"Halo, Udin, apa rumah aman?" "Halo, Bu Gina, alhamdulilah...."Srek!Adis berhasil merampas ponsel Udin. "Halo, maaf, saya istrinya Juragan Andri yang baru sepuluh hari dinikahi. Saya mau masuk ke dalam rumah, tetapi tidak bisa. Saya dilarang masuk. Apa ini sodaranya suami saya?""Iya betul, kamu Adis?""Iya, Bu, benar saya Adis. Apa saya boleh masuk ke rumah suami saya?""Tentu saja boleh, tapi kamu gak boleh sembarangan masuk ke kamar yang ada di rumah itu ya. Kamar tamu adanya di bawah, sedangkan kamar khusus Andri tidak bisa dimasukin siapapun. Istrinya pun tidak boleh. Kalau kamu patuh, kamu bisa masuk. Minta Udin bukakan pintu.""Baik, Bu, saya akan patuh." Adis memberikan ponsel pemuda itu kembali. Udin hanya bisa menghela napas. Jika sudah di ijinkan Bu Gina, maka ia bisa apa?"Udin, bukakan pintu rumah untuk Adis. Ia boleh ada di sana, jangan dilarang.""I-iya, Bu, saya hanya menjalankan tugas dari juragan.""Iya, saya paham. Kamu boleh bukakan pintu untuk Adis ya. Terus k
Syabil pulang ke rumah pukul sebelas malam. Ia sudah minta ijin pada Bu Gina dengan alasan ia sedang tidak enak badan. Pemuda itu pulang dengan membawa oleh-oleh buah apel dan jeruk. Jelita begitu senang menyambut Syabil pulang, meskipun dalam keadaan lemas. Ia bergerak sebisanya untuk tetap membuatkan teh untuk Syabil."Hari ini makan gak?" tanya Syabil setelah ia selesai mandi dan duduk di dekat Jelita."Makan, tapi gak banyak. Kalau buah bisa aku makan sampai habis. Apalagi buah mangga." Jelita tersenyum senang. "Masih ada dua biji lagi belum terlalu matang. Jangan di makan dulu. Makan buah jeruk saja." Jelita mengangguk paham. Syabil makan roti dan juga minum teh buatan Jelita sebelum ia pergi tidur. "Non, karena Non lagi sakit begini, Non balik ke Indonesia aja ya. Tinggal di rumah. Ada Udin dan nanti ada perempuan yang mengurus Non Jelita." Jelita yang tadinya berbaring, langsung duduk tegak dengan wajah terkejut."Pulang sama kamu kan?""Bukan, tapi sendiri.""Gak mau kalau g
"Bapak tidur di mana?" tanya Adis pada bapaknya yang tengah menonton film di televisi berukuran amat besar, mirip layar bioskop."Di kamar pembantu saja. Gak papa, nyaman juga di sana. Ada kipas angin yang kayak AC itu loh. Kasurnya juga sangat empuk, beda dengan kasur di rumah. Bapak tidur di sana saja. Kenapa? Kamu gak bisa tidur?" tanya Pak Ramdan."Iya, Pak, iseng di kamar tamu. Tapi ya sudah, saya mau maksain merem aja, siapatahu pules. Tidur pakai AC gak biasa, jadinya susah pules.""Wah, anak Bapak harus belajar adaptasi lingkungan orang kaya karena udah jadi istri orang kaya kan. Sudah sana tidur, Bapak masih mau nonton. Acara di televisi rumah ini bagus-bagus. Gak perlu pakai set top box udah jernih gambarnya. Di kamar tamu ada tivinya gak?" Adis mengangguk "Nyalakan saja tivi di kamar kamu kalau iseng." Adis pun masuk ke dala kamarnya, lalu menyalakan televisi dengan siaran TV kabel itu. Ada banyak film yang seru, hingga tanpa terasa ia menonton hingga jam tiga subuh.Di ru
"Aku gak tahu, Sya," jawab Jelita gugup. "Syukurlah kalau Non memang tidak tahu karena kalau Non tahu, pasti Non dinyatakan bersalah karena diam saja saat mengetahui ada penyekapan.""Aku bersumpah aku gak tahu, Sya. Kamu nakutin aku aja nih." Syabil tersenyum. "Kalau gitu, saya akan ikut pulang ke Indonesia. Saya akan dampingi Non di sana.""Lalu kerjaan kamu?""Saya akan beli tiket untuk berangkat sore nanti. Semoga masih ada seat kosong. Pagi ini saya ke rumah sakit dulu, sekalian pamit sama Bu Gina.""Bu Gina?" Jelita seperti tidak asing dengan nama tersebut. "Iya, Bu Ginapok yang meminta saya mengurus sodaranya yang sakit. Sudah, saya berangkat ke rumah sakit dahulu ya. Siang nanti kita balik sama-sama." Jelita tersenyum sambil mengangguk. Begitu Syabil pergi, Jelita tidak bisa melanjutkan kembali tidurnya, padahal biasanya ia akan tidur lagi setelah Syanil berangkat kerja. Wanita itu takut akan nasibnya saat nanti tiba di kampung. Lalu bagaimana papanya dan ada di mana papan
Bu Hera dan Rana menumpang taksi online untuk pulang ke rumah yang mereka sewa. Ada dua orang polisi berjaga di depan sebuah rumah besar yang sudah diberi garis polisi. Bu Hera dan Rana tentu saja terus menata ke arah rumah tersebut.“Ada apa ya? Apa rumahnya kemalingan?” tanya Bu Hera pada Rana.“Kamu juga baru lihat?” tanya wanita itu lagi pada Rana dan Rana mengangguk.“Tadi pagi berangkat ke rumah sakit gak ngeh, Ma. Kira-kira ada apa ya? Kalau rampok berarti lingkungan di sini gak aman domg ya? Tapi kata Pak Samsul lingkungan tempat tinggal saudaranya ini aman, Ma,” komentar Rana. Taksi yang mereka tumpangi pun sudah berhenti tepat di depan rumah mereka.“Ada wanita hamil disekap di rumah besar itu, Bu. Ada masuk TV dan ramai beritanya. Sampai sekarang polisi masih mencari tahu pemilik rumah dan siapa yang menyekap wanita hamil itu di dalam sana.” Bu Hera dan Rana saling pandang. “Wah, serem ya. Makasih informasinya, Pak.” Bu Hera masuk ke dalam rumah setelah Rana mem
"Selamat malam Non Jelita, apa kabar?” sapa Yadi dan Udin bersamaan.“Malam Udin dan Yadi. Saya sehat sejak ada Syabil di dekat saya,” jawab Jelita sambil mencolek lengan Syabil yang tengah memegang koper Jelita. Udin dan Yadi tertawa. Jika Udin sudah tahu tentang kisah Syabil dan anak juragannya, beda dengan Yadi yang belumtahu apa-apa. Hanya saja, Syabil masih merahasiakan kehamilan Jelita pada orang lain. Untuk saat ini, hanya dirinya dan Jelita yang tahu bahwa wanita itu tengah hamil.“Katanya saya ada tamu ibu sambung dan kakek sambung. Orangnya di mana?” tanya Jelita pada Udin.“Ada di dalam kalau Mbak Adis, tetapi bapaknya sedang keluar.”“Oke, di rumah ini tidak mungkin ada kakek sambung karena saya tidak nyaman. Saya tidak ijinkan pria itu untuk masuk ke sini. Cukup anaknya saja. saya gak suka rumah sayan dimasuki orang asing.” Petuah itu tentu saja disambut senyuman oleh Udin dan Yadi. Akhirnya satu orang benalu pergi dari rumah majikannya. Tersisa satu wanita yang a
"Wah, Nyai ada tamu lama nih! Masuk sini!” saura tua renta itu mempersilakan Pak Ramdan masuk ke dalam rumah sederhananya. “Apa kabar?” tanya nenek tua yang lebih dikenal dengan Nyai Larsih itu. “Saya lagi gak sehat, Nyai. Makanya saya kemari. Saya mau minta tolong buat anak saya.”“Siapa?” wanita tua itu memasukkan daun sirih ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya santai.“Adis atau Rana? Kalau dari raut wajah kamu, pasti Adis yang lagi ada masalah.” Pak Rmadan menarik naps panjang. Lalu mengembuskannya perlahan.“Betul, Nyai. Adis itu lagi ada masalah dengan anak sambungnya. Namanya Jelita dan ini fotonya.” Pak Ramdan menunjukkan foto Jelita yang memang ia punya. “Anak sambungnya udah tua ini. Oh, iya, Adis jadi bini muda si Tukang kawin Andri ya?” Pak Ramdan mengangguk.“Darah ayam cemani perempuan bawa besok ya. Besok saya mulai. Mau dibikin sakit atau cukup ganggu dengan jin saja?”“Sakit saja, Nyai dan kalau bisa sakitnya gak ada obatnya.” Nyai Larsih tertawa.
"Halo, ada apa, Non?" suara Syabil terdengar khawatir. Ini masih jam lima pagi, tetapi Jelita sudah meneleponnya."Mau nanya doa qunut apaan?""Hah, doa qunut? Non mau ngapain?""Mau bakar rumah orang, Syabil. Ya jelas mau solat. Biar gak gampang digoda oleh setan yang bentukannya kadang berubah mirip kamu.""Ha ha ha ... kayaknya kesambet banci negara tetangga ini ya.""Biarin, udah cepet apaan doanya. Ngobrol sama kamu lama-lama di telepon bisa bikin aku pengen cepet daftar ke KUA." Lagi-lagi Syabil terbahak karena ucapan Jelita yang sangat aneh di subuh hari."Udah sehat kalau udah bisa becanda gini. Saya tulisan dulu doa qunut dalam tulisan bahasa Indonesia ya, nanti sekalian saya bawa pas ke rumah Non.""Iya, bawakan juga ayat qursi kalau ada yang hiasan dinding ya. Aku pengen gantung di rumah. Biar gak ada jin yang masuk ke rumahku.""Bukannya udah ada satu orang jin yang masuk? Namanya Adis, belum kenalan emang? ha ha ha ....""Ish, orang serius, dia malah bercanda. Ya sudah,