“Sudah dapat kabar dari Luisa?” tanya Pak Darmono pada istrinya. Nisa melihat ke layar ponselnya, lalu menggeleng.“Udah coba telepon? Ini sudah satu jam. Tumben belum ngabarin. Katanya begitu udah naik kereta, Luisa mau kabari kita,” kata pria itu dengan perasaan cemas. Nisa menurut. Gadis itu menekan kontak anak sambungnya, tetapi tidak tersambung. “Kenapa gak bisa ya, Pa?” tanya Nisa ikut kebingungan.“Apa mungkin ponselnya mati? Ya sudah, besok pagi telepon lagi saja.” Pak Darmono terpaksa menyerah karena putrinya tidak bisa dihubungi. Sejak siang, ia mencoba mengusir rasa gundah tentang Luisa. Namun, rasa cemas semakin kuat setelah Luisa berangkat dengan taksi online.Di sebuah rumah, tempat Luisa dibawa untuk sementara, sudah ada lelaki tua yang tidak tahu diri, tengah memandangi wanita cantik berkerudung yang tengah lelap di ranjangnya. Cadar wanita itu ia buka, tetapi kerudung besarnya tetap terpasang, walau sudah tidak rapi lagi. Pria itu terus mengagumi kecantikan
“Mana? Kata kamu Luisa mau datang ke sini?” tanya Levi pada Rana. Wanita itu mengecek ponselnya, lalu mencoba menelepon Luisa.“Harusnya pagi ini sampai, Tuan. Kemarin Non Luisa bilang ke saya akan balik ke Jakarta, naik kereta api sore. ini sudah jam sembilan pagi dan harusnya sudah sampai di sini. Apa Tuan punya nomor Non Luisa yang laon? Coba telepon. Non Luisa bahkan menunjukkan nomor tiket kereta, ini!” Rana memberikan bukti screenshoot percakapannya dengan Luisa kemarin siang. Levi mengirimkan bukti chat itu ke ponselnya. “Terima kasih, Rana. Saya akan cek langsung di keberangkatan.” Rana mengangguk. Ia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang ia lakukan, karena memaksa Levi untuk menikahinya sama saja seperti ia tengah menggali gunung Himalaya dan itu mustahil. Rana sudah memutuskan ia cukup bersikap baik pada Levi dan semua orang yang baik padanya.Levi masuk ke ruang kerjanya. Lalu ia mencatat nomor keberangkatan serta nomor kursi yang ada pada tiket kereta milik Luisa
isa hanya bisa diam saat menyadari bahwa ia sedang diculik oleh seseorang. Namun, ia tidak begitu yakin yang melakukan ini adalah Levi karena ia akan mendatangi Levi, kenapa harus diculik? Semua kalimat tayang bersliweran di kepalanya. Luisa terus mengingat siapa lagi musuhnya selain Levi. Ada Edmun, tetapi Edmun dipenjara dan belum waktunya bebas. Cklek! Cklek! Suara anak kunci diputar dua kali. Seorang lelaki memiliki postur tubuh tinggi dan besar masuk ke dalam kamar yang ditinggali Luisa. Wanita itu sibuk mencari keberadaan cadarnya, tetapi tidak ada. Terpaksa dengan tangan kanannya ia menutup sebagian wajahnya, yaitu bagian hidung dan mulut. “Siapa kamu? Saya gak kenal kamu? Kenapa saya ada di sini?!” tanya Luisa dengan ketus. “Biasa saja bicaranya, Nona. Saya hanya orang suruhan pria yang tergila-gila dengan Nona. Mungkin hari ini dan besok dia masih sibuk, tetapi lusa, bersiaplah untuk berpetualang bersama bos saya. Orangnya baik dan doyan perempuan pastinya, ha ha ha ….
