mengingatnya lagi.“Tolong jangan begini, Pa. Biarkan aku menemui Kang Abdi seperti biasa.”“Papa bilang tidak, ya berarti tidak Luisa. Harus berapa kali papa mengatakannya supaya kamu bisa mengerti?”“Aku sudah baik-baik saja,” ujar Luisa bersikeras.“Tempo hari kamu juga mengatakan itu, tapi apa? Nyatanya kamu drop lagi dan harus kembali di larikan ke rumah sakit kan?”“It
Rasanya masih seperti mimpi. Sejak terbangun dari tidurnya usai menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, Luisa tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Terlebih saat wanita itu melihat Abdi masih tertidur pulas di sampingnya. Sisi ranjang yang biasa kosong dan Luisa tempati seorang diri, kini kembali menemukan pemiliknya. Membuat hati Luisa menghangat seketika. Apalagi saat tanpa permisi bayangan saat Abdi menyentuhnya semalam kembali berputar.Menarik lebih tinggi selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubun polos keduanya, Luisa mengubah posisi menjadi berbaring miring menghadap Abdi agar bisa sepuasnya menatap wajah itu dari dekat. Pria itu boleh saja masih kehilangan ingatannya, namun cara Abdi menyentuhnya semalam benar-benar sama. Memuja dan begitu memabukkan.“Haruskah aku memberimu obat perangsang setiap hari agar kamu bisa terus bersikap manis seperti semalam sama aku, Kang?” gumam Luisa setengah berbisik. “Aku benar-benar merindukan kamu..”Luisa bergerak me
Luisa menatap layar laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Sudah lebih dari seminggu setelah pertengkaran hebatnya dengan Abdi, hingga kini kedua masih terlibat perang dingin. Tak ada satu pun yang mau mengalah untuk meminta maaf.Tak terhitung sudah berapa kali Pak Darmono atau pun Nisa memberi nasehat agar Luisa lebih bersabar menghadapi Abdi yang memang masih dalam masa pemulihan. Namun Luisa yang terlampau sakit hati, dengan bebal mengabaikan semua nasehat yang diberikan.“Kenapa harus aku yang selalu mengalah? Harusnya yang papa nasehati itu dia, bukan aku. Sekalian minta dia buat dengarkan penjelasan orang lain dulu, sebelum marah-marah tidak jelas.” Sahut Luisa tempo hari saat Pak Darmono mengajak wanita itu putrinya itu untuk bicara empat mata soal hubungan putrinya dengan sang menantu yang tak kunjung membaik. “Di pikir yang punya hati dan bisa tersinggung dia saja apa?” Setelah itu, Pak Darmono hanya bisa menghela napas saat melihat Luisa dan Abdi sibuk menghindar s
Pria itu diperiksa oleh dokter jaga di ruang gawat darurat, yang mendiagnosis geger otak. Pria itu tidak sadarkan diri sejak dari rumah sampai rumah sakit, sempat sadar sebentar saat berada di mobil tetangga yang membawa mereka, tetapi pingsan lagi sampai di rumah sakit."Apa Nona istri atau adik Pak Jonas?" "Bukan, Dok, saya ART-nya," jawab Rinai gugup. Baru dua Minggu kerja, ia sudah dua kali bikin bosnya celaka. Pertama ia menjatuhkan buku tepat di kepala Jonas dan yang kedua, hari ini, ia tengah mengepel lantai dan masih licin, tetapi Jonas malah berlari dan terpeleset. Rinai pun sudah siap dengan konsekuensinya kalau ia dipecat. Masih mending dipecat, bagaimana kalau dipenjara?"Coba hubungi keluarganya pasien," mata dokter itu pada Rinai."Saya gak bawa HP, Dok." Rinai yang kebingungan saat Jonas pingsan, tentu saja tidak ingat akan ponselnya. "Kamu gak hapal nomor yang lain?""Ada, Dok, nomor Cici teman saya yang masukin saya kerja di rumah Pak Jonas." Salah satu perawat pun
"Non, kenapa? Mau langsung tidur atau kita mau ngobrol dulu?" tanya suamiku dengan senyuman lebar. "Ngobrol, Kang. Saya memang udah capek, tapi belum mengantuk." Aku naik ke atas ranjang baru yang dihadiahkan papa untuk kami. Untunglah kamar Kang abdi luas, sehingga kasur ukuran seratus delapan puluh itu muat di kamar. Ditambah lemari baju, sebuah rak, dan juga meja rias. Lantainya masih dari semen, sehingga ruangan di dalam rumah luas. Baik kamar, ruang tamu, ruang kumpul keluarga, dan juga dapur. Ditambah rumah Kang Abdi tanpa sekat. Aku rasa, saat nanti kami punya anak, anak-anak bisa main bola di dalam rumah."Lagi mikirin apa, Non?" tanya suamiku yang kini sudah menatapku dengan wajah manisnya. Istri mana yang tidak GR sekaligus berbunga-bunga ditatap begitu oleh suami."Lagi mikirin takdir yang membawa saya menjadi istri untuk kedua kalinya," jawabku ikut tersenyum. Kuberanikan diri untuk mengambil tangannya, lalu kegenggam erat. "Bantu saya melewati semua ini ya, Kang. Kakang