Beberapa karyawan di lobi yang sejak tadi diam-diam mengamati pertengkaran Lily dan Sonia langsung menoleh bersamaan ketika sosok Arsen muncul. Thomas, sang asisten pribadi, ada di belakangnya.
Mereka menyapa pemimpin perusahaan mereka dengan penuh hormat, tetapi sebagian besar karyawati tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.
CEO mereka, yang jarang terlihat di kantor, kini berdiri di tengah lobi—tinggi, berkarisma, dan memancarkan aura dominasi yang mengintimidasi.
Sonia, yang menyadari keberadaan Arsen, segera mengubah ekspresinya. Senyumnya melebar, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat keributan, hanya saja saya sedang memperingatkannya karena sepertinya dia tidak tahu aturan saat masuk ke sini,” ucap Sonia dengan nada manis, tetapi matanya melirik Lily dengan penuh penghinaan.
Arsen tidak memberikan reaksi.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi, tatapannya hanya terfokus pada satu orang—Lily.
Mata pria itu mengamati Lily dengan dalam, seakan membaca pikirannya.
Sadar diperhatikan seperti itu, Lily merasa salah tingkah.
Mengapa pria ini menatapnya dengan cara seperti itu?
Senyum tipis terangkat di bibir Arsen. "Apa yang membuatmu kemari?"
Nada suaranya terdengar lebih lembut dibandingkan saat berbicara dengan orang lain.
Sonia terperangah.
Seumur-umur bekerja di perusahaan ini, dia hampir tidak pernah bertemu Arsen secara langsung, kecuali dalam urusan bisnis. Namun, kini pria itu justru menatap Lily dengan sorot mata yang membuat semua wanita di sana iri.
Bagaimana bisa Lily mengenal Arsen?
Sonia tidak bisa menerima ini.
Sementara itu, Lily sendiri tertegun.
Namun, sebelum dia bisa merespons, tubuhnya terkesiap saat Arsen merengkuh bahunya dengan santai dan membawanya pergi dari sana.
“Bereskan kekacauan di sini,” perintah Arsen pada Thomas sebelum melangkah menuju lift.
Lily tersentak.
Saat pria bernama Thomas menunduk hormat dan menjawab perintah itu, Lily baru menyadari sesuatu.
Thomas… pria itu…
Bukankah dia pria yang menolongnya tadi pagi, saat hampir tertabrak mobil!?
Lily meliriknya dengan tatapan penuh keterkejutan, tetapi Thomas tetap bersikap professional dan hanya tersenyum tipis.
Lily ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Arsen sudah membawanya masuk ke dalam lift.
**
Di ruang CEO…
Lily masih diam, mencoba mencerna situasi yang terjadi.
Mengapa Arsen membawanya ke sini?
Pria itu berjalan menuju meja kerjanya, lalu menatap Lily dengan santai.
“Duduk.”
Lily tanpa sadar menuruti perintah itu.
Sebenarnya, dia ingin bertanya mengapa pria ini tiba-tiba menariknya dari lobi, tetapi sesuatu dalam ekspresi Arsen membuatnya memilih diam.
Sebuah firasat buruk muncul dalam benaknya.
Apakah pria ini ingin membahas malam itu?
Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Lily menunduk, tangannya mengepal di atas pahanya.
Jika Arsen membongkar rahasia itu… keluarganya pasti akan hancur.
Namun, suara pria itu membuyarkan pikirannya.
"Bagaimana dengan lututmu? Masih sakit?"
Lily tersentak.
Dia mendongak, menatap Arsen dengan bingung.
Bagaimana pria ini tahu kalau lututnya terluka?
Seolah membaca pikirannya, Arsen menjawab santai, "Thomas memberitahuku."
Lily mengerjapkan mata.
Thomas adalah asisten pribadi Arsen… tentu saja pria itu melaporkan semua hal kepadanya.
Namun, kenapa?
Mengapa mereka begitu memperhatikannya?
Lily menarik napas, berusaha tenang.
“Lututku baik-baik saja.”
Setelah beberapa detik, dia melanjutkan, “Terima kasih karena sudah membantuku keluar dari situasi tadi.”
Arsen mengangguk.
Namun, detik berikutnya, pria itu menajamkan tatapan.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kemari?"
Nada suaranya terdengar lebih dalam.
Mata pria itu memindai berkas yang dibawa Lily.
Lily ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab, “Aku mendapat informasi bahwa perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan, jadi aku berniat melamar.”
Arsen menautkan alisnya.
Melamar pekerjaan?
Putri dari keluarga Mahesa yang ternama… datang ke perusahaannya untuk mencari pekerjaan?
Lily menambahkan cepat, “Tapi aku tidak menyangka Anda pemiliknya….”
Alis kanan Arsen meninggi. “Kalau aku pemiliknya, apa itu masalah bagimu?”
Lily mendelik ke arah pria itu.
Masalah?
Pria ini serius baru menanyakan hal itu!?
Pertikaiannya dengan Bryan, hubungan buruknya dengan sang ayah, dan juga… hilangnya keperawanannya…
Semua itu jelas ada hubungannya dengan Arsen!
Tapi, pria ini bertanya seakan tidak tahu apa-apa!?
Lily menggeleng cepat.
Tidak.
Arsen memang terlibat, tetapi ini bukan sepenuhnya salahnya.
“Aku tidak masalah,” katanya akhirnya. “Tapi seperti yang Anda lihat, saya memiliki hubungan buruk dengan salah satu karyawan Anda. Jadi, saya akan mencari perusahaan lain. Permisi.”
Lily membungkuk hormat, lalu berbalik untuk pergi.
Namun—
"Menikahlah denganku."
Langkah Lily terhenti.
Perlahan, dia menoleh.
“Apa?”
Arsen menyandarkan tubuhnya ke sofa, menyilangkan tangan di depan dada.
"Menikahlah denganku, dan bukan hanya pekerjaan, aku bisa memberikan apa pun untukmu.
Termasuk pembalasan dendam kepada mantan tunanganmu yang berkhianat itu.”
Lily membeku.
Arsen … sudah tahu semuanya?
“Jika kamu keberatan, kita bisa menikah kontrak selama tiga tahun. Setelah itu, kamu bebas bercerai dariku.”
Pernikahan kontrak?
Tangan Lily mengepal.
“Setelah tahu mengenai bagaimana Bryan menghinaku dengan pengkhianatannya, juga bagaimana aku menolak pernikahan dengan pria yang tidak setia, kamu malah menawarkan pernikahan kontrak padaku? Apa kamu sengaja ingin menghinaku?!”
Namun, Arsen tetap tenang.
Dengan gerakan perlahan, dia bangkit dari duduknya.
Lily bergerak mundur.
Namun, punggungnya kini menempel di pintu.
Arsen berdiri tepat di hadapannya—lebih dekat dari yang Lily inginkan.
“Kamu yakin tidak ingin menikah?”
Suara pria itu lebih pelan, lebih rendah.
“Bukankah aku pria pertama yang tidur denganmu?”
Jantung Lily mencelos.
Tangan pria itu menangkap pergelangan tangannya, mengangkatnya ke atas kepalanya.
“Lepaskan aku! Lepaskan atau aku akan—"
“Aku tidak mengenakan pengaman di malam itu.”
Lily membeku. Dia langsung membuka mata dan menatap Arsen lurus.
Pria ini bilang apa?
Reaksi Lily membuat Arsen tersenyum, dan dia pun melanjutkan, “Oleh karena itu, menikahlah denganku, Lily Mahesa. Hanya dengan itu aku bisa membantumu menjaga reputasimu… dan membalaskan dendammu."
Arsen menyetarakan pandangannya dan kembali bertanya, “Bagaimana?”
Lily terkesiap. Kedua tangannya yang masih digenggam erat Arsen mengepal kuat. Lily kesal melihat Arsen meremehkannya. “Aku tidak peduli. Aku tidak akan menikah dengan pria manapun!”Arsen tersenyum samar, memandang Lily yang menatap penuh rasa kesal.Merasa cengkeraman Arsen di tangannya mengendur, Lily menyentak tangannya lalu meraih gagang pintu dan pergi meninggalkan Arsen.Sedang Arsen hanya tersenyum tipis ketika pintu ruangannya di tutup kencang. Gadis kecilnya itu ternyata kini telah berubah.Di luar ruangan, Lily seketika tampak bingung, dia memandang ke arah lift dengan sedikit gemetar. Lily mematung, lalu menoleh kembali menatap pintu ruangan Arsen.“Bagaimana ini?” gumam Lily sambil meremas sisi baju. Gadis itu tidak memiliki keberanian naik lift seorang diri.Lily masih mematung sampai melihat pria mendekat dan menyapanya. Lily melebarkan mata, Thomas berdiri memberi senyuman manis padanya.“Apa sudah selesai berbincang dengan Pak Arsen?” “Ah … itu. Iya sudah, aku suda
Meskipun agak gemetar, tapi Lily bisa bicara pada Arsen dengan sangat lancar. Gadis itu membeku di tempatnya saat Arsen memandang datar padanya.Lily tidak mengeluarkan suara lagi begitu juga dengan Arsen yang duduk tenang di belakang meja kerja.Hingga keheningan itu berakhir saat suara cemas seseorang terdengar di telinga Lily."Maaf Pak Arsen, saya tidak ... "Lily menoleh pada Thomas yang datang dari arah belakang, asisten Arsen itu tampak ketakutan karena tidak bisa mencegahnya masuk tanpa permisi. Lily melihat wajah Thomas pucat, memberikan ketegasan padanya bahwa posisi Arsen sangat terhormat dan disegani."Tinggalkan kami dan tutup pintunya."Lily mengalihkan pandangan pada Arsen yang berdiri bersamaan dengan Thomas yang melakukan perintah pergi meninggalkan mereka.Keberanian dan rasa percaya diri Lily memudar mendengar suara tegas Arsen. Lily menyadari baru saja memutuskan hal besar dengan berani menerima tawaran pernikahan dari pria yang belum lama dia temui."Baru sepuluh m
Lily melihat Adhitama awalnya kaget mendengar ucapan Arsen, tapi sekejap kemudian papanya itu tersenyum miring.“Menikah? Hari ini juga? Lelucon apa yang sedang kalian pertontonkan padaku?”“Ini bukan lelucon Pak Adhitama, saya benar-benar ingin menikahi Lily,” balas Arsen.Lily menatap lekat wajah Arsen dari samping, dia melihat jelas betapa tegas pria itu saat bicara. Lily tidak mau menyela pembicaraan keduanya dan lebih mencemaskan sang bunda.Lily menoleh ke Risha, tapi hanya sesaat, lalu dia memalingkan wajahnya lagi untuk menghindari kontak mata dengan wanita yang melahirkannya ini.“Lily, apa Bunda bisa bicara berdua denganmu?” Suara Risha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.Lily mengangguk menjawab pemintaan Risha, kemudian berjalan mengikuti sang bunda pergi ke ruang keluarga.Sementara itu, tatapan Adhitama ke Arsen masih sama. Tajam dan penuh tanda tanya.‘Bukankah Arya bilang pria ini anak dari istri ke dua papanya? Dia jelas mendengar saat Lily memutuskan pe
Lily diam menunggu reaksi Arsen atas syarat yang papanya berikan. Dia mengalihkan tatapan dari Adhitama ke Arsen, kemudian memandang iba Risha yang tampak memijat kening."Saya tahu Anda tidak bisa menerima begitu saja pernikahan kami.” Arsen membalas dengan tatapan. Matanya tidak menujukkan keraguan sedikit pun. “Jadi, saya akan menerima syarat Anda untuk membuktikan kesungguhan saya ke Lily.”Tanpa sadar Lily menahan napasnya menunggu respon Adhitama, lantas papanya mengangguk lalu tanpa bicara lagi mengajaknya dan Arsen pergi ke kantor urusan agama seperti apa yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.Saat Lily dan Arsen berjalan keluar mendahului, Risha tiba-tiba mencekal pergelangan tangan Adhitama.Risha memandang punggung putrinya dan Arsen untuk memastikan mereka sudah jauh, lalu mengungkapkan isi hatinya ke sang suami."Mas Tama, kenapa Mas biarkan Lily menikah dengan pria asing? Apa yang sebenarnya Mas Tama pikirkan?" Risha sedikit emosi. Air matanya yang tertahan kini tumpah
Lily ingin menyangkal, dia hampir menjawab ucapan Arsen, tetapi para pelayan lebih dulu datang hingga dia mau tak mau kembali mengikuti langkah Arsen.Saat memasuki kamar, Lily terkesiap, matanya memindai kamar milik Arsen yang begitu besar, tetapi tidak banyak furniture di dalamnya.Kini, Lily bingung hendak melakukan apa terlebih setelah pelayan pergi meninggalkan dirinya dan Arsen."Aku akan meminta Bibi Jess membelikan satu lemari pakaian untukmu, meski kita tidur satu kamar, tapi kamu tidak boleh masuk ke kamar gantiku," ucap Arsen.Lily hanya diam mendengarkan, tatapannya tertuju pada Arsen yang berjalan menuju kamar ganti sambil melepas jas kemudian kancing kemeja."Apa jangan-jangan dia menyembunyikan senjata ilegal di sana?” Namun, Lily langsung menutup mulutnya ketika satu pikiran terlintas di otaknya. “Atau mungkin mayat?” Lily menggelengkan kepala keras, menghilangkan pikiran buruk di kepala.Lebih baik dirinya sadar dan membereskan barang bawaannya. Wanita itu menyeret sa
Lily heran, dia hanya kaget mendengar Arsen bertanya dengan nada tinggi seperti itu.“Di sini dingin, jadi aku memakai baju menyesuaikan suhu,” jawab Lily.Lily tidak berani memandang Arsen, matanya menghindari tatapan pria itu yang sedang memindai penampilannya. Lily melirik Arsen yang tampak membuang napas kasar. Pria itu berjalan ke dekat ranjang lalu menyambar remote pendingin ruangan.“Lepas jaketmu atau kamu bisa mati kepanasan,” ucap Arsen dingin.Lily bergeming, dia masih berdiri di tempatnya lalu memainkan ujung lengan dan bulu-bulu di kerah jaket model parka yang biasa dia pakai saat liburan ke luar negeri.Lily terlihat sangat imut dan menggemaskan.“Sebenarnya aku takut tidur satu kamar denganmu.” Lily menunduk, menekan ujung jari kakinya ke lantai dan bicara tanpa menatap Arsen yang masih berada di dekat ranjang.“Malam itu mungkin kita sudah ….” Lily urung menyampaikan isi kepala, bibir mungilnya menghembuskan udara diikuti dengan pundak yang turun. “Aku bukan wanita sep
Ternyata sepatu bagus juga bisa membawa kita ke neraka. Lily ingin kabur saat tahu bahwa Sonia merupakan direktur pemasaran dari ARS Company. Sialnya sekarang dia harus menjadi bawahan wanita itu. Lily mencoba mengumpulkan kekuatan, terlihat lemah di depan Sonia sama saja menggali kuburan sendiri. “Lihat! Tanpa melewati proses seleksi, dia bisa diterima bekerja di sini.” Sonia berucap lantas menoleh pada staf lain yang ada di ruangan sebelum kembali menatap Lily. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Pak Arsen?” Lily tak merespon pertanyaan Sonia, dia hanya memandangi tingkah selingkuhan Bryan itu yang saat ini sedang memandang remeh padanya. ‘Apa dia mau melakukan hal yang sama seperti delapan tahun yang lalu? Merundungku?’ Lily memandang staf lain yang berdiri diam seperti menikmati pertunjukan antara dirinya dan Sonia. “Karena kamu masuk ke sini tanpa melewati wawancara denganku, maka aku tidak bisa mengakui kemampuanmu.” Lily muak melihat Sonia terang-terangan mencibir dan mer
Siang itu di sebuah restoran bintang lima, Arsen duduk diam memandang piring berisi makanan yang baru saja pelayan sajikan. Satu jam yang lalu, ibu mertuanya meminta bertemu dengannya. Arsen bersedia meluangkan waktu karena Risha berkata ingin membahas soal Lily. "Kenapa Anda dan Pak Adhitama tidak menyewa pengawal lagi untuk Lily?" tanya Arsen lalu memandang Risha. Kening Arsen berkerut samar setelah sadar dengan yang telah dikatakannya pada Risha ketika melihat ekspresi aneh di wajah wanita itu. Arsen sedikit menyesal, seharusnya ia tidak menggunakan kata ‘lagi’ tadi atau Risha akan … "Lily pasti sudah bercerita," ucap Risha menarik kesadaran Arsen. "Dia juga pasti memberitahumu alasannya kenapa tidak mau memakai pengawal lagi." "Apa karena dia dirundung dan dikatai anak manja oleh teman-temannya sewaktu sekolah?" tanya Arsen. Arsen tertegun menangkap ekspresi wajah Risha. Kemudian ia menggeleng samar, kembali menyadari kesalahannya berbicara. "Lily pasti akan marah kalau aku
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya
Lily Pergi ke rumah orang tuanya. Setibanya di kediaman Adhitama, Lily langsung masuk rumah mencari keberadaan Risha. Dia bahkan terburu-buru menghampiri saaat menemukan Risha duduk di ruang keluarga. “Bunda.” Lily memanggil manja. Risha langsung berdiri saat melihat Lily datang. Dia sangat senang Lily berkunjung ke rumah. Belum juga Risha menyapa, dia terkejut karena Lily tiba-tiba memeluk sambil menangis. “Sayang, ada apa?” tanya Risha terkejut sambil mengusap punggung Lily. “Kenapa datang-datang malah nangis begini?” Lily tak menjawab, dia masih menangis sambil mempererat pelukannya pada Risha. “Ada apa, hmmm? Coba cerita ke bunda,” kata Risha lagi. Belum juga Lily menjawab, Risha sudah lebih dulu mendengar suara perut Lily yang berbunyi dengan keras. “Apa kamu belum makan?” tanya Risha. Lily berhenti menangis lalu melepas pelukan. Dia menatap sang bunda sambil mengangguk, tetapi di detik berikutnya Lily kembali menangis. “Ayo, makan dulu. Nangisnya dilanjut lag
Lily tertegun begitu juga semua orang. Ruangan itu seketika hening. Sonia yang memperhatikan Lily sejak tadi terlihat mengerutkan kening. 'Kenapa Pak Arsen menyudutkan Lily? Apa mereka sedang bersandiwara? Jelas Bryan bilang mereka mungkin punya hubungan spesial' Sonia menggeleng pelan setelah bergelut dengan pikirannya sendiri mendengar Lily bicara. "Menurut saya memanfaatkan bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan cara promosi ini, karena ini memang berdasarkan fakta yang sedang terjadi di tengah masyarakat kita. Mereka cenderung mengikuti apa yang selebgram populer yang mereka ikuti lakukan," jawab Lily. Semua orang terkejut karena Lily berani menjawab Arsen dengan sedikit menaikkan nada bicara. Sonia bahkan heran dari mana Lily memiliki keberanian seperti ini. Kecuali memang memiliki hubungan dengan Arsen. Sonia masih mengamati, ingin melihat sejauh mana dugaan Bryan benar. "Hampir semua perusahaan menggunakan selebriti media sosial sebagai BA dan laba peru