Pukul 04.00 sore suamiku kembali dari rumah istri barunya, Dia terlihat melepaskan sepatu dengan kasar dan langsung pergi ke dapur untuk meneguk air dengan kencang. Tanpa bicara sedikitpun padaku yang sedang duduk di ruang tv, dia lantas duduk di kursi bar mini dan terdiam sambil memijit di keningnya sendiri."Ada apa Mas?""Ah, aku bisa gila...." ucap sambil meneguk minum lagi."Ada apa?""Aku bertengkar dengannya.""Jalan fokus dengannya aku hanya penasaran tentang Gibran.""Gibran baik-baik saja aku sudah menitipkan uang kepada asisten rumah tangga agar dia bisa menyampaikannya kepada filsa dan mengaturnya dengan baik.""Kenapa pada asisten?""Sebenarnya beberapa hari terakhir dia terus menekanku dengan uang belanja meski sudah kuberikan ia selalu bilang kurang dan memberi alasan bahwa punya beberapa hal yang harus dibayar, seminggu ini aku telah membelanjakan 7 juta untuknya. Aku bisa gila ....""Apa? Tujuh juta? Uang belanjaku sebulan saja tidak sampai sebanyak itu ... Apa yang
Sinar jingga di ufuk timur terbit dengan indah, saat itu aku sedang melipat sejadah dan bersiap melanjutkan pekerjaan rumah. Suamiku yang masih tertidur pulas kuhampiri dan kucoba membangunkan dia dengan lembut."Mas, salat dulu," ucapku."Oh, hmmm, aku masih ingin tidur, aku lelah, semalam terlambat tidur."Iya, semalam ia ke rumah Filza untuk menenangkan wanita itu, ia kembali pukul dua belas dan langsung merebahkan diri ke tempat tidur."Mas, tapi kamu tetap harus salat.""Hmm, kemarilah." Lelakiku merangkul diri ini, dia tarik tubuhku hingga aku terjatuh ke pelukannya. Dengan posisi miring, ia benamkan wajahnya ke leherku hingga aku bisa merasakan hangat napasnya. "Kenapa, apa kau lelah?""Aku lesu, dan masih ingin dipeluk olehmu," jawabnya."Baiklah, akan kubiarkan kau terpejam lima menit lagi," balasku sambil mengecup kening suami."Terima kasih." Ia kembali memejamkan mata sambil memelukku. Aku yang tahu itu adalah kesempatan baik untuk membuat Filza panas dingin. Aku langsun
Mendapati diriku yang masih meringis kesakitan dikelilingi oleh beberapa tetangga di ruang tamu membuat Mas Albi kaget setengah mati. Ia lebih terkejut lagi saat mendapati kakiku telah berdarah lagi."Apa yang terjadi?""Mbak Filza mencekik dan memukul Mbak Aini," jawab Mbak Vina tetanggaku."Lho, kok bisa?""Entah kenapa bisa begitu, sewaktu saya lewat mau ke toko depan, tiba tiba dari celah pagar saya lihat mbak Aini megap megap minta tolong. Saya pikir itu perampok, ternyata istrimu.""Sungguhkah Aini.""Aku harus bilang apa lagi Mas?" tanyaku dengan wajah yang kubuat sesedih mungkin."Lalu, rambut siapa yang berserakan di teras.""Rambut Filza.""Apa? Kenapa bisa begitu?""Mbak Aini terpaksa melawan sebelum kehabisan napas, saya melihatnya," jawab Mbak Vina lagi."Sungguh?" tanya Mas Albi padaku."Aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi, Mas. Aku minta maaf karena sudah menghancurkan penampilan istrimu demi aku membela diriku," balasku."Lalu, bagaimana kakimu?""Sepert
"Kau menantangku!""Untuk kesalahan filsa aku tidak bisa mengampuninya! Aku memang menghargai dia sebagai istri dan wanita yang melahirkan anakku Aku mau pergi melakukan dia bahkan lebih istimewa dari Umi Fatimah, aku harus bagaimana lagi!" teriak Mas Albi.Ibunda Filza sedang tidak ada di rumahnya, sehingga aku tidak melihat wanita itu sama sekali. Di satu sisi, ada suami dan ayah Filza yang saling beradu urat, di sisi lain ia menangis tersedu dan minta dimaafkan, wanita itu menangis hingga suaranya parau tak bersisa."Mas, maafkan aku!""Semua ini terjadi karena kecemburuanmu yang tak beralasan.""Aku minta ampun, Mas.""Aku tak bisa Filza.""Lantas hukuman apa yang akan kau berikan?!" tanya ayah Filza dengan garangnya."Saya akan meninggalkannya!""Bagaimana dengan anak kalian?""Jika dia tidak mampu mengasuhnya maka saya akan ambil alih anakku Bukankah seorang anak adalah hak dari ahli waris dan walinya?""Tidak bisa?""Kecuali dia memperbaiki diri, tapi kurasa, semuanya terlambat
