Melihat kejujuran dan kalimat suamiku yang dia ucapkan dengan pelan dan sopan, serta kata kata bahwa ia telah lelah dengan hubungan--bukan karena tidak bertanggung jawab melainkan karena sudah lelah dengan drama yang dibuat istrinya-- akhirnya pengadilan mengambil keputusan.*" Sesuai dengan undang-undang yang dan hukum yang berlaku, Dengan ini hakim menyatakan bahwa saudara Albi dan saudari Filza binti Rasyid resmi bercerai. Perihal pengasuhan anak akan berada dibawah asuhan ibunya dan mereka berhak mendapatkan nafkah sampai anak dewasa atau hingga batas waktu yang sudah bicarakan antara kedua belah pihak!"Tok!Palu itu diketuk, putusan dibacakan dengan satu kalimat panjang. Hak asuh Gibran jatuh ke tangan ibunya sementara Mas Albi harus membayar kompensasi 150 juta sebagai tebusan cerai. Perihal nafkah, itu akan diberikan sebesar tiga juta sebulan, mungkin kurang atau pas pasan saja, namun aku yakin nantinya wanita itu juga akan minta uang lebih.Setelah sidang bubar, Mas Albi
Seminggu berlalu dalam berbagai perasaan suka dan duka suami, sementara aku selalu tampil sebagai penghibur terdepan untuknya.** Minggu sore, aku dan keluarga memutuskan untuk piknik ke taman kota yang rindang, di sana ada danau buatan dengan jejeran pohon di bagian tepi yang menyejukkan. Ada wahana permainan serta lapak lapak makanan enak, jadi, akan kuajak keluargaku untuk mencari angin dan bermain ke sana."Ayo anak anak, sudah siap.""Ya, ayo.""Mas, ayo berangkat," ajakku pada Mas Albi yang masih sibuk dengan ponsel."Sebentar aku sedang menjawab pertanyaan dari klien bisnis.""Ah, berbisnis memang tidak kenal waktu....""Iya, kalau ingin sukses, kita harus siap sedia sepanjang waktu.""Ayo pergi.""Ayo," jawabnya sambil mengenakan topi dan mengambil kunci mobil.*Taman masih belum begitu ramai, cahaya matahari sore menghangat ditingkahi angin sejuk yang menyeimbangkan cuaca. Bunga bunga aneka rupa dan warna bermekaran dan bergoyang ditiup angin, seolah mereka menyambut kedat
Ketika pulang, Mas Aldi membantuku untuk membereskan karpet dan perlengkapan piknik. Kuperhatikan wajahnya yang terlihat sudah tidak bersemangat dan tidak fokus lagi dengan piknik kami. Merasa bahwa situasinya sudah kondusif lantaran Mas Albi terus menatap kepada filsa, akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya pulang saja. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tidak ada seorang pun yang memulai percakapan hingga sampai di rumah kami. Hari telah petang, azan magrib berkumandang, kubereskan barang bawaan ke dapur lalu pergi ke kamar untuk mandi dan salat.Kuhamparkan sajadah dan menunaikan ibadah, memohon pada Allah, agar hati suamiku kuat dan punya keteguhan tentang keputusan yang hampir sebulan lalu ia ambil.Sesudah salat, kuhampiri ia yang sedang baca Alquran di kursi dekat jendela, aku bersimpuh di kaki suamiku lalu memeluknya dengan penuh kasih. Kutempelkan tanganku di dadanya dan mencoba merasakan detakannya."Apakah jantung ini masih berdetak dengan nama wanita itu?""Tidak.
Karena merasa prihatin dengan gibran, kuputuskan untuk pergi menjenguk putra suamiku bersama kedua kakaknya Fatin dan Fatimah. Niatku mengaja serta anak anak, agar Gibran bisa bertemu dan terbit lagi senyum di wajah pucatnya yang kesakitan. Aku memang benci pada Filza tapi aku tak membenci anaknya sedikit pun. Dia hanya bocah yang tidak bersalah yang masih butuh kasih sayang orang dewasa.Kususuri lorong rumah sakit, membawa sekeranjang buah dan berharap bahwa keluarga Filza akan menerima kedatanganku dengan pola yang biasa biasa saja. Aku lelah bertengkar dan niatku juga bukan untuk bertengkar. Aku hanya menunjukkan kepedulian juga perhatianku pada anak suamiku. Dan juga, agar Mas Albi tahu bahwa aku juga berusaha berdamai dengan semua orang.Tok tok ...Kuketuk pintu fasilitas kelas dua, di ruangan anak. Ada Gibran dan seorang anak lainnya di sana. Melihatku datang, keluarga Filza tertegun, ibunya hendak mendekat dan mengusir kami tapi ayahnya mencegah dengan gelengan kepala."Ass
Sepulangnya dari rumah sakit, kami langsung beristirahat. Anak anak ke kamar mereka, sementara aku mencuci bekas wadah makanan di dapur. Ada Mas Albi yang kemudian pulang dan menyapa, aku lihat dia cukup lelah dan terlihat lesu. Direbahkannya diri di kursi lalu membuka kancing bajunya untuk sedikit melegakan napas."Mau kopi Mas?""Iya, tentu," jawabnya.Kuseduhkan kopi untuknya lalu mengantarnya ke meja. Kuhempas diri di sofa sambil memperhatikan wajah Mas Albi yang lelah."Ada apa, Mas?""Lelah.""Bagaimana Gibran?""Baik.""Lalu orang tua Filza, apakah mereka bersikap baik?""Hmm, iya. Mereka tidak mengatakan apa apa," jawabnya."Kupikir ada kecanggungan setelah perpisahan dan kalimat kalimat pahit tempo hari, di depan pengadilan.""Ah, tidak juga, mereka mungkin maklum bahwa cucunya sedang sakit.""Aku harap hubungan semua orang tetap baik.""Ya, aku juga berharap begitu. Aku ingin filza memaklumi hubungan yang kini terjalin di antara kami, juga tentang kepentingan mengurus ana
Pada akhirnya, ada kabar yang benar benar membuatku kaget sekaligus angin segar untuk semua orang. Ayah Filza memutuskan untuk membawa anaknya ke poli psikiatri dan menangani masalah kejiwaan yang dialami putrinya itu. Kurasa itu keputusan terbaik yang pernah dibuat karena itu akan berpengaruh baik untuk Filza, cucunya juga untuk keluarga kami. "Hari ini ayah filsa akan membawa anaknya ke dokter jiwa," ucap Mas Albi sambil menikmati sarapan di piring."Aku terkejut karena mereka memberitahukan padamu tapi kurasa karena kau punya hubungan yang baik dengannya jadi, dia memberi tahu.""Lebih dari itu, dia berharap bahwa aku bisa menemani filsa.""Kenapa kau?""Entahlah....""Ah, iya, karena wanita manja dan butuh perhatian lebih, dia pasti ingin cari muka dan menunjukkan padamu bahwa dia berusaha jadi lebih baik dengan mau ikut terapi.""Aku tidak terpengaruh.""Sebaiknya batasi hubungan yang tidak terlalu relevan kecuali itu berkaitan dengan Gibran. Aku tidak ingin hubunganmu terjali
Kini balita itu dalam buaian tanganku, dia merasa nyaman dan tertidur pulas dengan wajah lucu. Ada rasa iba dan kasih sayang yang timbul dalam hatiku saat menatap bocah itu, mungkin naluri seorang ibu yang ingin melindungi dan menyayangi anak mereka, itu secara alami datang padaku. Dengan langkah pelan kubawa ia masuk ke kamar lalu meletakkan ia di tempat tidur dengan nyaman.Perlahan kututup pintu, agar dia tidak menyadari dan tetap terbuai mimpi dengan pulasnya. Kuhubungi suaniku yang masih di kantornya lalu memberi tahu bahwa Gibran ada bersama kami saat ini. "Benarkah?""Iya, Gibran di sini. Dia tertidur di kamar kita.""Aku kaget filza menyerahkannya padamu," ucap Mas Albi."Boleh jadi jebakan, dia akan membuat skenario bahwa anakmu tersakiti olehku, atau apa saja itu, aku khawatir, Mas.""Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Lagipula ia akan makan waktu lama di rumah sakit jiwa, jadi jangan pikirkan dia.""Iya, Mas. Jangan lupa nanti bawakan popok dan susu.""Baik. Titip gib
*"Kenapa kau? Kenapa hari ini wajah itu berseri dan kau kelihatan gembira sekali?" Dia bertanya seperti itu saat baru saja kusambut di depan pintu. "Entahlah, aku hanya sangat bahagia," jawabku sambil mengangkat bahu."Sungguhkah?""Iya. Kau tahu apa alasannya?" tanyaku memancing rasa penasaran suamiku."Tidak," jawab suamiku sambil menuju ke dapur, seperti biasa, Ia tuangkan air dari dispenser dingin lalu meneguk kesejukan cairan dari dalam gelas itu dengan tegukan cepat lalu lega."Ibu akan memberiku hadiah....""Wah, selamat, hadiah apa?""Masih rahasia sebab itupun dalam proses untuk meyakinkan dia bahwa aku pantas atau tidak mendapatkannya," jawabku."Diuji dulu baru diberi hadiah?""Ya.""Ujiannya apa?""Membahagiakan keluarga ini dengan segala kemampuanku.""Tentu saja itu keahlianmu, tidak perlu diujipun kau sudah membuat kami senang," jawab Mas Albi."Kau tahu apa hadiahnya, tidak penasaran?""Penasaran sekali.""Gelang nenek yang legendaris itu....""Apa? Gelang itu hany
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh