"Aku gak tahu, Sya," jawab Jelita gugup. "Syukurlah kalau Non memang tidak tahu karena kalau Non tahu, pasti Non dinyatakan bersalah karena diam saja saat mengetahui ada penyekapan.""Aku bersumpah aku gak tahu, Sya. Kamu nakutin aku aja nih." Syabil tersenyum. "Kalau gitu, saya akan ikut pulang ke Indonesia. Saya akan dampingi Non di sana.""Lalu kerjaan kamu?""Saya akan beli tiket untuk berangkat sore nanti. Semoga masih ada seat kosong. Pagi ini saya ke rumah sakit dulu, sekalian pamit sama Bu Gina.""Bu Gina?" Jelita seperti tidak asing dengan nama tersebut. "Iya, Bu Ginapok yang meminta saya mengurus sodaranya yang sakit. Sudah, saya berangkat ke rumah sakit dahulu ya. Siang nanti kita balik sama-sama." Jelita tersenyum sambil mengangguk. Begitu Syabil pergi, Jelita tidak bisa melanjutkan kembali tidurnya, padahal biasanya ia akan tidur lagi setelah Syanil berangkat kerja. Wanita itu takut akan nasibnya saat nanti tiba di kampung. Lalu bagaimana papanya dan ada di mana papan
Bu Hera dan Rana menumpang taksi online untuk pulang ke rumah yang mereka sewa. Ada dua orang polisi berjaga di depan sebuah rumah besar yang sudah diberi garis polisi. Bu Hera dan Rana tentu saja terus menata ke arah rumah tersebut.“Ada apa ya? Apa rumahnya kemalingan?” tanya Bu Hera pada Rana.“Kamu juga baru lihat?” tanya wanita itu lagi pada Rana dan Rana mengangguk.“Tadi pagi berangkat ke rumah sakit gak ngeh, Ma. Kira-kira ada apa ya? Kalau rampok berarti lingkungan di sini gak aman domg ya? Tapi kata Pak Samsul lingkungan tempat tinggal saudaranya ini aman, Ma,” komentar Rana. Taksi yang mereka tumpangi pun sudah berhenti tepat di depan rumah mereka.“Ada wanita hamil disekap di rumah besar itu, Bu. Ada masuk TV dan ramai beritanya. Sampai sekarang polisi masih mencari tahu pemilik rumah dan siapa yang menyekap wanita hamil itu di dalam sana.” Bu Hera dan Rana saling pandang. “Wah, serem ya. Makasih informasinya, Pak.” Bu Hera masuk ke dalam rumah setelah Rana mem
"Selamat malam Non Jelita, apa kabar?” sapa Yadi dan Udin bersamaan.“Malam Udin dan Yadi. Saya sehat sejak ada Syabil di dekat saya,” jawab Jelita sambil mencolek lengan Syabil yang tengah memegang koper Jelita. Udin dan Yadi tertawa. Jika Udin sudah tahu tentang kisah Syabil dan anak juragannya, beda dengan Yadi yang belumtahu apa-apa. Hanya saja, Syabil masih merahasiakan kehamilan Jelita pada orang lain. Untuk saat ini, hanya dirinya dan Jelita yang tahu bahwa wanita itu tengah hamil.“Katanya saya ada tamu ibu sambung dan kakek sambung. Orangnya di mana?” tanya Jelita pada Udin.“Ada di dalam kalau Mbak Adis, tetapi bapaknya sedang keluar.”“Oke, di rumah ini tidak mungkin ada kakek sambung karena saya tidak nyaman. Saya tidak ijinkan pria itu untuk masuk ke sini. Cukup anaknya saja. saya gak suka rumah sayan dimasuki orang asing.” Petuah itu tentu saja disambut senyuman oleh Udin dan Yadi. Akhirnya satu orang benalu pergi dari rumah majikannya. Tersisa satu wanita yang a
"Wah, Nyai ada tamu lama nih! Masuk sini!” saura tua renta itu mempersilakan Pak Ramdan masuk ke dalam rumah sederhananya. “Apa kabar?” tanya nenek tua yang lebih dikenal dengan Nyai Larsih itu. “Saya lagi gak sehat, Nyai. Makanya saya kemari. Saya mau minta tolong buat anak saya.”“Siapa?” wanita tua itu memasukkan daun sirih ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya santai.“Adis atau Rana? Kalau dari raut wajah kamu, pasti Adis yang lagi ada masalah.” Pak Rmadan menarik naps panjang. Lalu mengembuskannya perlahan.“Betul, Nyai. Adis itu lagi ada masalah dengan anak sambungnya. Namanya Jelita dan ini fotonya.” Pak Ramdan menunjukkan foto Jelita yang memang ia punya. “Anak sambungnya udah tua ini. Oh, iya, Adis jadi bini muda si Tukang kawin Andri ya?” Pak Ramdan mengangguk.“Darah ayam cemani perempuan bawa besok ya. Besok saya mulai. Mau dibikin sakit atau cukup ganggu dengan jin saja?”“Sakit saja, Nyai dan kalau bisa sakitnya gak ada obatnya.” Nyai Larsih tertawa.