Jika kemarin, aku sempat memberi kelonggaran kepada Mas Albi untuk menemui Filza kembali sampai sampai kedua insan itu rujuk, kali ini tidak lagi! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Sebelum suamiku kembali terpengaruh, aku sudah membuat langkah cukup berani, yakni menyiapkan gugatan perceraian dengan Albi kepada Filza."Anda yakin," ucap Pak Heru, advokat yang sempat kukenal di persidangan perceraianku tempo hari."Ya, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat, yang tadinya menyakiti sekaranh dialah korbannya.""Wah, saya tak menyangka. Tapi, apakah anda yakin suami anda sungguh-sungguh menceraikan istrinya?""Iya.""Baiklah kita bisa proses semuanya di persidangan Tapi tentu saja semua ini harus atas persetujuan suami Mbak Aini," balas Pak Heru."Tenang saja, saya akan bicara Pak, kali ini kasus harus selesai.""Ya, saya mendukung yang terbaik, semoga masalah keluarga Mbak Aini bisa selesai."Aku keluar dari rumah pejabat advokat dan hukum dengan senyum lebar, bersama anak
"Filza, wow, kau cantik, mungkin kamu berdua harus bertepuk tangan," ucapku sinis."Ohow ... bukan begitu," ucapnya sambil menggoyangkan jemari, " ...aku ke sini, untuk bicara dengan Mas Aldi perihal anak kami jadi izinkan aku untuk bicara dengannya berdua saja.""Aku rasa itu tidak etis.""Kami masih suami istri, jangankan untuk hanya berbicara berdua saja tidur pun boleh saja karena kami masih terikat hubungan pernikahan.""Apa kau tidak ingat kalau Abi sudah menjatuhkan talak?""Itu hanya talak satu yang masih bisa direvisi dengan rujuk.""Kau tidak ingat bahwa kau sudah ditalak dua kali? Jika itu terulang sampai tiga kali maka kalian tidak akan bersabar sama lagi untuk selama-lamanya kecuali kau menikah lagi dan Mas Albi masih mau menerimamu!""Pertanyaannya sekarang!" Wanita itu langsung meninggikan suaranya dengan kesal, "bolehkah aku bicara dengannya berdua saja di ruang tamumu, atau jika kau tidak izinkan maka aku akan mengajak Mas Albi untuk pergi bicara ke tempat lain.""Sil
Merasa bahwa Mas Aldi tidak menanggapi tangisan atau permohonannya, filsa semakin meradang dan menangis sejadi-jadinya. Aku dan Mas Aldi hanya saling pandang menyaksikan Filza histeris tidak terima diceraikan oleh mas Albi."Sebaiknya hubungi orang tuanya agar dia bisa dijemput," ujarku pada suami."Tidak usah dia sendiri yang sudah datang kemari jadi dia sendiri yang harus pergi,"jawab Mas Albi dengan tegas. Dia hampiri wanita itu lalu dengan paksa ia bangunkan dari tempatnya sekarang."Hentikan tangismu,!pulanglah sekarang juga," suruh Mas Albi dengan serius."Aku nggak mau Mas ....""Hanya orang yang tidak punya malu yang akan bertahan ketika sudah diusir!""Aku rela dihinakan tidak punya malu dan disebut wanita murahan, asal kau mau pulang denganku," jawabnya memelas."Aku sudah menceraikanmu dan untuk kali ini aku tidak akan memberikan kesempatan kedua, maafkan Aku," jawab Mas Albi."Teganya kau Mas ...."wanita itu menangis dan membelah sampai mungkin air matanya kering dan suara
"Beraninya kau mengajariku tentang sesuatu yang baik dan buruk sementara dirimu juga Wanita yang licik dan penuh kejahatan," ujarnya dengan Maya mendelik, aku hanya mengusap air bunga yang menempel di wajah dan kerudungku."Filza, jaga sikapmu di rumah orang lain," ujarku pelan, aku segera memunguti bunga bunga dan kaca yang berserakan.Bukannya takut pada wanita itu, aku hanya tidak mau Mas Aldi melihatnya dan semakin murka lalu kemudian memukuli filsa. Lagipula dalam hatiku gemas sekali, padahal aku benar-benar berusaha mengendalikan diri dan sabar menghadapi kelakuan wanita yang membuatku tidak habis pikir ini.Tanpa kuduga aku yang saat itu sedang mengemudi bling-bling yang pecah tiba-tiba tanganku diinjak olehnya, hingga aku terkejut dan tanganku tertusuk oleh kaca yang tajam."Astagfirullah...."aku segera bangun dan melihat tanganku yang terluka tertusuk oleh pecahan vas bunga yang berwarna bening itu."Kau gila ya?""Jangan mencoba untuk menggenggam luka jika kau tidak bisa me
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh