Sebenarnya gak nyempe sih, tapi udah kadung sok-sokan mau loncat kalau gak jadi kan tengsin, kali ada yang lihat kan? Minimal malu ama surat wasiat lah.
Dan tubuhku gemetar hebat ketika aku sudah berdiri sempurna di atas permukaan jembatan.
"Waduh, ini kenapa kepalaku pusing begini kalau nunduk ke bawah?" Tremor gak jelas jadinya.
Sempat ingin ku urungkan niatku untuk terjun karena tiba-tiba rasa takut menerjang. Tapi kalau ingat keinginan ayah yang bakal menikahkan ku dengan si anak kiyai itu membuat nyaliku untuk bunuh diri tumbuh lagi .
"Demi mimpi yang tertunda, gue akhiri hidup ini!"
Eh enggak, rupanya aku masih ada di atas jembatan. Aku merasa seseorang menahan kakiku dengan kuat.
Begitu aku membuka mata, benar saja, seorang laki-laki berpeci hitam sedang memegangi kakiku dengan wajah panik. Siapa dia? Ganteng banget! Duh mataku masih sempat-sempatnya aja jelalatan.
"Mba, astaghfirullah. Istighfar Mba, tak boleh seperti ini, bunuh diri itu dosa!" ucapnya membuat aku terpukau.
Lah kok ngatur? Ikut campur banget sih!
"Mba, bunuh diri bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Selagi bisa dibicarakan baik-baik, bunuh diri bukan solusinya."
Sial, ini orang nambah masalah aja sih! Sudah gak bisa ke Korea, hutang banyak, dijodohin sama ustad, ini lagi orang gila pakek tiba-tiba ceramah segala!!!
"Duh Mas, kalau mau ceramah di masjid sono! Saya lagi gak butuh ceramah. Pergi deh!" Aku berusaha mengusirnya, tapi dia masih kuat menahan kakiku. Untung saja aku pakai celana panjang, jadi dia gak ada kesempatan menengok yang lain. Ya kali aja peci sama baju koko nya cuma sebagai hiasan? Laki-laki kan begitu!
"Saya bukan ceramah Mba, saya cuma sedang berusaha menyelamatkan hidup Mba. Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya di dunia ini. Masih bisa dibicarakan baik-baik, Allah berfirman...."
"Maaaasss!! Anda lagi sepi job ceramah apa gimana sih? Saya mau bunuh diri ngapain dikasih firman-firman segala. Udah deh minggir!" Aku berusaha melepaskan kakiku yang dia tahan dengan kuat. Namun, ku dengar dia berucap lagi sambil mencengkram lebih kuat.
"Mba masalah itu tidak ada yang berat, justru bunuh diri akan memberatkan timbangan Mba menuju neraka, istighfar Mba!"
Apa? Sok tahu banget dia bilang masalahku tidak berat. Dia tahu gak kalau mimpi aku direnggut demi dijodohkan sama bapak ustadz?
"Anda tau gak sih Mas, saya tuh mau dijodohkan sama ayah saya," kataku yang masih berdiri di atas jembatan. Suara air sungai yang deras membuat kami harus berbicara dengan nada teriak.
"Saya punya mimpi dan mimpi itu gagal karena perjodohan. Saya gak mau nikah. Ah, anda gak bakal ngerti karena anda gak mengalaminya sendiri. Bye Korea Selatan, cukup roh gue yang berkeliaran di sana!" ucapku pasrah. Namun tiba-tiba ku dengar dia meneriakkan namaku.
"Mba, kamu Reynata bukan?"
Aku terpekik sejenak. Hendak saja kakiku kutarik dengan keras namun ku urungkan. Dari mana dia tahu namaku? Kenalan aja belum. Sontak aku jadi terdiam dan mulai melemahkan semua otot-otot. Dia pun perlahan melepaskan cengkraman tangannya pada kakiku.
"Mba, kamu Reynata putri dari Bapak Yusuf kan?"
Angin dari mana ini, kenapa aku yang tadinya menggebu-gebu untuk mengakhiri hidup, sekarang malah turun dari jembatan begini. Aku jadi penasaran dan ingin menggali lebih dalam dari mana dia tahu namaku dan nama ayahku.
Setelah aku turun sempurna di darat, iya tadi kan di awang-awang, aku mulai berbicara serius dengannya.
"Iya, aku Reynata anaknya bapak Yusuf Ardiansyah. Kok Mas tahu sih?"
Dia menunduk sambil membuang napasnya berkali-kali. Wajahnya, gak nahan banget, gila lu ganteng Mas! Jadi penasaran sih siapa dia.
"Saya Husein Mba, anaknya kiayi Umar. Mba ingat kedua nama itu?"
