Setelah kepergian ayah, kuhampiri Mas Albi yang masih terduduk di lantai dekat kursi, wajahnya sudah penuh lebam, babak belur tak beraturan. Dia tertunduk diam, termangu, bahkan saat pandangan kami bertemu, pria itu masih diam membisu."Mas ... kamu baik baik aja?""Iya," jawabnya menyentuh lenganku."Kamu marah padaku dan ayah?""Tidak, justru aku senang, ayahmu memberiku kesempatan, meski pun ia melampiaskan kemarahan, akan kuanggap itu sebagai perhatian," jawab Mas Albi sambil menatap mataku dan menyentuh tanganku." ... aku lega ayahmu mengizinkan kita serumah lagi. Tak bisa kubayangkan andai ayah mertua menolak kedatanganku. Aku akan hancur dalam stress dan penyesalan.""Ayo bangun, akan kukompres wajahmu dengan handuk dingin.""Baiklah,"jawabnya mengangguk lalu mengikutiku bangkit menuju meja makan.Kusiapkan es batu di mangkuk lalu kutuang air, kuambil handuk kecil lalu membawanya ke meja makan, berikut juga betadine untuk membersihkan luka di dekat pelipis dan alisnya."Kau pa
"kenapa kamu babak belur begini, siapa yang lakukan ini?""Sudahlah, pulanglah, aku akan menyusulmu nanti," ujar suamiku sambil mendorongnya perlahan, membawanya ke pintu depan. Aku yang penasaran dengan anak anak mengintip dari jendela kamar, tak mau keluar agar pertengkaran tidak terjadi dan menarik perhatian tetangga."Tapi siapa yang lakukan ini padamu, kenapa biadab sekali perlakuannya!""Sudahlah, aku hanya kecelakaan.""Kecelakaan di mana, apa kau bohong padaku Mas?""Tidak, aku tidak bohong.""Semalaman aku menunggumu pulang, dan kau dengan santainya menyiram bonsai di tempat ini.""Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan Umi Fatimah, aku harap kau paham bahwa ....""Bahwa apa?! Kau ingin rujuk padanya!" Tiba-tiba wanita itu menangis sedih dan terisak di depan Mas Albi."Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan perceraian ....""Tapi kemarin kau sudah sepakat bercerai dengannya, apakah kalian berdua sedang mempermainkan aku. Jika masih tetap ingin bersama Kenapa
"Astaga,. Pagi pagi begini, sudah timbul drama," gumamku sambil mengajak ayah masuk ke dalam rumah."Ayo masuk Yah, tumben ayah datang pagi pagi ke sini," ucapku sambil menggandeng ayah."Aku merasa khawatir akan apa yang terjadi tadi malam, kurasa masalah itu akan berbuntut panjang sehingga aku memeriksa keadaanmu," jawab ayah sambil melangkah masuk ke ruang tamu lalu duduk. Mas Albi yang masih malu pada ayah hanya menunduk masuk tanpa mengatakan apa apa. Dia melenggang ke dapur setelah meminta ayah duduk dengan tenang."Ayah duduk dulu ya, aku akan ke dalam," ujar Mas Albi."Iya, aku memang akan duduk," jawab ayah dengan ketus. Mungkin karena masih mereka kesal pada menantunya aku memang ayah sengaja memasang sikap seperti itu, aku tak tahu juga.Kunyalakan kompor untuk menjerang air panas, kuletakkan Kopi dan gula ke gelas lalu menunggu airnya mendidih. Selagi menunggu, Mas Albi datang menghampiriku."Aku harap ayah tidak meneruskan kemarahannya.""Tidak akan, jangan khawatir," bal
"Jangan lancang, kami bisa menikah karena kami berjodoh, tidak ada yang bisa memisahkan kami.""Aku hanya menyesalkan ... coba ... dari awal kau menjadi wanita yang bersabar dan sadar bahwa ini adalah pernikahan harus selalu dibagi, maka niscaya tidak akan pernah terjadi keributan ini. Pasti hingga saat ini, kita semua bahagia," ucapku pelan."Arggggr.... Aku benar benar geram, Mbak. Kamu sengaja kan bikin Mas Albi menjauh, kamu dendam dan mau membalas perbuatanku, iya kan?""Perbuatanmu yang mana?" pancingku."Semua hal yang aku lakukan.""Jadi, kau mengaku kaulah yang ingin menyakitiku tempo hari, kau ingin membunuhku kan?""Tidak. Kenapa kau masih membahasnya padahal masalah itu sudah tuntas, aku gerah mendengarnya.""Tidak ada yang membuat lebih gerah kecuali kau memang melakukannya," jawabku sambil menutup telpon.Masih kudengar dia berteriak dari seberang sana, tapi, aku mengabaikannya. Biarlah ia menggila, aku tak mau ketularan olehnya."Siapa yang menelpon?""Filza.""Apa dia
Usai makan malam, aku dan Mas Albi melanjutkan sesi dating kami ke sebuah hotel yang ada di jantung kota. Hotel itu mewah dan baru dibangun, lokasinya strategis dan menjangkau banyak tempat, juga fasilitasnya lengkap.Kami sampa di meja resepsionis setelah lima menit berkendara, kutunjukkan tanda pengenal dan memberi tahu kalau aku sudah reservasi sebelumnya. "Oh, atas nama ibu Aini lestari ya?""Iya, betul.""Baik, Bu. Ini kuncinya, kamar nomor seratus, naik ke lantai tiga lorong sebelah kiri," ujar pegawai muda berpakaian ungu itu."Terima kasih, Mbak.""Dengan senang hati ibu," jawabnya.Kususuri lorong, beriringan dengan Mas Albi kami temukan kamar dan langsung memutar kunci untuk membuka pintunya.Saat pertama kali masuk, aroma bunga dan buah segar pengharum udara menghampiri penciumanku. Kuletakkan tas di meja lalu pergi membuka gorden jendela untuk mengintip suasana kota dan lampu lampu yang berkelap kelip."Aku senang kau setuju kita kemari Mas?""Jika ini menyangkut kebaha
Hah ....Aku tertegun Karena untuk pertama kalinya si jalang itu mengatakan cerai kepada suaminya sendiri. Entah kenapa aku sangat bahagia karena akhirnya wanita itu sendiri yang akan memohon perceraian kepada suamiku. Aku senang sekali. Namun, aku sadar, aku tidak boleh terlalu senang karena ini bukan waktunya. Aku harus memanfaatkan keadaan dan semakin menyudutkan filsa. Aku harus cerdas kali ini."Astagfirullah Apa yang kau lakukan Filza?" Aku pura-pura marah dan langsung menghampiri Mas Albi, kutarik dia dari jangkauan Filza, lalu kubelai pipinya dengan lembut."Kamu nggak apa-apa kan Mas?" tanyaku sambil pura pura ingin menangis."Enggak kok!""Hentikan sandiwaramu, Mbak. Bukannya kemarin kamu ingin bercerai dengan Mas Albi?""Iya, itu kemarin, sekarang kami baik baik saja," jawabku."Wah, luar biasa!" Wanita itu tertawa sambil menangis, "kemarin kalian terlihat tadi membenci sekarang kalian kali saling menjilati, aku benar benar muak," ujar Filza dengan emosi."Kalau kamu muak
"astaga Filza ...!"Tentu melihat Filza pingsan, Mas Albi langsung menghampiri dan mengangkat tubuhnya, ia pindahkan istrinya ke ruang tamu dan merebahkannya di sofa. "Tolong minta air segelas," pintanya padaku dengan wajah cemas."Iya, Mas," jawabku berbegas mengambil air ke dapur.Kubawakan segelas air dan membantu mas Albi untuk meminumkan air tersebut ke mulut Filza. "Sepertinya, kita harus membawanya ke rumah sakit.""Dia baru saja keluar dari rumah sakit, aku sungguh merasa bersalah, memberi dia masalah di masa penyembuhan," jawab Mas Albi lirih.Seperti biasa Mas Albi adalah orang yang mudah merasa kasihan pada orang lain. Hmm, selalu begitu."Hubungi orang tuanya, Mas," usulku "Iya, akan kuhubungi," balas Mas Albi.*"Halo, Yah." Mas Albi menjawab beberapa saat setelah mertuanya mengangkat telepon."Kudapati Filza di rumah Aini, dia terlihat pucat dan sepertinya begadang semalaman, dia pingsan.""Apa? Kok bisa gitu? Kami mencari Filza sepanjang waktu dan ternyata dia di si
"Biarkan aku mengantarnya, emosinya sedang tidak stabil," ujar suamiku pelan."Baiklah, antarkan saja," jawabku."Kuharap kau maklum tentang tingkahnya Filza, aku minta kau untuk bersabar sedikit saja.""Insya Allah.""Ayo, Mas ... aku mau pulang dan tidur," ujar Filza dengan Manja."Iya, iya, kenakan bajumu, ayo ke mobil." Mas Albi membantu istri mudanya memakai baju, dan mengajaknya ke mobil.Kupikir semuanya akan selesai saat itu juga tapi ternyata salah, Filza berhenti dan memandang Mas Albi penuh amarah."Ada apa lagi, kenapa kau berhenti!""Apa yang kau lakukan, kenapa lehermu ada tanda merah?!" ucapnya lantang, saat itu ia berdiri di teras dan berteriak kencang."Mana?""Ini!Brak!Filza merobek paksa hingga baju suami kami koyak dan kancing kancingnya lepas."Kau nampaknya bercinta dengan ganas bersama wanita yang selalu jaga image dan pura pura alim padahal, ia lebih jalang dari pelacur!""Cukup! Aku sudah baik mau mengajakmu pulang, lagipula apa bedanya kau dan dia. Jika di
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh