"Kamu bayar semua?" tanya Pak Darmono tidak percaya, saat Luisa mengulurkan struk pembayaran dari rumah sakit. Tidak terhitung deposit awal sebesar lima puluh juta yang ia keluarkan dari rekening pribadi pemberian papanya. "Uang pemberian Papa berarti sudah habis ya. Gimana kalau Abdi masih lama di rumah sakit?" Luisa menghela napas, lalu menggenggam tangan papanya. "Bukan dari rekening Luisa, Pa, tapi dari uang jual mobil pemberian Pak Levi. Pria itu pintar, tapi aslinya bodoh. Orangnya terlalu terobsesi tanpa bisa berpikir menggunakan otaknya dengan benar." Pak Darmono terkejut."Mobil pemberian Levi? Bagaimana bisa?" bukan hanya papanya, Nisa pun tidak percaya dengan ucapan Luisa. Wanita itu pun menceritakan bagaimana sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah mama dari Levi dan kesehariannya di sana. Bagaimana mama dari pria itu yang emosional dengan kehadirannya, tetapi Levi tetap memperhatikanya. Belum lagi cerita tentang Rana yang hanya diperalat untuk punya anak. Semua
Semua orang sibuk dengan masalah masing-masing. Terutama Levi yang dipusingkan dengan perginya Luisa dari rumahnya, serta mamanya yang begitu ribut urusan Rana yang sedang terbaring di rumah sakit. Levi lupa satu orang lagi yang sudah lama ia abaikan. Wanita yang ia sekap hampir satu tahun lamanya dan tidak dibiarkan keluar dari kamar sama sekali. Sebelah tangan yang diborgol, membuat wanita itu tidak berani ke mana-mana. Ia rindu matahari pagi. Ia rindu suami yang mungkin tidak pernah mencarinya, dan ia rindu tidur di rumahnya yang besar. Wanita itu adalah Christy yang malang. Disekap Levi begitu lama sampai ia kehilangan bayinya. Namun, saat ia keguguran pun, Levi tidak memperlihatkan belas kasih, ia hanya dirawat seadanya oleh dokter klinik panggilan. Pintu kamar dibuka. Seorang pria yang sampai saat ini masih menjaga Cristy datang membawakan makan Sore. "Makasih," kata Cristy pelan. Ajudan Levi tidak menyahut, ia hanya melihat tawanan sekilas, lalu pergi keluar kamar."Apa bis
Juragan Andri masih duduk di kursi kebesarannya, setelah mendapatkan telepon dari orang kepercayaannya yang mengatakan bahwa Abdi kecelakaan dan koma. Ini tentunya sangat menarik baginya karena ia masih sangat penasaran dengan wanita bernama Luisa. Istri Abdi yang memakai cadar. Ia harus menyusun strategi agar bisa segera mendapatkan Luisa. Kring! Kring"Halo.""Halo, Juragan, hari ini pulang ke rumah saya kan?" "Saya ada di rumah saya. Gak pulang ke rumah kamu. Kamu juga lagi datang bulan kan? Saya gak bisa apa-apain. Jangan ganggu, saya lagi sibuk!" Juragan Andri menutup ponselnya. Semangatnya pada istri keempatnya langsung menguap begitu saja, begitu mendengar keberadaan Luisa dan juga kondisi Abdi.Di rumahnya, Adis tengah menahan kesal. Ia mencuci piring dengan serampangan karena suaminya tidak pulang malam ini. Sudah dua malam Juragan Andri tidak pulang ke rumahnya dan ia tidak boleh menyusul ke sana. Lucu, istri tidak boleh datang melihat suaminya. Namun, tidak ada yang tidak
Adis membuktikan ucapannya untuk menyusul suaminya ke rumah utama. Ia tidak memberitahu suaminya terlebih dahulu karena ia ingin memberikan kejutan. Total empat hari Juragan Andri belum juga pulang ke rumahnya dengan alasan sibuk. Di tangannya memegang rantang berisi makan siang yang ia buatkan khusus untuk suaminya. Adis mengendarai motor milik bapaknya untuk pergi ke rumah Juragan Andri.“Suami saya ada’kan?” tanya Adis pada salah satu penjaga rumah besar suaminya.“Oh, Mbak Adis ya, istri muda juragan?” tanya pemuda itu balik. Adis mengangguk.“Juragan pergi ke Yogyakarta untuk menyusul calon istri kelima he he he ….” Adis melotot marah mendengar lelucon penjaga rumah yang menurutnya tidak lucu sama sekali.“Siapa kamu berani kurang ajar dengan saya? Saya nyonya rumah ini. Saya mau masuk, jadi jangan halangi saya!” Adis hendak memaksa masuk, tetapi pemuda itu menahan tubuh Adis. “Hey, jangan kurang ajar kamu, pakai pegang-pegang!” teriak Adis begitu melengking. Pemuda itu melepas
Halo, Nak, apa kabar? Kamu sudah keluar dari rumah sakit?”“Sudah, Pak, udah di rumah Nyonya Hera, tapi saya belum boleh pegang kerjaan rumah.’“Wah, syukur deh kalau gitu. Bapak harap, kamu dan Tuan Levi awet pernikahannya. Jangan kayak kakak kamu itu.” Kening Rana mengerut dalam.“Kenapa Mbak Adis, Pak?”“Juragan mau cari calon bini muda yang ada di Yogyakarta katanya. Wanita itu ada di sana. Kakak kamu bakalan punya madu.”Mengingat nama kota Yogyakarta, seketika itu juga, ia mengingat nama Luisa. Sudah sejak ia dirawat, Luisa baru sekali mengirimkan pesan padanya. Setelah itu, ponsel Luisa tidak aktif.“Rana, kenapa diam?”“Eh, nggak, Pak. Tiba-tiba perut Rana gak enak. Rana mau tidur dulu ya, pak. Bapak dan Mbak Adis sehat-sehat. Besk saya telepon lagi. Asalamualaykum.”Rana bergegas menutup panggilan pada bapaknya. Lalu dengan gerak cepat pula, ia menekan kontak Luisa, tetapi tidak ada nada sambung di sana. Pasti ponsel wanita itu tidak aktif lagi. Batin Rana.
“Sudah dapat kabar dari Luisa?” tanya Pak Darmono pada istrinya. Nisa melihat ke layar ponselnya, lalu menggeleng.“Udah coba telepon? Ini sudah satu jam. Tumben belum ngabarin. Katanya begitu udah naik kereta, Luisa mau kabari kita,” kata pria itu dengan perasaan cemas. Nisa menurut. Gadis itu menekan kontak anak sambungnya, tetapi tidak tersambung. “Kenapa gak bisa ya, Pa?” tanya Nisa ikut kebingungan.“Apa mungkin ponselnya mati? Ya sudah, besok pagi telepon lagi saja.” Pak Darmono terpaksa menyerah karena putrinya tidak bisa dihubungi. Sejak siang, ia mencoba mengusir rasa gundah tentang Luisa. Namun, rasa cemas semakin kuat setelah Luisa berangkat dengan taksi online.Di sebuah rumah, tempat Luisa dibawa untuk sementara, sudah ada lelaki tua yang tidak tahu diri, tengah memandangi wanita cantik berkerudung yang tengah lelap di ranjangnya. Cadar wanita itu ia buka, tetapi kerudung besarnya tetap terpasang, walau sudah tidak rapi lagi. Pria itu terus mengagumi kecantikan
“Mana? Kata kamu Luisa mau datang ke sini?” tanya Levi pada Rana. Wanita itu mengecek ponselnya, lalu mencoba menelepon Luisa.“Harusnya pagi ini sampai, Tuan. Kemarin Non Luisa bilang ke saya akan balik ke Jakarta, naik kereta api sore. ini sudah jam sembilan pagi dan harusnya sudah sampai di sini. Apa Tuan punya nomor Non Luisa yang laon? Coba telepon. Non Luisa bahkan menunjukkan nomor tiket kereta, ini!” Rana memberikan bukti screenshoot percakapannya dengan Luisa kemarin siang. Levi mengirimkan bukti chat itu ke ponselnya. “Terima kasih, Rana. Saya akan cek langsung di keberangkatan.” Rana mengangguk. Ia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang ia lakukan, karena memaksa Levi untuk menikahinya sama saja seperti ia tengah menggali gunung Himalaya dan itu mustahil. Rana sudah memutuskan ia cukup bersikap baik pada Levi dan semua orang yang baik padanya.Levi masuk ke ruang kerjanya. Lalu ia mencatat nomor keberangkatan serta nomor kursi yang ada pada tiket kereta milik Luisa
isa hanya bisa diam saat menyadari bahwa ia sedang diculik oleh seseorang. Namun, ia tidak begitu yakin yang melakukan ini adalah Levi karena ia akan mendatangi Levi, kenapa harus diculik? Semua kalimat tayang bersliweran di kepalanya. Luisa terus mengingat siapa lagi musuhnya selain Levi. Ada Edmun, tetapi Edmun dipenjara dan belum waktunya bebas. Cklek! Cklek! Suara anak kunci diputar dua kali. Seorang lelaki memiliki postur tubuh tinggi dan besar masuk ke dalam kamar yang ditinggali Luisa. Wanita itu sibuk mencari keberadaan cadarnya, tetapi tidak ada. Terpaksa dengan tangan kanannya ia menutup sebagian wajahnya, yaitu bagian hidung dan mulut. “Siapa kamu? Saya gak kenal kamu? Kenapa saya ada di sini?!” tanya Luisa dengan ketus. “Biasa saja bicaranya, Nona. Saya hanya orang suruhan pria yang tergila-gila dengan Nona. Mungkin hari ini dan besok dia masih sibuk, tetapi lusa, bersiaplah untuk berpetualang bersama bos saya. Orangnya baik dan doyan perempuan pastinya, ha ha ha ….