Awkard momen banget gak sih. Kita seperti orang asing yang kebetulan ada dalam satu kamar. Ngerti gak? Kayak cuma akad doang habis itu hidup masing-masing lagi.
Dia, setelah selesai sholat isya hanya duduk di sofa kamar entah ngapain. Sedangkan aku tidur di kasur membelakanginya. Hanya tembok putih yang ku tatap sedari tadi.
Malam pertama? Bukan malam pertama seperti ini yang aku mau. Aku pernah membayangkan malam pertama dengan laki-laki yang sungguh aku cinta. Bukan sama laki-laki yang.... aku pun tak tega menjabarkannya.
Di saat teman-teman seumuran ku masing bisa dugem ke diskotik, masih bisa gonta ganti pacar dalam 24 jam, eh aku malah terjebak di kamar mengheningkan cipta begini. Dan parahnya, ini gak cuma terjadi sehari dua hari, tapi selamnya.
Pengen deh, pelihara tuyul atau babi ngepet gitu biar bisa kembalikan kekayaan Ayah terus aku bisa minta cerai sama dia.
**
Setelah itu aku berhasil tertidur dengan nyenyak meski masih di hari pertama aku menikah.
Samar aku dengar ketika selesai sholat subuh, dia memutar gagang pintu dengan pelan dan masuk ke dalam kamar.
Sebetulnya aku sudah bangun mungkin setengah jam sebelumnya karena suara adzan di sini sangat menggelegar, mustahil kalau gak bangun. Kecuali budek.
Jadi, aku cuma baringan sambil main handphone, dan ketika dia masuk aku kayak langsung pura-pura tidur supaya kita gak ada terlibat pembicaraan apapun. Malas!
Ku lihat dengan mengintip kecil di balik selimut, ternyata dia sedang membawa selembar bajunya di lemari dan menoleh sekilas ke arahku.
Spontan langsung ku pejamkan lagi kedua mata ini dan berakting tidur, yah bisa lah ku gunakan kemampuanku, aku kan mantan artis!
"Mba, sholat subuh dulu ya. Setelah itu temui ayah dan ibu, katanya hari ini mereka harus pergi!"
Hah? Aku seketika terbangun tanpa aba-aba apapun dan menunjukkan bukti bahwa barusan aku sedang tidak dalam keadaan tidur, keceplosan gitu maksudnya.
"Serius Mas? Terus sekarang di mana?"
Aku membuka selimut, dan beranjak turun dari tempat tidur. Tapi, lagi-lagi hal seperti tadi malam terjadi, dia reflek memalingkan wajahnya dan enggan melihatku, tapi ku rasa satu tangannya sedang menahan lenganku.
"Mba sholat subuh dulu. Waktunya amat pendek. Sedangkan menemui ayah dan ibu masih banyak waktu," katanya yang membuat aku heran berbicara tanpa menatapku sedikitpun.
"Kam.. eh, maksudnya Mas nih kenapa sih setiap ngobrol sama aku mengalihkan muka begini? Emangnya wajah aku gak layak untuk dilihat?" Aku kan risih jadinya.
Tapi dia diam membisu, ku tarik bahunya supaya menghadap ke arahku, tapi dia tarik kembali ke posisi semula.
"Bodo amat lah bukan urusanku!"
Dia tetap menahan ku dan malah memberikan selembar kain sarung untukku.
"Mba, di luar banyak orang. Ada santri laki-laki yang berlalu-lalang di ruang tamu. Pakaian kamu enggak pantas, setidaknya pakai celana panjang atau kain penutup ini yah!"
Ohh, aku paham! Rupanya dia memalingkan wajah karena melihat aku dalam keadaan seksi toh? Aku biasa seperti ini, bahkan lebih seksi pun pernah pas pemotretan produk.
Karena aku ingin cepet-cepet ketemu ayah dan ibu, tanpa banyak obrolan lagi ku ambil kain sarung itu, dan ku gunakan untuk menutup kakiku. Memalukan sih memang, tapi apa boleh buat.
Karena kamar mandi terpisah di luar, jadi aku harus melewati ruang keluarga dulu baru bisa mencapai kamar mandi.
Aku sudah bilang bahwa akan sholat di kamar ibu dan ayah, dia pun mengizinkan.
***
"Tapi Bu, aku bener-bener gak sanggup hidup begini. Aku ikut ibu ya!" Aku memohon, pokoknya maksa pakek banget supaya aku bisa ikut mereka. Tapi sekeras apapun aku memaksa, keadaan gak bisa mengizinkan aku ikut sama ayah dan ibu.
Mereka benar-benar memulai dari nol, dari yang aku dengar barusan, semua biaya pernikahan ditanggung oleh suamiku. Bukan uang dari orang tuanya, melainkan murni uang pribadi.
Dan yang lebih mengejutkan lainnya adalah, Husein juga lah yang akan membiayai hidup ayah dan ibu serta semya hutang-hutangnya. Aku sempat terheran sendiri, sebanyak apa uang dia sampai dia mampu membiayai kedua orang tuaku juga. Laki-laki misterius!
"Jadi Rey, ayah mohon yah, jalani rumah tangga ini dengan benar. Hormati suami kamu. Dia orang baik, kalau ada apa-apa dan butuh apa-apa jangan sungkan, mintalah ke dia. Ayah sudah bukan orang yang bisa membelikan apapun kemauan Rey."
"Benar, kamu tidak akan menduganya kalau ternyata suami kami itu luar biasa. Dia sering menang lomba dakwah ketika masih muda, tabungannya mungkin cukup membiayai hidup kalian sampai 10 tahun mendatang. Ingsyallah dia akan menjadi imam yang baik."
Gak ayah, gak ibu semua nasehati aku supaya aku menghormati dia. Ini bukan soal harta lagi, bagiku ini soal hak asasi manusia yang direnggut dariku.
"Jadi ayah dan ibu maunya aku gimana? Aku juga manusia biasa, butuh waktu buat aku untuk berubah, gak bisa sekejap mata."
Tambah sakit banget rasanya hati ini, dipaksa untuk jadi istri yang baik saat aku belum siap menghadapi dunia pernikahan. Menyiksa batin tau Yah!
"Ayah sudah menjelaskan semuanya ke Husein tentang sifat dan karakter kamu, syukurlah dia mengerti dan tidak akan merubah kamu dalam sekejap mata. Bahkan tadi malam pun saat kamu belum siap tidur sekamar dengannya, dia mengalah keluar dan tidur di kamar lain. Jangan khawatir, Husein orangnya baik nak, dia pasti akan menghormati keputusan kamu." Ibu mendekat dan memberikan pelukannya padaku.
Hari ini, aku harus menahan rasa sakit kesekian kalinya lagi, karena momen di mana aku harus mengantar ibu dan ayah pergi ke kota Batam, tempat kelahiran ibu. Katanya di sana mereka akan memulai baru lagi dari nol, meski sebagian kebutuhannya kelak akan dibantu oleh suamiku.
***
Semua orang saat ini sedang berkumpul di teras rumah untuk berpamitan kepada ayah dan ibuku.
Ku lihat Husein juga wara-wiri menyimpan koper dan oleh-oleh yang akan dibawa pergi. Dia mempersiapkan segalanya dari mulai tiket dan mobil yang akan mengantar mereka ke bandara.
Harusnya aku bisa luluh atas tindakan tanggung jawab dia ini, tapi entah kenapa aku kayak biasa aja dan malah condong ke cuek mengacuhkan dia.
Hatiku gak bisa kebuka dengan gampang ya Pak! Butuh sepuluh tahun mungkin sampai tabungan mu habis baru aku bisa membuka hati.
Karena ada bapak mertua, aku dipaksa suruh pakai baju ninja, alias gamis yang panjang dan panas begini.
Duh, kalau gak bukan karena hidup ayah dan ibu, aku mungkin sudah kabur dari tadi malam.
"Saya pamit ya nak Husein, terima kasih atas segala-galanya. Tolong titip Rey, jaga dan sayangi dia," ujar ayah di depan pintu mobil. Bibirku tertutup rapat dan tak ingin berbicara apapun saat kudengar mereka memuja memuji akhlaknya yang baik.
Tak mempan bagiku untuk terharu.
Ibu juga dengan tangisnya memeluk Husein dan lagi-lagi berterima kasih yang sangat gampang mereka ucapkan tapi sulit aku lakukan.
"Jaga diri baik-baik ya Ayah, Bu, jangan khawatirkan kami di sini. Ingsyallah Husein akan jaga hidup Rey lahir dan batin."
Jangan sok puitis deh bang, keren enggak, lebay iya.
Ibu dan ayah kini menghampiriku.
Janji gak bakal nangis yang aku terapkan sedari tadi akhirnya runtuh juga. Aku terisak-isak dalam pelukan ibu, padahal ini bukan perpisahan pertama bagi kami.
Dulu, aku juga pernah meninggalkan mereka pas aku memutuskan merantau ke Jakarta, tapi gak sesedih ini.
Sekarang, aku benar-benar patah hati, patah semangat, untung aja gak patah tulang.
"Berbaktilah pada suami, baru pada orang tua. Karena jika sudah menikah, yang harus kamu dengar dan kamu utamakan adalah ucapan suami."
Ibu? Gak ada pesan atau nasehat buat aku selain tentang Husein, Husein, dan Husein! Aku muak dengarnya!
Apakah hidupku harus melulu soal laki-laki? Mereka gak tanya keadaan batin aku gimana sekarang?
Tapi daripada aku debat di hari perpisahan kami begini, lebih baik aku mengalah memendam ego, dan akan aku lampiaskan nanti sama si Husein aja!
Aku membalas pelukan ibu dengan erat. Kapan lagi aku bisa mencium bau tubuhnya yang khas dan menenangkan itu. Hati-hati ya Ayah, Ibu. Semoga kita bisa bersama lagi, tapi tanpa dia diantara kita.
Aku mendelik tajam ke arah suamiku.
***
Habis terang terbitlah gelap. Bagiku, itu baru bener! Bisa-bisanya setelah selesai mengantar kepergian ayah dan ibu, ada beberapa tamu yang ujug-ujug membeludak di rumah mertuaku hanya untuk melihat istri dari ustadz Husein. Dan rata-rata tamunya adalah ibu-ibu yang katanya kumpulan majlis ta'lim. Mereka, adalah orang-orang kampung yang heboh sendiri dan banyak tanya saat bertemu denganku. Aku gak suka! Gimana caranya aku menghindari tamu-tamu menganggu itu? Aku pengen kabur ke kamar, minimal melepas baju ninja ini dulu dan ganti pakai baju santai. Sudah dikerubungi ibu-ibu yang bau badan, pakai baju panjang, tanpa kipas angin pula. "Ya Allah neng, beruntung sekali ya bisa jadi istri dari ustadz Husein. Kami di sini yang punya anak gadis semua merasa patah hati soalnya kami gagal meminang hati Ustadz Husein," ujar mereka yang antara satu ibu dengan ibu yang lain semua rata-rata berkata sama. Dalam hatiku, ambil aja Bu! Mungkin anak gadis mereka rela dan ridho dinikahi ustad dakwa
Mampus, begini kan jadinya hangout gak tau waktu. Padahal awalnya aku santai-santai aja, tapi entah kenapa pas aku lihat jam tangan udah pukul sepuluh malam, aku langsung kalang kabut dan meminta Reza untuk mengantar aku pulang. Walaupun awalnya aku sempat diketawain Clara dan Nadine karena udah ngacir ketakutan, tapi mau gimana lagi kehidupan aku hari ini dan minggu lalu udah beda drastis kayak akhlak ku dan akhlak Husein."Berhenti di mana?" tanya pacarku saat mobil yang dia kendarai sudah hampir sampai di dekat gerbang pondok. Aku jelas minta dia berhenti lebih jauh supaya orang-orang sana gak ada yang lihat aku sama Reza."Di sini aja Za, aku perlu sembunyi-sembunyi dulu," jawabku gemetar. Pandangan ku berpusat ke seluruh area gerbang karena takut ada yang memergoki kita berdua."Kamu serius mau menjalani kehidupan seperti ini? Aku aja gak tega loh Rey lihatnya!"Aku yakin dengar dia bilang apa barusan, tapi aku seperti bodo amat karena sangking sibuknya mengkhawatirkan nasibku
Tak ku sangka kemarahan ini mengantarkan aku sampai di depan kamar. Baru saja aku mau buka pintu kamar, sebuah suara lain sukses mengejutkan aku. Setelah aku menengok ke asal suara, ternyata itu adalah ibu mertuaku yang berdiri di seberang pintu. Dia melihatku dengan tatapan yang dingin.Biasa aja kali, liat mantu kok kayak liat selingkuhan muda suaminya!"Dari mana Rey, jam sepuluh baru pulang? Pakaian kamu?" tanyanya dengan mencekam. Santai, kayak mau terkam aku aja. Aku begini ulah kalian juga kan!"Saya habis bertemu teman-teman Bu, mereka mau ucapin selamat buat pernikahan saya." Untung pinter acting."Harus ya sampai larut malam begini? Kamu gak kasihan, suamimu sampai nunggu di luar dari jam 8 sampai kamu pulang. Paham adab enggak?" Hah? Nunggu di luar? Buat apa, aku sama sekali gak tersentuh tuh! Wajar kali, namanya ke istri sendiri kan?"Uhm..."Aku dengar suara langkah kaki berlari."Buuu!!" Aku spontan menoleh saat tiba-tiba di belakangku sudah ada Husein, dia terengah-en
"Mas, apa-apaan ini. Kamu udah janji gak bakal sentuh aku, kenapa sekarang tiba-tiba nagih hak begini?"Aku ketakutan dan reflek menarik selimut hingga menutupi separuh tubuh. Aku gemetar saat sorot mata elangnya menatapku dengan tajam. Wajahnya serius sampai aku merinding."Aku minta maaf Mas soal tadi, aku janji gak bakal pulang malam-malam lagi. Sana pergi gak, atau aku teriak nih!"Semakin ku suruh pergi, Husein malah semakin mendekat dan sekarang malah menarik selimut yang sedang ku pegang."Aaarrghh!!" Aku berteriak dan meraih bantal lalu ku buat memukuli tubuhnya. "Kurang ajar, dasar laki! Gak bisa pegang janji!" Ku pukul terus tubuhnya sampai tangan Husein terangkat dan berusaha menutupi wajahnya. "Dasar kadal buntung!""Mba kamu kenapa?" Aku membuka mata seketika saat tersadar bahwa runtutan peristiwa yang barusan terjadi adalah hanya sebuah mimpi. Aku melihat Husein di depanku hanya memakai kaos putih dan celana hitam panjang dan sedang berusaha membangunkan aku. "Mba, kam
"Gak cuma fiqih Pak, tapi dia juga harus diajari tajwid yang benar sama Mba Aisyah. Karena membaca Alquran tanpa mempelajari ilmu tajwid yang benar itu haram hukumnya."Duh, gak anak, gak emak hobi ceramah semua. Lagian yang mau baca Alquran siapa sih? Kan mereka, bukan aku. Tak bisa lagi ku sembunyikan wajah kesal ku pada mereka.Husein juga diam aja lagi. Bisa gak sih soal gini belain aku, bilang kek ke mereka kalau aku belum siap belajar kayak begituan."Kok gak dijawab? Kan ditanya sama kami!" sambung ibu mertuaku lagi. Terpaksa, dengan terpaksa aku menjawabnya. Ku buang napas kasar sebelum berkata "Iya!" Sesingkat itu dan sejudes itu jawabanku."Ya sudah kalau begitu, lekas sarapan. Jam delapan kelasnya Husein sudah dimulai."Apa sarapan? Siapa yang mood sarapan kalau udah dikasih ultimatum suruh belajar kek tadi. Coba, bisa gak sih kasih taunya tu pas udah makan. Minimal gak bakal kelaparan kan meski marah-marah.Untuk mengambil centong nasi aja tanganku lemes banget! Dahla
Mataku nge-frezz setelah beberapa detik memandangi tubuh suamiku. Memang kenyataan kan, satu minggu kita nikah, aku sama sekali gak pernah melihat seluk beluk tubuh dia kecuali wajah, tangan, dan telapak kakinya. Dia gak pernah sekalipun memakai celana pendek atau sampai bertelanjang dada. Benar-benar menjaga auratnya meski ke istrinya sendiri. Beda sama aku yang udah tebar keseksian sana sini, bahkan dia juga pernah melihat aku yang cuma pakai tank top doang."M-Mas maaf, gak sengaja!" Lucunya, dia juga membeku saat mata kita tak sengaja bertemu. Dia reflek menjatuhkan tangan aku dan segera menutup bajunya yang terbuka. "Mba maaf!" Kok jadi dia yang minta maaf? Oh, mungkin karena dia menepiskan tanganku dengan kasar ya barusan."Ternyata tubuh Mas atletis juga ya! Kalau jadi bintang iklan keren juga loh, mau gak aku kenalin ke produser yang biasa kerja sama aku?" "Produser apaan Rey? Enggak lah, bukan bidang ku!" katanya sambil mengancingkan kancing bajunya."Eh serius Mas, misal
"Ustadz, ada murid baru ya?" Salah satu murid ricuh dan sok tertarik dengan kehadiranku mulai berbicara. Padahal mah gak harus gitu kan, anggap aja aku taek cicak yang jatuh dari plafon, kenapa harus dihiraukan? Aku malah jadi pusat perhatian sekarang."Benar, tapi bukan murid baru ya! Lebih tepatnya anggota baru yang ingin sama-sama melangkah ke jenjang yang lebih baik. Maka dari itu, jika Mba Rey kesulitan tolong dibantu ya!""Iyaaaa Pak Ustadz!" Eh, aku dengar nada mereka kok berubah jadi lebih lemas? Ketahuan nih cuma suka sama ustadz nya doang, istrinya gak dihargai."Kita lanjutkan di bab terakhir yang kita bahas, yaitu tentang macam-macam pembagian air dalam ilmu fiqih yakni air suci dan menyucikan, air musyammas (air yang terkena langsung atau efek dari sinar matahari), air suci tidak mensucikan (air mustakmal), Air Mutaghayar dan air mutanajjis."Suara dia yang lagi ngajar di depan semakin lama semakin samar aku dengar, justru fokus ku berpindah pada sebuah memori manis yan
"Kenapa diam? Berarti kamu memang tidak memperhatikan pelajaran saya kan?" sambungnya lagi sambil menatap ku dengan serius.Wow, ternyata dia beda sekali ya image nya waktu di kamar dan waktu mengajar seperti ini. Ternyata dia seserius itu kalau sedang menerangkan pelajaran.Apa bagi dia agama bukan main-main ya, sehingga mau itu istrinya, atau mungkin anaknya kelak, dia tidak akan pernah memberikan toleransi bagi yang acuh."Iya maaf Mas, eh Pak. Saya kurang memperhatikan tadi!" Tiada daya, akhirnya aku nyerah dan lebih baik ngaku aja, daripada tergagap-gagap dan makin malu."Kalau begitu, jangan dulu keluar setelah ini. Buat essai, dan tulis semua apa yang ada di bab pembagian air, termasuk contoh hadistnya juga. Kalau sudah selesai baru boleh keluar dan temui saya." Galak amat sih, baru tau ternyata dia bisa dalam mode serem begini. Rasanya pengen buka baju aja di depannya, biar dia ketar ketir lagi kan? Duh, gimana nih, apa yang harus aku tulis? Aku mengambil buku itu dan ku lih