"Rana besok pulang ya, Pak," ucap Rana malam itu pada bapaknya. Pak Ramdan menaruh cangkir kopinya kembali di atas meja. Cincin bermata batu berjejeran di jari tangan bapaknya dengan aneka warna. Mulai dari hitam, biru, biru tua, hijau aparat, dan warna lainnya yang terpasang begitu aneh di jari tangan kanan dan kiri bapaknya."Dijemput?" Rana melirik suami kakaknya yang sering mencuri pandang ke arahnya."Iya, dijemput, Pak. Suami Rana juga sudah pulang dari Yogyakarta. Jadinya Rana harus pulang." Pak Ramdan tertawa senang. "Mimpi apa bapakmu ini punya mantu muda, orang kaya. Yang tua pun juga lebih kaya. Ya kan, Juragan?" Juragan Andri ikut tertawa lebar. "Say baru tahu kalau yang bungsu Bapak malah lebih manis. Tahu gitu yang ini aja. Tapi udah terlanjur, sama kakaknya juga gak papa. Pasti legitnya sama ha ha ha ...." Rana memutar bola mata malasnya, lalu segwra berlahan masuk ke kamarnya.Pintu kamar pun terpaksa ia kunci, karena ia tidak mau terjadi hal-hal aneh seperti berita
PoV LuisaFlashback"Kamu yakin, Nak? Levi berbahaya. Papa khawatir kamu kenapa-napa selama di sana," ucap papaku dengan suara bergetar. Namun, ini sudah aku pikirkan dan aku putuskan. Aku juga punya cara sendiri untuk membuat semua lelaki hidung belang yang mengejar-ngejarku, menjadi tahu diri."Pak Levi tidak akan menyakiti saya, Pa. Justru saya yang akan mulai membalas semua padanya." Papa menggenggam tanganku dengan kuat. "Tapi Papa tetap saja takut," kata papaku lagi. Aku tersenyum. "Luisa minta izin dan ridho dari Papa. Tolong temani Kang Abdi sampai sadar. Selama saya lari dari Levi, maka kehidupan saya tidak akan pernah tenang. Papa jangan khawatir ya. Saya dan bayi saya akan kuat." Papa akhirnya mengangguk setuju setelah sekian kalimat keluar dari bibir ini untuk meyakinkannya. Aku mengecup kening suamiku sebelum aku kembali ke Jakarta. Kepegang tangannya dengan tetes air mata yang tidak bisa berhenti. "Kang, doakan aku dan bayi kita baik-baik aja selama di sana ya. Aku j
Suara perdebatan di luar sana bisa aku dengar dengan jelas. Bu Hera jelas tidak mau aku tinggal di rumahnya, tetapi Levi mengerahkan segala usahanya untuk membujuk sang Mama. Suara memohon itu pun bisa aku dengar dengan baik karena kamar tamu yang aku tempati, tidak kedap suara. Ditambah suara menggelegar mamanya, pastilah semua aku dengar."Mom, saya akan bujuk Luisa untuk tinggal di rumah lain. Ini kesempatan Levi, Mom. Luisa yang datang pada Levi, bukan Levi yang meminta. Mommy harus mengerti dan mendukung. Waktu itu saya setuju untuk menikahi Rana agar Mommy punya cucu dan sekarang sudah terbukti kan? Rana hamil. Berarti tugas saya sudah selesai. Saya akan tetap bersama Luisa, Mom. Tolong mengerti.""Mommy tidak akan mengerti. Ini rumah Mommy dan Mommy yamg berhak memutuskan, siapa yang boleh tinggal di sini, paham!"Aku tertawa senang dengan kegaduhan yang berhasil kubuat. Puas, tetapi baru lima persen saja. Aku mandi dan mengganti pakaian dengan gamis rumahan. Rambut ini masih b
Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk di pagi hari. Sengaja aku tidak mau cepat-cepat keluar karena masih mengarang kalimat yang bisa membuat gaduh satu rumah ini. "Siapa?""Saya, Nyonya. Sarapan sudah siap." Jawaban dari pembantu rumah tangga Levi membuatku segera memakai niqob. Aku berjalan keluar kamar dengan mengantongi ponsel di saku gamisku. "Sudah ditunggu di ruang makan, Nyonya," kata bibik. "Makasih, Bik. Apa di meja makan ada jus mangga?" wajah ART itu berubah."Jus mangga? Mm ... gak ada jus mangga, Nyonya. Adanya jus jeruk. Sudah saya buatkan dan saya hidangkan di meja makan.""Saya mau jus mangga. Kamu pergi beli mangga dan buatkan jus itu untuk saya. Tidak ada protes karena saya calon nyonya rumah ini, paham!" "B-baik, Nyonya." Bibik pergi dengan cepat, lalu aku segera menyusul di meja makan. Wajah Bu Hera nampak ditekuk, sedangkan Levi penuh senyuman. Mungkin ia pikir mendapatkan durian Montong jatuh begitu saja di depannya dan sudah dikupas pula, tinggal makan. "Assala
POV PenulisSyabil memang pemuda yang pandai bela diri, tetapi untuk urusan makan, ia cengeng. Karena ingin makan ketupat sayur, Syabil diam termenung di ruang perawatan Jelita. Wanita itu baru saja selesai operasi dan tengah menjalani pemulihan. Ada air mata yang menetes di pipinya dan juga ada air yang keluar dari sudut bibirnya. Ia ingin makan ketupat sayur dan juga baso."Syabil, kenapa kamu?" tanya Jelita yang perban di wajahnya baru saja dilepas sebagian. Pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya melirik Jelita dengan malas, lalu melanjutkan lamunannya. "Syabil, dih, orang nanya, malah dicuekin! Udah bosen hidup ka ... aw! aw!" Jelita merasa kulit wajahnya seperti ditarik saat ia berteriak pada Syabil. Pemuda itu berbalik, lalu ia duduk di samping brangkar Jelita."Ini kan Non Jelita sudah selesai operasi. Tinggal pemulihan empat harian. Ini adalah hari ketiga. Setelah operasi pengembalian wajah ini, apa ada operasi lain?" tanya Syabil lemas. "Ada, operasi sedot lemak. Di pahaku le
"Pak Abdi demam lagi. Panas badannya tinggi sekali sampai empat puluh derajat. Saya minta doa dan dukungan keluarga, serta support.""Kami pastinya akan terus support, Dok. Apa tidak ada cara lain, Dok? Respon gerakan pun masih nihil di hari ketujuh ini." Pak Darmono merasakan hatinya memanas. Matanya ingin segera menumpahkan air, tetapi tidak bisa. Ia harus kuat demi anak dan istrinya. "Kami sudah berusaha Pak Darmono. Semoga aja ada mukjizat Tuhan. Jangan lupa terus berdoa." Pak Darmono keluar dari ruangan NICU. Nisa menghampiri suaminya dengan wajah penasaran."Ada apa, Pa?" tanya Nisa."Abdi demam tinggi. Dia minta kita terus berdoa untuk kesembuhan Abdi." Pak Darmono menghempaskan kasar bokongnya di sofa ruang tunggu. "Pa, Papa pasti lelah. Pulang ke kosan aja. Biar malam ini, saya yang di rumah sakit." "Kamu lagi hamil, Sayang. Ini sudah masuk tujuh bulan. Gak mungkin kamu yang nginep di rumah sakit. Di sini banyak virus. Papa akan tidur di sini saja. Kamu balik ke kosan ya.
"Tidak mendekat dan tetap di situ! Hanya hanya ingin memastikan saja, bukan ingin bercinta dengan suami orang. Saya rasa Pak Levi pria yang masih punya rasa respect sama orang lain. Terutama wanita yang menutup auratnya." Luisa mengangkat tangannya saat Levi akan mendekat. "Saya ada di sini hanya agar Pak Levi yang perlu mencari saya, bukan untuk tidur dengan saya. Sebelum kita sah, saya tidak akan mau disentuh. Satu lagi, Pak, selama kita belum menikah, perlakukan Rana seperti istri sungguhan. Jika dengan Rana saja Pak Levi tega, bagaimana saya bisa percaya bahwa Pak Levi tepat untuk saya?" Luisa mengambil satu botol air mineral kaca dari dalam kulkas, lalu wanita itu pergi meninggalkan Levi yang tergugu di tempatnya."Beda, Luisa. Kamu wanita uang saya cintai, sedangkan Rana wanita yang dibayar mama saya untuk mengandung," protes Levi dengan suara keras. Luisa hanya tertawa pelan tanpa mau menoleh ke belakang. Ia bergegas masuk ke kamar, lalu menguncinya. Ini sudah malam, tetapi L
Luisa terbangun saat azan subuh. Seperti biasa, ia turun ke bawah untuk minum. Barulah ia mandi dan solat subuh. Biasanya, Rana juga sudah ada di dapur ikut memasak bersama bibik, tetapi pagi ini, Rana tidak kelihatan."Rana ke mana, Bik?" tanya Luisa."Eh, Non Luisa, itu Mbak Rana dibawa ke dokter. Kata nyonya, perutnya sakit. Tadi malam jam satu apa jam dua belas gitu ke rumah sakitnya." "Sampai sekarang?" tanya Luisa sembari menoleh ke lantai atas. "Iya, sampai sekarang belum pulang. Nyonya sama Tuan Levi yang mengantar. Mungkin Mbak Rana dirawat." Luisa menjadi khawatir."Oh, baik, Bi, terima kasih. Saya mandi dan solat dulu, nanti saya bantu buatkan sarapan." Luisa bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu mandi, kemudian solat. Selesai solat subuh, Luisa mengirimkan pesan ke nomor Rana.Assalamualaikum, Rana, kamu dirawat? Memangnya kenapa? Sekarang gimana kondisi kamu?SendKarena tidak langsung centang dua biru, Luisa memutus untuk pergi ke dapur membantu bibik membuatkan sarap