“Tomi, saya akan berangkat malam ini ke Thailand. Saya titip kamu urus calon istri saya. Jangan sampai dia kesusahan dan juga kelaparan. Jangan lupa pastikan kamarnya selalu terkunci. Ada masalah sedikit dengan putri saya. Semoga lusa saya bisa balik ke Indonesia.”“Baik, Juragan. Serahkan semua pada saya. Saya pastikan calon istri Juragan tidak akan kelaparan. Paling bosan saja karena TV di kamar rusak.”“Beli yang baru! Saya akan kirim uangnya untuk membelinya. Beli yang paling besar sekalian. Jangan coba korupsi uang untuk calon istri saya kalau kamu masih mau kerja sama saya!”“Siap, Juragan!”Juragan Andri sudah mendapatkan tiket untuknya dan juga untuk dua ajudannya Samuel dan juga Dedi. Mereka akan berangkat pukul sembilan malam ini. Juragan Andri terbang dahulu ke Jakarta agar ia bisa berangkat bersama dua ajudannya yang lain. Luisa memandang pintu kamar dengan tatapan nanar. Ia mencoba membukanya, tetapi tidak bisa. Ia juga mencoba membuka jendela kamar, nyatanya
Levi pun melakukan hal yang sama. Ia juga mengerahkan semua orang suruhannya untuk mencari jejak Luisa, tetapi hingga tiga hari berlalu, wanita pujaan hatinya belum juga ditemukan. Pria itu begitu cemas dan sangat takut sesuatu yang buruk terjadi pada Luisa. Rana bisa merasakan kekhawatiran suaminya akan wanita lain. Ia tidak marah apalagi cemburu. Toh, hubungannya dengan Levi memang sebatas kerja sama saja. Kurang lebih dua bulan lagi, bayi perempuannya akan lahir dan kontraknya pun selesai. Ia harus meninggalkan putrinya nanti dengan Levi. Drt! Drt!Getar ponsel miliknya membuat Rana tersentak dari lamunannya. Ia merogoh saku dan melihat ada nama bapaknya di layar ponsel. Sekilas ia melirik suaminya yang masih melamun menatap halaman rumah yang sedang dirapikan oleh beberapa tukang kebun, lalu memilih masuk ke kamar untuk mengangkat telepon itu."Halo, Pak.""Halo, Rana, gimana kabar kamu?""Rana sehat, Pak. Bapak dan Mbak Adis apa kabar?""Mm ... Bapak mah sehat, Mbak Adis yang l
Beda Levi, beda pula dengan Jelita yang hampir mati kebosanan di dalam kamar apartemen sederhana. Bolak-balik ia melihat ke arah jendela, khususnya menjelang sore hari karena ada banyak orang lalu-lalang. Memang apartemen yang ia tinggali terletak di daerah sedikit kumuh dan padat penduduk, tetapi suasana sore hari yang ramai cukup membuat seorang Jelita sedikit terhibur."Sampai kapan kita seperti ini? Aku bosan," tanya Jelita sambil berdecak kesal. "Sabar, Non, baru juga berapa hari. Belum setahun." Syabil tertawa. "Setahun di kamar ini berdua kamu, bisa-bisa aku hamil anak kamu dan itu gak mungkin. Kamu bukan seleraku." Syabil tertawa remeh."Saya sudah ada calon istri di kampung. Baik, manis, sederhana, dan yang paling penting adalah masih gadis. Saya suka yang original alami. Bukan hasil operasi plastik." Jawaban Syabil membuat Jelita memutar bola mata malas. "Lelaki itu, lain di mulut, lain di hati." Jelita naik kembali ke ranjang. Hanya itu yang bisa ia lakukan di apartemen.
Nonton di bioskop, makan es krim, makan makanan enak di restoran, serta membeli beberapa perlengkapan bayi. Usia kandungannya sudah tujuh bulan dan sudah tiba saatnya untuk menyiapkan persalinan. Levi tidak bisa protes karena ia butuh info Luisa. Pria dewasa itu hanya ikut ke sana-kemari sesuai dengan langkah kaki Rana. "Kamu gak capek? Belanjaan ini sudah banyak," tanya Levi sambil mengangkat empat paper bag di tangannya."Sebentar lagi, Tuan. Kita belum beli botol susu dan alat untuk mensterilkan botol.""Untuk apa botol?" tanya Levi bingung. Rana tertawa."Masa Tuan lupa? Saya cuma jadi istri sampai melahirkan dan pasti untuk seterusnya bayi kita pakai botol untuk minum dan makan. Karena kontrak saya habis. Saya harus pergi, bukan begitu?" Levi terdiam. "Apa perjanjiannya seperti itu?" tanya Levi lagi. Ia tidak ingat betul point apa saja yang tercantum dalam kontrak."Iya, Tuan yang buat, masa Tuan lupa? Udah, ini bagus kayaknya. Saya bawa ke kasir ya." Rana berjalan ke arah kasi
"Mas, kenapa saya ditahan di sini? Kenapa tidak bebaskan saya? Saya salah apa sama Mas dan majikan Mas?!" Teriak Luisa histeris dari kamarnya. Namun, Tomi tidak mau menyahut. Tugasnya hanya menjaga, serta memastikan bahwa calon istri majikannya tidak kabur. Ia tidak punya wewenang untuk mencampuri urusan rumah tangga majikannya."Mas, tolong saya! Saya lagi hamil. Apa Mas gak punya orang tua? Mas gak punya ibu? Mas gak punya adik atau kakak perempuan? Saya hamil, Mas, tolong saya keluarkan dari sini!" Luisa masih terus berteriak dari kamarnya. Meskipun ia tahu sia-sia, paling tidak dengan berteriak, ia bisa meluapkan emosi. Tidak ada sahutan seperti yang ia inginkan, membuat Luisa akhirnya menyerah. Tengah malam, tidak tahu jam berapa, wanita itu memutuskan untuk mengambil wudhu dan solat. Ia menggunakan mukena yang memang dipinjamkan lelaki yang menyekapknya. Ia tidak mampu membebaskan diri, maka ia minta pada Tuhan untuk membebaskannya dari orang jahat yang hendak mengganggu, serta
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su