Adis membuktikan ucapannya untuk menyusul suaminya ke rumah utama. Ia tidak memberitahu suaminya terlebih dahulu karena ia ingin memberikan kejutan. Total empat hari Juragan Andri belum juga pulang ke rumahnya dengan alasan sibuk. Di tangannya memegang rantang berisi makan siang yang ia buatkan khusus untuk suaminya. Adis mengendarai motor milik bapaknya untuk pergi ke rumah Juragan Andri.“Suami saya ada’kan?” tanya Adis pada salah satu penjaga rumah besar suaminya.“Oh, Mbak Adis ya, istri muda juragan?” tanya pemuda itu balik. Adis mengangguk.“Juragan pergi ke Yogyakarta untuk menyusul calon istri kelima he he he ….” Adis melotot marah mendengar lelucon penjaga rumah yang menurutnya tidak lucu sama sekali.“Siapa kamu berani kurang ajar dengan saya? Saya nyonya rumah ini. Saya mau masuk, jadi jangan halangi saya!” Adis hendak memaksa masuk, tetapi pemuda itu menahan tubuh Adis. “Hey, jangan kurang ajar kamu, pakai pegang-pegang!” teriak Adis begitu melengking. Pemuda itu melepas
Halo, Nak, apa kabar? Kamu sudah keluar dari rumah sakit?”“Sudah, Pak, udah di rumah Nyonya Hera, tapi saya belum boleh pegang kerjaan rumah.’“Wah, syukur deh kalau gitu. Bapak harap, kamu dan Tuan Levi awet pernikahannya. Jangan kayak kakak kamu itu.” Kening Rana mengerut dalam.“Kenapa Mbak Adis, Pak?”“Juragan mau cari calon bini muda yang ada di Yogyakarta katanya. Wanita itu ada di sana. Kakak kamu bakalan punya madu.”Mengingat nama kota Yogyakarta, seketika itu juga, ia mengingat nama Luisa. Sudah sejak ia dirawat, Luisa baru sekali mengirimkan pesan padanya. Setelah itu, ponsel Luisa tidak aktif.“Rana, kenapa diam?”“Eh, nggak, Pak. Tiba-tiba perut Rana gak enak. Rana mau tidur dulu ya, pak. Bapak dan Mbak Adis sehat-sehat. Besk saya telepon lagi. Asalamualaykum.”Rana bergegas menutup panggilan pada bapaknya. Lalu dengan gerak cepat pula, ia menekan kontak Luisa, tetapi tidak ada nada sambung di sana. Pasti ponsel wanita itu tidak aktif lagi. Batin Rana.
“Sudah dapat kabar dari Luisa?” tanya Pak Darmono pada istrinya. Nisa melihat ke layar ponselnya, lalu menggeleng.“Udah coba telepon? Ini sudah satu jam. Tumben belum ngabarin. Katanya begitu udah naik kereta, Luisa mau kabari kita,” kata pria itu dengan perasaan cemas. Nisa menurut. Gadis itu menekan kontak anak sambungnya, tetapi tidak tersambung. “Kenapa gak bisa ya, Pa?” tanya Nisa ikut kebingungan.“Apa mungkin ponselnya mati? Ya sudah, besok pagi telepon lagi saja.” Pak Darmono terpaksa menyerah karena putrinya tidak bisa dihubungi. Sejak siang, ia mencoba mengusir rasa gundah tentang Luisa. Namun, rasa cemas semakin kuat setelah Luisa berangkat dengan taksi online.Di sebuah rumah, tempat Luisa dibawa untuk sementara, sudah ada lelaki tua yang tidak tahu diri, tengah memandangi wanita cantik berkerudung yang tengah lelap di ranjangnya. Cadar wanita itu ia buka, tetapi kerudung besarnya tetap terpasang, walau sudah tidak rapi lagi. Pria itu terus mengagumi kecantikan
“Mana? Kata kamu Luisa mau datang ke sini?” tanya Levi pada Rana. Wanita itu mengecek ponselnya, lalu mencoba menelepon Luisa.“Harusnya pagi ini sampai, Tuan. Kemarin Non Luisa bilang ke saya akan balik ke Jakarta, naik kereta api sore. ini sudah jam sembilan pagi dan harusnya sudah sampai di sini. Apa Tuan punya nomor Non Luisa yang laon? Coba telepon. Non Luisa bahkan menunjukkan nomor tiket kereta, ini!” Rana memberikan bukti screenshoot percakapannya dengan Luisa kemarin siang. Levi mengirimkan bukti chat itu ke ponselnya. “Terima kasih, Rana. Saya akan cek langsung di keberangkatan.” Rana mengangguk. Ia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang ia lakukan, karena memaksa Levi untuk menikahinya sama saja seperti ia tengah menggali gunung Himalaya dan itu mustahil. Rana sudah memutuskan ia cukup bersikap baik pada Levi dan semua orang yang baik padanya.Levi masuk ke ruang kerjanya. Lalu ia mencatat nomor keberangkatan serta nomor kursi yang ada pada tiket kereta milik Luisa
isa hanya bisa diam saat menyadari bahwa ia sedang diculik oleh seseorang. Namun, ia tidak begitu yakin yang melakukan ini adalah Levi karena ia akan mendatangi Levi, kenapa harus diculik? Semua kalimat tayang bersliweran di kepalanya. Luisa terus mengingat siapa lagi musuhnya selain Levi. Ada Edmun, tetapi Edmun dipenjara dan belum waktunya bebas. Cklek! Cklek! Suara anak kunci diputar dua kali. Seorang lelaki memiliki postur tubuh tinggi dan besar masuk ke dalam kamar yang ditinggali Luisa. Wanita itu sibuk mencari keberadaan cadarnya, tetapi tidak ada. Terpaksa dengan tangan kanannya ia menutup sebagian wajahnya, yaitu bagian hidung dan mulut. “Siapa kamu? Saya gak kenal kamu? Kenapa saya ada di sini?!” tanya Luisa dengan ketus. “Biasa saja bicaranya, Nona. Saya hanya orang suruhan pria yang tergila-gila dengan Nona. Mungkin hari ini dan besok dia masih sibuk, tetapi lusa, bersiaplah untuk berpetualang bersama bos saya. Orangnya baik dan doyan perempuan pastinya, ha ha ha ….