Hah? Bentar, kayak gak asing banget deh kedua nama itu. Tapi aku gak mau berpikir macem-macem dulu sebelum lebih banyak mendengar penjelasan darinya.
"Mba, ingsyallah jika Mba bersedia minggu depan adalah waktu ijab qobul kita," ujarnya lagi.
"Maksud Mas apaan ya?" Aku mencoba masih bersikap santai meski jantung ini berdegup lebih kencang.
Dia mengatur napasnya kembali.
"Mba, ayah kita sudah menjodohkan kita. Ingsyallah aku akan menjadi imam untuk Mba. Saya mengenali wajah Mba dari foto yang diberikan ayahanda Mba, saat datang pada kami."
Aku melongo, ternganga tak percaya. Bisa-bisanya aku datang ke tempat ini untuk bunuh diri tapi yang berhasil menggagalkan aksi itu adalah penyebabnya sendiri.
"Boong, bercanda banget lu!" Aku masih gak percaya. Kali aja ini settingan, aku memutar pandangan ke segala arah untuk mencari mana tau ada kamera tersembunyi. Anehnya dia pun ikut celingukan seperti mencari sesuatu juga.
"Saya tidak bercanda Mba, demi Allah sumpah Rasulullah saya adalah anak kiayi Umar yang akan dinikahkan bersama Mba!"
Please pengen loncat saat ini juga. Aku syok berat guys. Tapi aku harus melawan situasi ini. Bukannya bagus ketemu orangnya langsung dan akhirnya bisa berterus-terang bahwa aku menolak perjodohan itu.
"Kalau iya yang lo ucapin, bagus. Sini dengerin!" Aku mulai mendekatinya tapi dia malah refleks mundur menjauhiku.
Bodo amat lah, yang penting suaraku kedengaran. "Gini ya Mas, bisa kan batalkan pernikahan kita? Aku tuh gak mau ya, aku punya mimpi yang harus diwujudkan. Jadi tolong kasih tau keluarga Mas baik-baik untuk membatalkan pernikahan kita."
Semoga dia langsung jawab iya, semoga dia bisa merasakan penderitaan aku.
"Maaf Mba, sepertinya tidak bisa. Orang tua kita sudah sepakat, dan segala persiapan pernikahan sudah dilakukan. Durhaka Mba menyakiti hati kedua orang tua!"
Glek!! Mampus! Sayonara sama mimpi deh jadinya.
"Kok gak bisa sih? Memangnya Mas gak kasian sama aku yang terpaksa menjalani pernikahan? Aku masih muda, umur aja baru 23 tahun. Suruh nikah, ya ogah lah!" tandasku lagi tanpa ampun. Gila ya, maksa banget sih mereka.
"Mba, saya pun tak diberi kesempatan untuk memilih menerima atau menolak ajakan pernikahan. Namun saya percaya pada ayah saya bahwa dia memilihkan jodoh yang terbaik, yang bisa saya bimbing menjadi sholihah. Ingsyallah saya mampu Mba, mari kita berbakti pada orang tua."
Tuh kan, bener kata ayah kemarin bahwa calon suamiku adalah seorang pendakwah. Jadi aku harus menikah dengan cowok yang memberi asupan nasihat setiap detik begitu? Gak! Mending gue bunuh diri aja.
Aku bersiap untuk naik ke jembatan lagi, aku tak peduli omongannya soal berbakti. Toh berbakti pada orang tua egois juga salah.
"Astaghfirullah, Mba."
Tubuhnya kini dengan sigap sudah ada di depanku, dia merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi aku naik ke jembatan lagi. Aku terkesiap dan menghentikan langkahku saat itu juga.
"Mba dengarkan, aku akan membuat janji padamu. Janji yang akan ku tetapi selama pernikahan kita. Mba jangan akhiri hidup! Hidup Mba berharga dan tak boleh disia-siakan."
Sorot matanya setajam elang. Kurasa dia sangat serius untuk benar-benar mencegahku mengakhiri hidup.
Aku menarik napas kasar, "Apa?" Tak ada salahnya mendengarkan ucapannya dulu.
"Demi Allah, saya janji tidak akan pernah menyentuh tubuh Mba jika bukan Mba yang mengizinkannya. Saya janji tidak akan mengekang hidup Mba jika mba tidak melewati batas. Silakan hidup seperti biasanya, jika hijab masih berat silakan lakukan pelan-pelan. Cukup berbusana yang menutup tangan dan kakinya, ingsyallah saya tidak masalah. Tolong Mba, jangan akhiri hidupnya."
Aku terdiam saat pelan-pelan mencerna kembali ucapannya yang baru saja ku dengar. Gimana nih? Apa yang harus aku lakukan?
***
"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Husein, saya nikahkan dan kawinkan anak kandung saya yang bernama Reynata Adizti binti Yusuf Ardiansyah dengan mahar seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan intan berlian dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Reynata Adizti binti Yusuf Ardiansyah dengan mahar seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan intan berlian dibayar tunai!" Tuhan, aku tak hentinya menitikan air mata saat samar kudengar dia sedang merubah hal yang tadinya haram menjadi halal. Air mata penyesalan sih tepatnya! Lebih sedih lagi saat suara orang-orang serentak berkata sah yang membuat bulu kuduk ku merinding. Gila yah, bisa-bisanya aku menyerah dengan semuanya secepat ini. Padahal, aku anti banget sama nikah muda, mengurus rumah dan suami semacam itu adalah musuh bebuyutan aku. Tapi, kenapa Tuhan malah menjadikan musuh itu jalanku? Hanya belaian tangan ibu yang saat ini mampu menenangkan ku agar aku tak kabur dari pesta ini. Ibu mengusap air mataku yang ta
Awkard momen banget gak sih. Kita seperti orang asing yang kebetulan ada dalam satu kamar. Ngerti gak? Kayak cuma akad doang habis itu hidup masing-masing lagi. Dia, setelah selesai sholat isya hanya duduk di sofa kamar entah ngapain. Sedangkan aku tidur di kasur membelakanginya. Hanya tembok putih yang ku tatap sedari tadi. Malam pertama? Bukan malam pertama seperti ini yang aku mau. Aku pernah membayangkan malam pertama dengan laki-laki yang sungguh aku cinta. Bukan sama laki-laki yang.... aku pun tak tega menjabarkannya. Di saat teman-teman seumuran ku masing bisa dugem ke diskotik, masih bisa gonta ganti pacar dalam 24 jam, eh aku malah terjebak di kamar mengheningkan cipta begini. Dan parahnya, ini gak cuma terjadi sehari dua hari, tapi selamnya. Pengen deh, pelihara tuyul atau babi ngepet gitu biar bisa kembalikan kekayaan Ayah terus aku bisa minta cerai sama dia. **Setelah itu aku berhasil tertidur dengan nyenyak meski masih di hari pertama aku menikah.Samar aku dengar k
Habis terang terbitlah gelap. Bagiku, itu baru bener! Bisa-bisanya setelah selesai mengantar kepergian ayah dan ibu, ada beberapa tamu yang ujug-ujug membeludak di rumah mertuaku hanya untuk melihat istri dari ustadz Husein. Dan rata-rata tamunya adalah ibu-ibu yang katanya kumpulan majlis ta'lim. Mereka, adalah orang-orang kampung yang heboh sendiri dan banyak tanya saat bertemu denganku. Aku gak suka! Gimana caranya aku menghindari tamu-tamu menganggu itu? Aku pengen kabur ke kamar, minimal melepas baju ninja ini dulu dan ganti pakai baju santai. Sudah dikerubungi ibu-ibu yang bau badan, pakai baju panjang, tanpa kipas angin pula. "Ya Allah neng, beruntung sekali ya bisa jadi istri dari ustadz Husein. Kami di sini yang punya anak gadis semua merasa patah hati soalnya kami gagal meminang hati Ustadz Husein," ujar mereka yang antara satu ibu dengan ibu yang lain semua rata-rata berkata sama. Dalam hatiku, ambil aja Bu! Mungkin anak gadis mereka rela dan ridho dinikahi ustad dakwa
Mampus, begini kan jadinya hangout gak tau waktu. Padahal awalnya aku santai-santai aja, tapi entah kenapa pas aku lihat jam tangan udah pukul sepuluh malam, aku langsung kalang kabut dan meminta Reza untuk mengantar aku pulang. Walaupun awalnya aku sempat diketawain Clara dan Nadine karena udah ngacir ketakutan, tapi mau gimana lagi kehidupan aku hari ini dan minggu lalu udah beda drastis kayak akhlak ku dan akhlak Husein."Berhenti di mana?" tanya pacarku saat mobil yang dia kendarai sudah hampir sampai di dekat gerbang pondok. Aku jelas minta dia berhenti lebih jauh supaya orang-orang sana gak ada yang lihat aku sama Reza."Di sini aja Za, aku perlu sembunyi-sembunyi dulu," jawabku gemetar. Pandangan ku berpusat ke seluruh area gerbang karena takut ada yang memergoki kita berdua."Kamu serius mau menjalani kehidupan seperti ini? Aku aja gak tega loh Rey lihatnya!"Aku yakin dengar dia bilang apa barusan, tapi aku seperti bodo amat karena sangking sibuknya mengkhawatirkan nasibku
Tak ku sangka kemarahan ini mengantarkan aku sampai di depan kamar. Baru saja aku mau buka pintu kamar, sebuah suara lain sukses mengejutkan aku. Setelah aku menengok ke asal suara, ternyata itu adalah ibu mertuaku yang berdiri di seberang pintu. Dia melihatku dengan tatapan yang dingin.Biasa aja kali, liat mantu kok kayak liat selingkuhan muda suaminya!"Dari mana Rey, jam sepuluh baru pulang? Pakaian kamu?" tanyanya dengan mencekam. Santai, kayak mau terkam aku aja. Aku begini ulah kalian juga kan!"Saya habis bertemu teman-teman Bu, mereka mau ucapin selamat buat pernikahan saya." Untung pinter acting."Harus ya sampai larut malam begini? Kamu gak kasihan, suamimu sampai nunggu di luar dari jam 8 sampai kamu pulang. Paham adab enggak?" Hah? Nunggu di luar? Buat apa, aku sama sekali gak tersentuh tuh! Wajar kali, namanya ke istri sendiri kan?"Uhm..."Aku dengar suara langkah kaki berlari."Buuu!!" Aku spontan menoleh saat tiba-tiba di belakangku sudah ada Husein, dia terengah-en
"Mas, apa-apaan ini. Kamu udah janji gak bakal sentuh aku, kenapa sekarang tiba-tiba nagih hak begini?"Aku ketakutan dan reflek menarik selimut hingga menutupi separuh tubuh. Aku gemetar saat sorot mata elangnya menatapku dengan tajam. Wajahnya serius sampai aku merinding."Aku minta maaf Mas soal tadi, aku janji gak bakal pulang malam-malam lagi. Sana pergi gak, atau aku teriak nih!"Semakin ku suruh pergi, Husein malah semakin mendekat dan sekarang malah menarik selimut yang sedang ku pegang."Aaarrghh!!" Aku berteriak dan meraih bantal lalu ku buat memukuli tubuhnya. "Kurang ajar, dasar laki! Gak bisa pegang janji!" Ku pukul terus tubuhnya sampai tangan Husein terangkat dan berusaha menutupi wajahnya. "Dasar kadal buntung!""Mba kamu kenapa?" Aku membuka mata seketika saat tersadar bahwa runtutan peristiwa yang barusan terjadi adalah hanya sebuah mimpi. Aku melihat Husein di depanku hanya memakai kaos putih dan celana hitam panjang dan sedang berusaha membangunkan aku. "Mba, kam
"Gak cuma fiqih Pak, tapi dia juga harus diajari tajwid yang benar sama Mba Aisyah. Karena membaca Alquran tanpa mempelajari ilmu tajwid yang benar itu haram hukumnya."Duh, gak anak, gak emak hobi ceramah semua. Lagian yang mau baca Alquran siapa sih? Kan mereka, bukan aku. Tak bisa lagi ku sembunyikan wajah kesal ku pada mereka.Husein juga diam aja lagi. Bisa gak sih soal gini belain aku, bilang kek ke mereka kalau aku belum siap belajar kayak begituan."Kok gak dijawab? Kan ditanya sama kami!" sambung ibu mertuaku lagi. Terpaksa, dengan terpaksa aku menjawabnya. Ku buang napas kasar sebelum berkata "Iya!" Sesingkat itu dan sejudes itu jawabanku."Ya sudah kalau begitu, lekas sarapan. Jam delapan kelasnya Husein sudah dimulai."Apa sarapan? Siapa yang mood sarapan kalau udah dikasih ultimatum suruh belajar kek tadi. Coba, bisa gak sih kasih taunya tu pas udah makan. Minimal gak bakal kelaparan kan meski marah-marah.Untuk mengambil centong nasi aja tanganku lemes banget! Dahla
Mataku nge-frezz setelah beberapa detik memandangi tubuh suamiku. Memang kenyataan kan, satu minggu kita nikah, aku sama sekali gak pernah melihat seluk beluk tubuh dia kecuali wajah, tangan, dan telapak kakinya. Dia gak pernah sekalipun memakai celana pendek atau sampai bertelanjang dada. Benar-benar menjaga auratnya meski ke istrinya sendiri. Beda sama aku yang udah tebar keseksian sana sini, bahkan dia juga pernah melihat aku yang cuma pakai tank top doang."M-Mas maaf, gak sengaja!" Lucunya, dia juga membeku saat mata kita tak sengaja bertemu. Dia reflek menjatuhkan tangan aku dan segera menutup bajunya yang terbuka. "Mba maaf!" Kok jadi dia yang minta maaf? Oh, mungkin karena dia menepiskan tanganku dengan kasar ya barusan."Ternyata tubuh Mas atletis juga ya! Kalau jadi bintang iklan keren juga loh, mau gak aku kenalin ke produser yang biasa kerja sama aku?" "Produser apaan Rey? Enggak lah, bukan bidang ku!" katanya sambil mengancingkan kancing bajunya."Eh serius Mas, misal