"Halo, ada apa, Non?" suara Syabil terdengar khawatir. Ini masih jam lima pagi, tetapi Jelita sudah meneleponnya."Mau nanya doa qunut apaan?""Hah, doa qunut? Non mau ngapain?""Mau bakar rumah orang, Syabil. Ya jelas mau solat. Biar gak gampang digoda oleh setan yang bentukannya kadang berubah mirip kamu.""Ha ha ha ... kayaknya kesambet banci negara tetangga ini ya.""Biarin, udah cepet apaan doanya. Ngobrol sama kamu lama-lama di telepon bisa bikin aku pengen cepet daftar ke KUA." Lagi-lagi Syabil terbahak karena ucapan Jelita yang sangat aneh di subuh hari."Udah sehat kalau udah bisa becanda gini. Saya tulisan dulu doa qunut dalam tulisan bahasa Indonesia ya, nanti sekalian saya bawa pas ke rumah Non.""Iya, bawakan juga ayat qursi kalau ada yang hiasan dinding ya. Aku pengen gantung di rumah. Biar gak ada jin yang masuk ke rumahku.""Bukannya udah ada satu orang jin yang masuk? Namanya Adis, belum kenalan emang? ha ha ha ....""Ish, orang serius, dia malah bercanda. Ya sudah,
Jelita mengirimkan pesan pada Syabil tentang papanya yang dirawat di rumah sakit di Thailand, dengan diagnosa HIV. Namun, Syabil tidak membuka pesan itu karena Syabil tengah berlatih bela diri di belakang rumah. Baik dari kakek moyangnya memang senang dan jago beladiri. Hanya dirinya saja yang baru dua tahun, setelah hampir mati dikeroyok sekelompok pemuda yang mabuk-mabukan. Jika tidak ditolong Abdi, mungkin ia sudah meninggal. Sejak saat itu, Syabil berlatih bela diri secara otodidak dan sesekali diarahkan gerakannya oleh bapaknya. Di rumah Juragan Andri, Adis yang berada di kamar belum juga membereskan pakaian yang sudah sempat ia susun ke dalam lemari. Ia tidak begitu yakin ucapan Jelita benar karena bisa saja anak sambungnya itu hanya ingin ia pergi dari rumah yang sebentar lagi juga akan jadi miliknya. Kring! Kring!Tangannya dengan lincah menggeser layar ponsel yang bertuliskan terima. "Halo, Pak.""Halo, ada apa tadi kamu telepon Bapak? Bapak baru dari Kampung Jati, cari a
Bu Gina berkoordinasi dengan dokter yang merawat Juragan Andri. Pagi itu Bu Gina terbang ke Thailand untuk mengurus pemindahan kakaknya dari Thailand ke Indonesia. Semua itu ia lakukan agar kakaknya bisa diurus oleh banyak orang dan juga keluarga. Meskipun tidak secara langsung. Secara dekat, tetapi paling tidak ada yang di dekatnya untuk menghibur.Kondisi Juragan Andri belum langsung di ACC untuk pindah rumah sakit dalam waktu cepat. Dokter harus mengobservasi terlebih dahulu sambil melihat perkembangan kesehatan pasien mereka. Tentu saja jika sudah tidak terlalu lemas, mau makan, demamnya reda, dan tenggorokan sudah tidak sakit, maka baru bisa Juragan Andri dipindahkan perawatannya. Bu Gina menulis di kerta HVS dengan tulisan besar-besar. 'Jelita sudah di rumah utama. Anak Mas sehat. Jadi Mas harus cepat sehat juga. Biar bisa saya bawa ke Indonesia'Bu Gina mengetuk dinding kaca, agar kakaknya yang tengah melamun, menoleh ke arahnya dan membaca tulisan di kertas tersebut. Juragan
"Kamu mantan Syabil?" tanya Jelita setelah batuknya reda. Rinai mengangguk. "Hanya kisah lama, Nyonya. Yang jelas saat ini saya butuh uang." Jelita merasa serba salah. Ia butuh asisten, tetapi ia tidak menyangka malah pacarnya Syabil. Apakah nanti mereka tidak akan CLBK? Jelita tidak langsung menerima Rinai. "Tunggu di sini sebentar ya." Jelita naik ke kamarnya untuk menelepon Syabil. Namun, dua kali mencoba, Syabil tak juga mengangkat ponselnya. Ia ingin profesional dan pastinya ia harus percaya Syabil bawah pemuda itu tidak akan berani lari tanggung jawab. "Oke, besok kamu sudah bisa kerja di sini dengan gaji dua juta satu bulan. Jika kinerja kamu bagus dan tidak pernah ada masalah, maka gaji kamu saya naikkan. Kamu besok datang ke sini jam sembilan pagi saja tidak apa. Karena kamar tamu di bawah mau saya kosongkan terlebih dahulu.""Baik, Nyonya, saya sangat berterima kasih sudah diberi kesempatan ini. Saya permisi, Nyonya." Rinai pun pamit undur diri ditemani oleh Udin. Jelit