Merasa bahwa Mas Aldi tidak menanggapi tangisan atau permohonannya, filsa semakin meradang dan menangis sejadi-jadinya. Aku dan Mas Aldi hanya saling pandang menyaksikan Filza histeris tidak terima diceraikan oleh mas Albi."Sebaiknya hubungi orang tuanya agar dia bisa dijemput," ujarku pada suami."Tidak usah dia sendiri yang sudah datang kemari jadi dia sendiri yang harus pergi,"jawab Mas Albi dengan tegas. Dia hampiri wanita itu lalu dengan paksa ia bangunkan dari tempatnya sekarang."Hentikan tangismu,!pulanglah sekarang juga," suruh Mas Albi dengan serius."Aku nggak mau Mas ....""Hanya orang yang tidak punya malu yang akan bertahan ketika sudah diusir!""Aku rela dihinakan tidak punya malu dan disebut wanita murahan, asal kau mau pulang denganku," jawabnya memelas."Aku sudah menceraikanmu dan untuk kali ini aku tidak akan memberikan kesempatan kedua, maafkan Aku," jawab Mas Albi."Teganya kau Mas ...."wanita itu menangis dan membelah sampai mungkin air matanya kering dan suara
"Beraninya kau mengajariku tentang sesuatu yang baik dan buruk sementara dirimu juga Wanita yang licik dan penuh kejahatan," ujarnya dengan Maya mendelik, aku hanya mengusap air bunga yang menempel di wajah dan kerudungku."Filza, jaga sikapmu di rumah orang lain," ujarku pelan, aku segera memunguti bunga bunga dan kaca yang berserakan.Bukannya takut pada wanita itu, aku hanya tidak mau Mas Aldi melihatnya dan semakin murka lalu kemudian memukuli filsa. Lagipula dalam hatiku gemas sekali, padahal aku benar-benar berusaha mengendalikan diri dan sabar menghadapi kelakuan wanita yang membuatku tidak habis pikir ini.Tanpa kuduga aku yang saat itu sedang mengemudi bling-bling yang pecah tiba-tiba tanganku diinjak olehnya, hingga aku terkejut dan tanganku tertusuk oleh kaca yang tajam."Astagfirullah...."aku segera bangun dan melihat tanganku yang terluka tertusuk oleh pecahan vas bunga yang berwarna bening itu."Kau gila ya?""Jangan mencoba untuk menggenggam luka jika kau tidak bisa me
Brak!Bunyi pintu mobil bergerak kencang dan seorang pria dengan perawakan tinggi dan pakaian yang cukup rapi masuk ke halaman rumah. Melihat keadaan ramai dan ada ketua RT serta mas seno menyambutnya pria itu menjadi heran sambil mengernyitkan alisnya."Saya datang untuk menjemput fiilza, di mana dia?" "Dia ada dan sedang tertidur.""Bangunkan!" ucapnya lantang."Sebelumnya kami ingin bicara Pak," ucap Mas Seno dengan lembut, ya arahkan lelaki yang selalu berwajah serius itu untuk duduk di sofa ruang tamu kami. Ketika berpapasan denganku gestur kebencian pria itu tidak mampu ia sembunyikan dari diriku terlebih saat melihat tanganku yang sudah dibebat oleh luka yang ditimbulkan oleh anaknya, pria itu semakin menggeleng-geleng saja."Apa yang terjadi kenapa kalian menahan saya di sini?""Begini, Pak, saya ketua itu RT di sini Saya ingin bicara dengan Bapak," ucap Pak RT."Iya, ada apa?""Entah harus memulai dari mana Tapi jujur saja apa yang telah anak Bapak lakukan sangat meresahkan
Seminggu setelah kejadian pahit di rumahku. Kini, sidang perceraian Filza dan Mas Albi akan dilaksanakan. Pagi di hari Rabu, di jadwal sidang perdana, kubangunlan suami pagi pagi sekali. Dia yang tertidur dalam posisi telungkup tanpa mengenakan pakaian dan hanya ditutupi oleh kain selimut, aku bangunkan dengan perlahan hingga ia sadarkan diri."Mas, kamu harus bangun pagi untuk izin ke kantor lalu pergi ke persidangan," ucapku."Hmm, rasanya malas sekali untuk bangun dan menghadapi kenyataan ini. Aku lelah," keluhnya dengan suara yang masih parau dan malas, dia menjawab dengan posisi wajah yang masih membenam di bantal."Tapi, kau harus menyelesaikan semua yang sudah dimulai, aku mohon bangunlah.""Tunggu, kemarilah," ucapnya sambil menahan tanganku."Ya ...?" Aku kembali duduk di sisinya sementara ia bergerak berbaring ke arahku dan melingkarkan tangannya di perut ini."Aku butuh ketenangan, sebentar saja," ujarnya sambil mendekatkan wajah ke tubuhku.""Semuanya akan baik baik saj
