“Apa yang terjadi?!”
Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.
Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.
Dia tidak mengenakan apa pun.
“Tidak mungkin…”
Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.
Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!
Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.
Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu paling sering merundungnya semasa sekolah.
Siapa sangka, gadis itu kini menjadi selingkuhan pria yang akan menikahinya?!
Seakan belum cukup menyedihkan, Lily bahkan mengetahui bahwa Bryan tidak pernah benar-benar mencintainya!
“Kalau dia bukan putri tunggal keluarga Mahesa, mana mau aku menikah dengan wanita membosankan sepertinya?”
Saat kalimat itu terucap dari mulut Bryan, dunia Lily runtuh seketika. Tubuhnya tidak bisa bergerak, dan dia hanya membeku di tempat sampai dua pengkhianat itu menyadari keberadaannya.
“L-Lily?!”
Bryan sempat ingin mengejarnya, tapi Lily langsung berbalik dan meninggalkan apartemen itu.
Dalam kemarahan dan kehancuran, Lily mengemudikan mobilnya tanpa tujuan dan berakhir di sebuah bar.
Lily tidak pernah minum alkohol sebelumnya. Namun, malam itu, dia menenggak minuman keras seperti air. Setiap tegukan terasa seperti membakar tenggorokannya, tetapi tidak ada yang lebih perih dari rasa sakit di hatinya.
Dia tidak ingat berapa banyak yang dia minum.
Yang dia ingat hanyalah sepasang mata tajam yang menatapnya dari kejauhan.
Lalu, seseorang membantunya berdiri. Seorang pria.
Bibirnya tersenyum samar. Saat itu, dia mengira pria itu adalah orang baik yang akan membawanya pulang dengan selamat.
Tetapi setelah memasuki kamar hotel…
Sentuhan panas itu. Bibir yang melumatnya rakus. Lengan kekar yang mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di kasur.
Terlalu jelas.
Terlalu nyata.
Lily menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak. Tidak. Tidak.
Dia tidak ingin mengingat lebih jauh.
Perlahan, dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya langsung menegang. Rasa sakit itu…
Air matanya menggenang.
Dia telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dia tarik kembali.
Dengan buru-buru, Lily memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. Namun, saat masih membungkuk, suara gagang pintu kamar mandi yang berputar membuatnya membatu.
Pintu terbuka.
Lily menoleh, tubuhnya langsung merapat ke dinding, memegangi selimut di dadanya seperti perlindungan terakhir.
Detak jantungnya kacau.
Seorang pria keluar dari kamar mandi.
Tinggi. Dingin. Berbahaya.
Hanya mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, pria itu tampak santai membetulkan jam tangan Richard Mille yang Lily tahu harganya setara dengan satu unit apartemen mewah.
Pria itu menatapnya lurus.
"Sudah bangun?"
Nada suaranya dalam dan tenang, seolah apa yang terjadi semalam bukanlah masalah besar.
Lily menelan ludah, tetapi tenggorokannya terasa kering.
Pria itu tidak mengucapkan apapun lagi. Dengan langkah tenang, dia berjalan menuju cermin, merapikan kerah bajunya seakan ini hanyalah pagi biasa baginya.
Namun, kalimat berikutnya membuat tubuh Lily menegang.
"Apa kamu tidak takut dimaki pelanggan?"
Pelanggan?
Kening Lily berkerut dalam. Apa pria ini baru saja menganggapnya wanita bayaran?!
Matanya membelalak.
Tidak. Ini pasti mimpi buruk.
Tapi saat melihat ekspresi santai pria itu, kenyataan menamparnya lebih keras.
Lily ingin membalas, tetapi bibirnya terlalu kelu. Dia hanya bisa memandangi pria itu—pria yang telah merenggut sesuatu yang paling berharga darinya.
Saat pria itu menoleh dan hendak berbicara, Lily langsung berlari menuju kamar mandi, mengunci pintu.
Punggungnya menempel di dinding, tubuhnya gemetar hebat.
Air mata yang sejak tadi tertahan kini jatuh begitu saja.
Apa yang telah dia lakukan?! Karena tindakan bodohnya pergi ke bar, sekarang Lily harus kehilangan kesuciannya kepada pria yang bahkan tidak peduli padanya!
**
Lily tidak tahu berapa lama dia berdiam diri di kamar mandi, memikirkan betapa malu dirinya jika orang tuanya tahu mengenai apa yang telah terjadi.
Dia hanya berharap ketika keluar, pria itu sudah tidak ada.
Namun, harapannya hancur seketika.
Saat dia membuka pintu, pria itu masih di sana.
Kini telah berpakaian lengkap, duduk di sofa dengan kaki bersilang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi acuh tak acuh.
Lily menggigit bibir. Dia tidak ingin berlama-lama di sini.
Tanpa sepatah kata pun, Lily menyambar tasnya yang tergeletak di lantai, lalu berjalan melewati sang pria begitu saja menuju pintu.
Namun—
"Ambil bayaranmu."
Langkah Lily terhenti.
Hatinya bergetar hebat.
Perlahan, dia menoleh ke belakang.
Pria itu bahkan tidak melihatnya saat berbicara.
Tangannya bergerak santai, menunjuk sebuah tumpukan uang di meja kopi.
"Bayaran?" gumam Lily, tubuhnya membeku di tempat.
Saat itu, Arsen Sebastian Luis pun mengangkat pandangannya dan melihat Lily sekilas. Dia menautkan alis, lalu memutuskan untuk berdiri dan mendekati wanita di hadapannya itu.
Tinggi. Mendominasi. Berbahaya.
Lily bahkan harus mendongak untuk menatap wajah Arsen yang tajam dan tak terbaca.
"Apa kurang?"
Lily ingin menangis. Pria ini benar-benar berpikir bahwa dia…
"Aku tidak tahu berapa yang sudah dibayarkan temanku," lanjut pria itu seraya meraih tangan Lily, memaksanya menerima tumpukan uang itu. “Tapi ambil saja ini. Itu bayaran yang pantas untuk dirimu."
Darah Lily mendidih.
Dadanya naik turun menahan emosi yang meledak.
Tanpa berpikir panjang, Lily mengangkat tangan dan menamparnya keras!
PLAK!
“Jaga sikap Anda, dasar bajingan!”
Tanpa menunggu jawaban dari pria di hadapannya, Lily cepat-cepat pergi dari sana selagi menahan tangisan di ujung mata.
Di sisi lain,
Pria itu, Arsen bergeming. Dia tidak menyangka akan ditampar ketika ingin memberikan bayaran lebih kepada wanita panggilan yang dipesan oleh temannya itu.
Dalam hati, tak elak dia bertanya. Apa wanita panggilan zaman sekarang memang segalak ini?
Selagi menghela napas, Arsen berbalik untuk meraih jasnya agar bisa segera pergi. Namun, di saat itu tatapannya jatuh ke ranjang.
Pria itu pun membeku.
Bercak merah. Darah?
Arsen menatapnya lama, kemudian mengerutkan kening.
Wanita panggilan tadi ... masih perawan?
Dua hari berlalu. Lily tidak menyentuh ponselnya. Sejak malam itu, dia mengurung diri di kamar, menolak bertemu siapa pun, mengabaikan semua panggilan dan pesan, terutama dari Bryan. Pria itu tak henti-hentinya menghubunginya, tapi Lily tidak peduli. Setiap kali ponselnya bergetar, dia hanya menatapnya dingin sebelum kembali memejamkan mata. Dia butuh waktu. Untuk melupakan pengkhianatan Bryan. Untuk menghapus ingatan tentang malam itu. Untuk menghilangkan perasaan kotor dan malu setiap kali melihat bayangannya sendiri di cermin. Namun, Lily tidak bisa terus bersembunyi. Hari ini, keluarga Bryan mengundang mereka ke pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Dan Lily tidak punya pilihan selain untuk pergi dengan wajah pucat. "Apa perlu kita pergi ke dokter?" Suara lembut Risha, ibu Lily, memecah keheningan di dalam mobil. Lily menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Bunda. Tidak perlu cemas.” Dia mengalihkan pandangan ke kaca spion tengah, menatap wa
Semua orang membeku.Monica menatap Lily dengan kaget. "Lily, Sayang, kamu bercanda, ‘kan?" Dia mencoba tetap tenang meski jelas keterkejutan tergambar di wajahnya.“Tidak. Aku serius.” Mata Lily tajam, suaranya tenang, tetapi ada getaran dalam nada bicaranya. “Aku tidak ingin menikah dengan Bryan.”Keheningan menyelimuti ruangan.Tatapan tamu undangan tertuju pada Lily, sebagian besar penuh keterkejutan, sementara sisanya mengandung ketidakpercayaan.Bryan, yang berdiri di sampingnya, menegang. Ekspresinya berubah drastis, panik dan waspada. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum sempat berbicara, Adhitama—sang ayah—sudah lebih dulu menarik tangan Lily dengan erat.“Maaf, Arya. Aku dan keluargaku pamit terlebih dahulu,” ujar Adhitama singkat, suaranya datar tetapi sarat dengan ketegangan.Tanpa menunggu tanggapan, pria itu menyeret putrinya keluar dari aula pesta, melewati tatapan tamu yang berbisik penuh rasa in
Lily menatap pria di hadapannya.Wajahnya tampak familier, seolah dia pernah melihatnya di suatu tempat.Namun, pikirannya masih terlalu kacau untuk mengingat dengan jelas. Jantungnya yang berdetak kencang karena nyaris tertabrak mobil pun belum kembali normal.“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara pria yang khawatir itu menyadarkan Lily dari lamunannya.“Oh… ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat.Dia berusaha berdiri, tetapi begitu sedikit menggerakkan kakinya, rasa nyeri langsung menjalar dari lututnya. Lily mengerutkan dahi, lalu menurunkan pandangan ke arah kaki.“Lutut Anda berdarah,” ucap sang pria, terdengar semakin prihatin.Sepertinya, tarikan sang pria tidak cukup cepat dan mobil tadi sempat menyerempet kaki Lily.Namun, anehnya, rasa sakit dari luka itu tidak terasa. Mungkin … karena luka di hati Lily lebih besar.Dikhianati tunangannya.Diusir oleh ayahnya sendiri.Dikeluarkan dari perusahaan keluarganya.Dibandingkan itu semua, luka di lututnya sama sekali bukan apa-apa.Li
Beberapa karyawan di lobi yang sejak tadi diam-diam mengamati pertengkaran Lily dan Sonia langsung menoleh bersamaan ketika sosok Arsen muncul. Thomas, sang asisten pribadi, ada di belakangnya.Mereka menyapa pemimpin perusahaan mereka dengan penuh hormat, tetapi sebagian besar karyawati tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.CEO mereka, yang jarang terlihat di kantor, kini berdiri di tengah lobi—tinggi, berkarisma, dan memancarkan aura dominasi yang mengintimidasi.Sonia, yang menyadari keberadaan Arsen, segera mengubah ekspresinya. Senyumnya melebar, seolah tidak terjadi apa-apa.“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat keributan, hanya saja saya sedang memperingatkannya karena sepertinya dia tidak tahu aturan saat masuk ke sini,” ucap Sonia dengan nada manis, tetapi matanya melirik Lily dengan penuh penghinaan.Arsen tidak memberikan reaksi.Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi, tatapannya hanya terfokus pada satu orang—Lily.Mata pria itu mengamati Lily dengan dalam, s
Lily terkesiap. Kedua tangannya yang masih digenggam erat Arsen mengepal kuat. Lily kesal melihat Arsen meremehkannya. “Aku tidak peduli. Aku tidak akan menikah dengan pria manapun!”Arsen tersenyum samar, memandang Lily yang menatap penuh rasa kesal.Merasa cengkeraman Arsen di tangannya mengendur, Lily menyentak tangannya lalu meraih gagang pintu dan pergi meninggalkan Arsen.Sedang Arsen hanya tersenyum tipis ketika pintu ruangannya di tutup kencang. Gadis kecilnya itu ternyata kini telah berubah.Di luar ruangan, Lily seketika tampak bingung, dia memandang ke arah lift dengan sedikit gemetar. Lily mematung, lalu menoleh kembali menatap pintu ruangan Arsen.“Bagaimana ini?” gumam Lily sambil meremas sisi baju. Gadis itu tidak memiliki keberanian naik lift seorang diri.Lily masih mematung sampai melihat pria mendekat dan menyapanya. Lily melebarkan mata, Thomas berdiri memberi senyuman manis padanya.“Apa sudah selesai berbincang dengan Pak Arsen?” “Ah … itu. Iya sudah, aku suda
Meskipun agak gemetar, tapi Lily bisa bicara pada Arsen dengan sangat lancar. Gadis itu membeku di tempatnya saat Arsen memandang datar padanya.Lily tidak mengeluarkan suara lagi begitu juga dengan Arsen yang duduk tenang di belakang meja kerja.Hingga keheningan itu berakhir saat suara cemas seseorang terdengar di telinga Lily."Maaf Pak Arsen, saya tidak ... "Lily menoleh pada Thomas yang datang dari arah belakang, asisten Arsen itu tampak ketakutan karena tidak bisa mencegahnya masuk tanpa permisi. Lily melihat wajah Thomas pucat, memberikan ketegasan padanya bahwa posisi Arsen sangat terhormat dan disegani."Tinggalkan kami dan tutup pintunya."Lily mengalihkan pandangan pada Arsen yang berdiri bersamaan dengan Thomas yang melakukan perintah pergi meninggalkan mereka.Keberanian dan rasa percaya diri Lily memudar mendengar suara tegas Arsen. Lily menyadari baru saja memutuskan hal besar dengan berani menerima tawaran pernikahan dari pria yang belum lama dia temui."Baru sepuluh m
Lily melihat Adhitama awalnya kaget mendengar ucapan Arsen, tapi sekejap kemudian papanya itu tersenyum miring.“Menikah? Hari ini juga? Lelucon apa yang sedang kalian pertontonkan padaku?”“Ini bukan lelucon Pak Adhitama, saya benar-benar ingin menikahi Lily,” balas Arsen.Lily menatap lekat wajah Arsen dari samping, dia melihat jelas betapa tegas pria itu saat bicara. Lily tidak mau menyela pembicaraan keduanya dan lebih mencemaskan sang bunda.Lily menoleh ke Risha, tapi hanya sesaat, lalu dia memalingkan wajahnya lagi untuk menghindari kontak mata dengan wanita yang melahirkannya ini.“Lily, apa Bunda bisa bicara berdua denganmu?” Suara Risha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.Lily mengangguk menjawab pemintaan Risha, kemudian berjalan mengikuti sang bunda pergi ke ruang keluarga.Sementara itu, tatapan Adhitama ke Arsen masih sama. Tajam dan penuh tanda tanya.‘Bukankah Arya bilang pria ini anak dari istri ke dua papanya? Dia jelas mendengar saat Lily memutuskan pe
Lily diam menunggu reaksi Arsen atas syarat yang papanya berikan. Dia mengalihkan tatapan dari Adhitama ke Arsen, kemudian memandang iba Risha yang tampak memijat kening."Saya tahu Anda tidak bisa menerima begitu saja pernikahan kami.” Arsen membalas dengan tatapan. Matanya tidak menujukkan keraguan sedikit pun. “Jadi, saya akan menerima syarat Anda untuk membuktikan kesungguhan saya ke Lily.”Tanpa sadar Lily menahan napasnya menunggu respon Adhitama, lantas papanya mengangguk lalu tanpa bicara lagi mengajaknya dan Arsen pergi ke kantor urusan agama seperti apa yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.Saat Lily dan Arsen berjalan keluar mendahului, Risha tiba-tiba mencekal pergelangan tangan Adhitama.Risha memandang punggung putrinya dan Arsen untuk memastikan mereka sudah jauh, lalu mengungkapkan isi hatinya ke sang suami."Mas Tama, kenapa Mas biarkan Lily menikah dengan pria asing? Apa yang sebenarnya Mas Tama pikirkan?" Risha sedikit emosi. Air matanya yang tertahan kini tumpah
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya
Lily Pergi ke rumah orang tuanya. Setibanya di kediaman Adhitama, Lily langsung masuk rumah mencari keberadaan Risha. Dia bahkan terburu-buru menghampiri saaat menemukan Risha duduk di ruang keluarga. “Bunda.” Lily memanggil manja. Risha langsung berdiri saat melihat Lily datang. Dia sangat senang Lily berkunjung ke rumah. Belum juga Risha menyapa, dia terkejut karena Lily tiba-tiba memeluk sambil menangis. “Sayang, ada apa?” tanya Risha terkejut sambil mengusap punggung Lily. “Kenapa datang-datang malah nangis begini?” Lily tak menjawab, dia masih menangis sambil mempererat pelukannya pada Risha. “Ada apa, hmmm? Coba cerita ke bunda,” kata Risha lagi. Belum juga Lily menjawab, Risha sudah lebih dulu mendengar suara perut Lily yang berbunyi dengan keras. “Apa kamu belum makan?” tanya Risha. Lily berhenti menangis lalu melepas pelukan. Dia menatap sang bunda sambil mengangguk, tetapi di detik berikutnya Lily kembali menangis. “Ayo, makan dulu. Nangisnya dilanjut lag
Lily tertegun begitu juga semua orang. Ruangan itu seketika hening. Sonia yang memperhatikan Lily sejak tadi terlihat mengerutkan kening. 'Kenapa Pak Arsen menyudutkan Lily? Apa mereka sedang bersandiwara? Jelas Bryan bilang mereka mungkin punya hubungan spesial' Sonia menggeleng pelan setelah bergelut dengan pikirannya sendiri mendengar Lily bicara. "Menurut saya memanfaatkan bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan cara promosi ini, karena ini memang berdasarkan fakta yang sedang terjadi di tengah masyarakat kita. Mereka cenderung mengikuti apa yang selebgram populer yang mereka ikuti lakukan," jawab Lily. Semua orang terkejut karena Lily berani menjawab Arsen dengan sedikit menaikkan nada bicara. Sonia bahkan heran dari mana Lily memiliki keberanian seperti ini. Kecuali memang memiliki hubungan dengan Arsen. Sonia masih mengamati, ingin melihat sejauh mana dugaan Bryan benar. "Hampir semua perusahaan menggunakan selebriti media sosial sebagai BA dan laba peru