“Tomi, saya akan berangkat malam ini ke Thailand. Saya titip kamu urus calon istri saya. Jangan sampai dia kesusahan dan juga kelaparan. Jangan lupa pastikan kamarnya selalu terkunci. Ada masalah sedikit dengan putri saya. Semoga lusa saya bisa balik ke Indonesia.”“Baik, Juragan. Serahkan semua pada saya. Saya pastikan calon istri Juragan tidak akan kelaparan. Paling bosan saja karena TV di kamar rusak.”“Beli yang baru! Saya akan kirim uangnya untuk membelinya. Beli yang paling besar sekalian. Jangan coba korupsi uang untuk calon istri saya kalau kamu masih mau kerja sama saya!”“Siap, Juragan!”Juragan Andri sudah mendapatkan tiket untuknya dan juga untuk dua ajudannya Samuel dan juga Dedi. Mereka akan berangkat pukul sembilan malam ini. Juragan Andri terbang dahulu ke Jakarta agar ia bisa berangkat bersama dua ajudannya yang lain. Luisa memandang pintu kamar dengan tatapan nanar. Ia mencoba membukanya, tetapi tidak bisa. Ia juga mencoba membuka jendela kamar, nyatanya
Levi pun melakukan hal yang sama. Ia juga mengerahkan semua orang suruhannya untuk mencari jejak Luisa, tetapi hingga tiga hari berlalu, wanita pujaan hatinya belum juga ditemukan. Pria itu begitu cemas dan sangat takut sesuatu yang buruk terjadi pada Luisa. Rana bisa merasakan kekhawatiran suaminya akan wanita lain. Ia tidak marah apalagi cemburu. Toh, hubungannya dengan Levi memang sebatas kerja sama saja. Kurang lebih dua bulan lagi, bayi perempuannya akan lahir dan kontraknya pun selesai. Ia harus meninggalkan putrinya nanti dengan Levi. Drt! Drt!Getar ponsel miliknya membuat Rana tersentak dari lamunannya. Ia merogoh saku dan melihat ada nama bapaknya di layar ponsel. Sekilas ia melirik suaminya yang masih melamun menatap halaman rumah yang sedang dirapikan oleh beberapa tukang kebun, lalu memilih masuk ke kamar untuk mengangkat telepon itu."Halo, Pak.""Halo, Rana, gimana kabar kamu?""Rana sehat, Pak. Bapak dan Mbak Adis apa kabar?""Mm ... Bapak mah sehat, Mbak Adis yang l
Beda Levi, beda pula dengan Jelita yang hampir mati kebosanan di dalam kamar apartemen sederhana. Bolak-balik ia melihat ke arah jendela, khususnya menjelang sore hari karena ada banyak orang lalu-lalang. Memang apartemen yang ia tinggali terletak di daerah sedikit kumuh dan padat penduduk, tetapi suasana sore hari yang ramai cukup membuat seorang Jelita sedikit terhibur."Sampai kapan kita seperti ini? Aku bosan," tanya Jelita sambil berdecak kesal. "Sabar, Non, baru juga berapa hari. Belum setahun." Syabil tertawa. "Setahun di kamar ini berdua kamu, bisa-bisa aku hamil anak kamu dan itu gak mungkin. Kamu bukan seleraku." Syabil tertawa remeh."Saya sudah ada calon istri di kampung. Baik, manis, sederhana, dan yang paling penting adalah masih gadis. Saya suka yang original alami. Bukan hasil operasi plastik." Jawaban Syabil membuat Jelita memutar bola mata malas. "Lelaki itu, lain di mulut, lain di hati." Jelita naik kembali ke ranjang. Hanya itu yang bisa ia lakukan di apartemen.