(Kau boleh berbahagia dengan Aini dan meninggalkanku, tapi tanggung jawabmu tentang anak-anakmu tidak bisa dilepaskan begitu saja.)Aku dan Mas Aldi yang melihat SMS itu hanya saling pandang dengan pemikiran masing-masing."Menurutmu aku harus jawab apa?""Tidak tahu. Mungkin jawab saja iya.""Baiklah aku akan mengirimkan kata iya dan hanya itu saja." Dia mengetik pesan itu lalu mengirimkannya kepada calon mantan istrinya.Tidak lama kemudian setelah mengirimkan pesan seperti itu ponsel Mas Albi berdering. Wanita itu sepertinya tidak sabar untuk selalu membuat pertengkaran dan mengumbar kemarahannya. Karena tahu apa yang akan terjadi Abi Fatimah hanya mematikan benda itu tanpa menjawabnya sedikitpun.Tapi yang namanya Filza dia tidak akan pernah menyerah, dia terus mengirimkan pesan yang meminta agar Mas Albi mengangkat ponselnya."Drama yang sama tetap akan terjadi. Jadi aku lebih baik menghindarinya," bisik Mas Albi. "Akan kutinggalkan ponsel di sini dan pergi tidur ke kamar, kau b
Tidak boleh ada drama lagi! Aku sudah tegaskan dalam hatiku. Bahkan di setiap langkah aliran nafas dan dalam tiap sujudku di salatku. Aku teguhkan hatiku bahwa filsa tidak boleh membuat masalah lagi dengan keluarga ini.*Susu dan beberapa keperluan balita sudah tersedia di meja ruang tamu, tadinya aku akan meminta kurir untuk mengantarnya tapi kemudian aku berpikir bahwa aku akan mengantarnya sendiri sekaligus bertemu dengan filsa dan orang tuanya. Gila memang, tapi dia tidak akan bisa dihentikan tanpa bermain cantik."Kau yakin akan mengantarkan itu?""Iya.""Telepon saja aku jika mereka membuatmu tidak nyaman," ucap Mas Albi "Kau pergilah bekerja dan selesaikan tugas-tugasmu dengan baik. Sudah lama kau tidak terlalu fokus dengan kantor sehingga atasanmu komplain dan kondisi perusahaan kalian surut. Aku yakin semua masalah ini terjadi karena kau terpengaruh dengan urusan pribadi yang tengah bergelayut dalam pikiranmu. Aku akan membantumu menuntaskannya," ucapku dengan senyum tulus.
(Aku gagal bicara Mas.) Kukirimkan pada pesan pada suamiku yang kurasa masih ada di kantornya.(Kamu bertemu dengan siapa.) Aku yang sedang menepikan mobil dan mengirimkan pesan untuk suamiku lantas mendapatkan balasannya 2 menit kemudian.(Aku bertemu ibunya. Ibunya tidak mengizinkan aku bertemu Umi Gibran secara langsung karena kondisi mentalnya tidak sedang baik-baik saja. Begitupun Ayah filsa yang kini sedang sakit karena terlalu banyak pikiran.)(Aku minta maaf dan tidak bermaksud untuk bersikap pengecut, semua ini salahku karena sudah melibatkanmu,) balasnya dengan emoji sedih.(Tidak juga, aku ikhlas melakukannya untuk kau dan anakmu.)(Kita bicara di rumah nanti.)Kuakhiri pesan lalu menyalakan mobil untuk mampir sebentar ke pasar lalu mengunjungi kedua orang tuaku yang sudah lama tidak kutemui. Usai berbelanja, kukemudikan mobil untuk menuju kompleks rumah orang tuaku. Sesampainya di sana, kudorong pintu, lalu menjumpai orang tuaku yang tengah duduk di kolam belakang, membe
Melihat kejujuran dan kalimat suamiku yang dia ucapkan dengan pelan dan sopan, serta kata kata bahwa ia telah lelah dengan hubungan--bukan karena tidak bertanggung jawab melainkan karena sudah lelah dengan drama yang dibuat istrinya-- akhirnya pengadilan mengambil keputusan.*" Sesuai dengan undang-undang yang dan hukum yang berlaku, Dengan ini hakim menyatakan bahwa saudara Albi dan saudari Filza binti Rasyid resmi bercerai. Perihal pengasuhan anak akan berada dibawah asuhan ibunya dan mereka berhak mendapatkan nafkah sampai anak dewasa atau hingga batas waktu yang sudah bicarakan antara kedua belah pihak!"Tok!Palu itu diketuk, putusan dibacakan dengan satu kalimat panjang. Hak asuh Gibran jatuh ke tangan ibunya sementara Mas Albi harus membayar kompensasi 150 juta sebagai tebusan cerai. Perihal nafkah, itu akan diberikan sebesar tiga juta sebulan, mungkin kurang atau pas pasan saja, namun aku yakin nantinya wanita itu juga akan minta uang lebih.Setelah sidang bubar, Mas Albi
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh