Lily memilih pergi ke rumah pamannya. Tentu saja untuk saat ini, hanya sang paman yang mungkin bisa sedikit memahami kondisinya.
“Duduklah, kamu mau minum teh atau kopi?” tanya Haris sambil mengajak Lily duduk.
Lily memasang wajah cemberut. Dia ingin mengadu atas semua yang terjadi pada dirinya ke pamannya itu. Dia bahkan menunggu sampai sore sampai Haris pulang.
“Ada apa? Kenapa mukamu masam seperti itu?” tanya Haris keheranan.
“Aku sedang bertengkar dengan Papa,” jawab Lily lalu memeluk bantal sofa.
Haris terkejut, tapi dia tampak tenang.
“Tidak biasanya. Ada masalah apa sampai kalian bertengkar?” tanya Haris.
Lily menceritakan soal pertengkarannya dengan Adhitama, juga pemicunya. Namun, Lily tentunya tidak menceritakan semuanya apalagi malam panas itu, kecuali jika dia ingin mati cepat.
Haris bergumam pelan. Dia mengangguk-angguk memahami apa yang Lily ceritakan.
“Ya, mungkin papamu hanya cemas. Kamu yang lebih muda, seharusnya bisa sedikit mengalah dan mintalah maaf ke papamu,” ujar Haris menasihati.
Lily diam. Dia tahu jika seharusnya tidak boleh seperti ini, tetapi Lily hanya ingin kedua orang tuanya mengerti apa yang dia rasakan dan bagaimana perasaannya saat ini.
“Jangan terlalu keras kepala.” Haris kembali membujuk.
Lily menatap merajuk pada sang paman, lalu menghembuskan napas pelan.
“Aku baru saja dipecat Papa, aku yakin Papa pasti akan memblokir semua fasilitas yang diberikannya padaku. Aku bahkan memilih meninggalkan mobilku di gedung Mahesa lalu naik taksi ke sini,” ucap Lily.
“Itu sudah pasti,” Haris mengangguk yakin. “karena kamu melakukan kesalahan yang cukup besar.”
Lily mengangguk lemah, sadar akan kesalahannya. Akan tetapi, detik berikutnya Lily mengangkat kepala dan menoleh menatap penuh harap pada Haris. “Paman, apa Paman punya kenalan yang perusahaannya sedang butuh karyawan? Aku ingin mencari pekerjaan.”
Haris menghela napas pelan.
“Kamu tidak mau mencoba minta maaf ke papamu dulu? Siapa tahu dengan begitu kamu bisa tetap bekerja di Mahesa?” tanya Haris.
Lily menggeleng. “Aku mau membuktikan ke Papa kalau aku bisa mandiri tanpa bantuannya,” jawab Lily yakin dan penuh tekad.
Melihat keponakannya seperti ini, Haris jadi tak punya pilihan selain membantu, lagi pula dia tidak tega, tidak bisa membiarkan Lily tersesat atau salah jalan. Akhirnya Haris memberikan informasi lowongan pekerjaan di perusahaan yang diketahuinya.
“Cobalah melamar ke sini, aku ingat kalau di sana masih membutuhkan staff,” ujar Haris lalu menyebutkan nama perusahaan yang dimaksud.
Lily mengangguk. Dia berterima kasih karena Haris mau membantunya.
Setelah cukup lama di rumah Haris. Lily pulang lalu mencoba mencari informasi soal perusahaan yang disebutkan sang paman.
Saat Lily membaca informasi lowongan pekerjaan di perusahaan itu, dia baru tahu kalau besok adalah hari terakhir pendaftaran.
Haruskah dia datang langsung saja? Selama ini Lily sama sekali tidak pernah melamar pekerjaan, tetapi Lily tidak boleh menyerah hanya karena dia tidak pernah melamar. Justru ini suatu hal yang bagus.
Lily akan buktikan pada papanya kalau dia bisa mandiri.
**
Keesokan harinya.
Dengan penuh keyakinan dan tekad yang kuat, Lily sudah siap melamar pekerjaan. Dia membawa segala berkas penting yang dibutuhkan dari perusahaan ini untuk melamar pekerjaan.
Meskipun keyakinan dan tekadnya kuat, tetapi Lily tetap bingung juga. Lily sama sekali tidak punya pengalaman melamar pekerjaan, jadi dia hanya berdiri di tengah lobby perusahaan yang akan dilamarnya.
“Lihat, siapa yang terdampar di sini?”
Lily terkejut. Dia menoleh dan melihat Sonia yang melipat kedua tangan di depan dada sambil menatapnya sinis.
Lily memasang ekspresi datar pada wanita itu. Mengapa dirinya harus bertemu wanita ini di perusahaan ini?
“Apa ini, huh? Kamu mau melamar pekerjaan di sini?” tanya Sonia saat melihat berkas yang dipeluk Lily.
“Bukan urusanmu,” balas Lily ketus.
Kedua alis Lily menyatu samar saat melihat pandangan Sonia terhadapnya. Lily geram, pandangan wanita itu merendahkan dirinya! Namun, Lily tetap harus waspada, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan wanita licik ini padanya.
“Kusarankan, lebih baik kamu mundur sebelum menyesal karena melamar bekerja di sini,” ucap Sonia dengan nada ancaman. “Asal kamu tahu saja, posisiku di sini cukup tinggi. Jadi bisa kupastikan kamu akan menderita jika bergabung di perusahaan ini,” Sonia menatap remeh, telunjuknya menusuk-nusuk bahu Lily.
Lily menepis telunjuk Sonia. “Singkirkan tangan kotormu dari tubuhku,” desis Lily dengan geram tertahan.
Sonia tidak senang Lily bisa melawannya, wanita itu bahkan menyebut dirinya kotor. “Siapa yang kamu maksud kotor, Lily? Kamu tidak tahu siapa aku? Sudah kubilang–”
“Apa yang terjadi di sini?” Sebuah suara dingin dan berat terdengar di antara mereka.
Lily terkesiap dan bola matanya membesar ketika mengalihkan pandangan ke sumber suara. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak cukupkah dia terkejut melihat Sonia bekerja di perusahaan ini?
Beberapa karyawan di lobby yang sejak tadi diam-diam melihat pertengkaran Lily dan Sonia menoleh bersamaan melihat Arsen datang bersama dengan asisten pribadi yang mengikutinya di belakang.
Mereka menyapa penuh hormat pada pemimpin perusahaan mereka. Mata beberapa karyawati di sana bersinar memandang sosok Arsen terang-terangan. Mereka tidak pernah melihat CEO mereka yang tampan dan memesona di perusahaan, ini adalah suatu keberuntungan.
“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat keributan, hanya saja saya sedang memperingatkannya karena sepertinya dia tidak tahu aturan saat masuk ke sini,” jawab Sonia sambil melirik remeh pada Lily, lalu menatap penuh senyum pada Arsen.
Sonia berusaha memojokkan Lily.
Arsen tidak memedulikan ucapan Sonia. Sejak dirinya menginjakan kaki di lobby, pandangannya sudah jatuh pada Lily.
Sedang Lily jadi salah tingkah ditatap Arsen begitu dalam, lalu detik berikutnya senyum tipis terangkat di bibir pria itu. “Apa yang membuatmu kemari?” suara Arsen dan tatapan matanya pada Lily berubah lembut.
Sonia terperangah. Seumur-umur dirinya bekerja di perusahaan ini, Sonia hampir tidak pernah bertemu dengan Arsen selain urusan pekerjaan. Namun, kini Arsen menatap Lily dengan pandangan yang membuat semua wanita di sana, termasuk dirinya, iri?!
Bagaimana bisa Lily mengenal Arsen? Sonia tidak bisa terima.
Lily tertegun. Akan tetapi, belum sempat Lily bereaksi, dirinya kembali terkesiap ketika tangan kekar pria itu merengkuh bahunya dan mengajak Lily pergi dari sana.
Sebelum melangkah Arsen menoleh sedikit pada Thomas dan berkata, “Bereskan kekacauan di sini.” Lalu tanpa peduli dengan tatapan para karyawannya Arsen menuntun Lily dengan tetap merengkuh pundak Lily menuju lift.
Lily tidak memberontak. Untuk saat ini, posisinya terjepit. Dia hanya menunduk dan pasrah saat Arsen membawanya memasuki lift.
Di dalam lift, tangan Lily gemetaran, tapi sekarang Lily bisa merasa tenang karena ada Arsen di sampingnya. Kemudian mereka naik ke lantai atas, lalu diajak masuk ke ruangan pria itu.
Lily masih diam saat mereka sampai di sana, mencerna situasi yang sedang terjadi saat ini.
“Bagaimana dengan lututmu, apa masih sakit?”
Lily kembali tertegun. Dia menurunkan pandangan ke lututnya, lalu menatap pada Arsen. Dari mana pria ini tahu kalau lututnya terluka?
“Lututku baik-baik saja,” balas Lily datar, kerutan samar ada di keningnya. “Terima kasih karena sudah membantuku keluar dari situasi tadi. Sekarang aku permisi.”
Lily membalikkan badan. Dia mencoba mengabaikan Arsen dengan segera pergi dari ruangan itu.
Namun, saat Lily baru saja akan melangkah, tangannya ditahan oleh Arsen, membuat tubuhnya berputar kembali menghadap Arsen.
“Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Arsen lagi seraya melepas tangan Lily dan memindai penampilan juga berkas yang dibawa wanita itu.
Untuk apa putri dari keluarga Mahesa datang ke perusahaannya … melamar pekerjaan?
“Aku mendapat info kalau perusahaan ini membuka lowongan pekerjaan, jadi aku berniat melamar. Tapi ….” Lily menjeda ucapannya.
Lily tidak tahu kalau perusahaan itu milik Arsen. Kembali melihat pria itu membuat Lily tiba-tiba teringat dengan malam panas yang tak sengaja mereka habiskan bersama. Bahkan bulu halus di tubuh Lily mendadak meremang dan secepat kilat dia menggeleng untuk menepis ingatan itu.
Belum lagi, Lily sudah menampar Arsen karena pria itu mengira dia adalah wanita panggilan, tetapi yang membuatnya lebih syok adalah kenyataan bahwa pria yang tidur dengannya merupakan paman dari mantan tunangannya!
“Tapi apa?” tanya Arsen.
“Tidak ada,” jawab Lily.
Lily bingung harus bagaimana. Dia tidak mau menambah masalah dan pikirannya sedang tidak jernih, jadi lebih baik Lily pergi dan mengabaikan Arsen begitu saja.
Namun, langkahnya kembali terhenti ketika pria itu dengan tenang berkata, “Aku ingin menawarkan kesepakatan padamu.”
Lily masih berdiri dengan satu tangan yang urung memutar gagang pintu. Kesepakatan apa maksud pria ini?“Pernikahan,” kata Arsen lagi seolah bisa membaca pikiran Lily.Mata Lily membola. Lily langsung membalikkan tubuhnya kembali menghadap Arsen. “Pernikahan.” Lily menunjuk dirinya dan Arsen bergantian. “Kamu dan aku?”Arsen menyandarkan tubuhnya pada puncak sofa di ruangannya sambil bersedekap. “Jika kamu keberatan, kita bisa menikah kontrak selama tiga tahun, setelah itu kamu bisa bercerai dariku.”“Pernikahan kontrak? Kenapa kamu tiba-tiba menawarkan pernikahan?” tanya Lily. Dahinya sampai berkerut halus, bingung.Lily melihat Arsen yang tak langsung menjawab, maka itu dia kembali berkata, “Apa kamu pikir aku akan menerimanya? Asal kamu tahu saja, setelah memutuskan pertunangan dengan Bryan, aku tidak ingin menikah seumur hidupku! Tapi, sekarang kamu menawarkan pernikahan, secara kontrak pula? Itu sangat konyol!”Pandangan Arsen datar. Setelah mendengar semua ucapan Lily, Arsen mem
Meskipun agak gemetar, tapi Lily bisa bicara pada Arsen dengan sangat lancar. Gadis itu membeku di tempatnya saat Arsen memandang datar padanya. Lily tidak mengeluarkan suara lagi begitu juga dengan Arsen yang duduk tenang di belakang meja kerja. Hingga keheningan itu berakhir saat suara cemas seseorang terdengar di telinga Lily. "Maaf Pak Arsen, saya tidak ... " Lily menoleh pada Thomas yang datang dari arah belakang, asisten Arsen itu tampak ketakutan karena tidak bisa mencegahnya masuk tanpa permisi. Lily melihat wajah Thomas pucat, memberikan ketegasan padanya bahwa posisi Arsen sangat terhormat dan disegani. "Tinggalkan kami dan tutup pintunya." Lily mengalihkan pandangan pada Arsen yang berdiri bersamaan dengan Thomas yang melakukan perintah pergi meninggalkan mereka. Keberanian dan rasa percaya diri Lily memudar mendengar suara tegas Arsen. Lily menyadari baru saja memutuskan hal besar dengan berani menerima tawaran pernikahan dari pria yang belum lama dia temui. "Baru
Lily terkejut bahkan sampai tak bisa berkata-kata karena ucapan Arsen.“Sekarang? Maksudmu hari ini?”Lily yang tak pernah mengurus apapun menyangkut administrasi menjadi bingung. Dia ingin membantah Arsen, tapi pria itu lebih dulu memutar tumit berjalan menuju meja kerja. Lily melihat Arsen menekan tombol telepon lalu mendengar pria itu memberi perintah.“Thom, ke ruanganku sekarang!”Lily merasakan perutnya semakin mulas, dia bahkan tak bisa melakukan apa-apa saat Arsen memintanya memberikan berkas miliknya ke Thomas yang sudah masuk ruangan.“Apa yang harus saya lakukan dengan ini Pak?” tanya Thomas setelah menerima dokumen dari Lily.“Temui Jerry! Bilang padanya aku harus menikah hari ini,” ucap Arsen.“Apa Pak?”Lily berjengket karena teriakan Thomas, asisten Arsen itu menatap heran padanya kemudian Arsen.Lily melihat mata Arsen menyipit seolah menunjukkan ketidaksenangan pada sikap Thomas barusan.“Tapi Pak, mana bisa menikah tiba-tiba, setidaknya dokumen harus lengkap, selain
Lily melihat Adhitama awalnya kaget mendengar ucapan Arsen, tapi sekejap kemudian papanya itu tersenyum miring.“Menikah? Hari ini juga? Lelucon apa yang sedang kalian pertontonkan padaku?”“Ini bukan lelucon Pak Adhitama, saya benar-benar ingin menikahi Lily,” balas Arsen.Lily menatap lekat wajah Arsen dari samping, dia melihat jelas betapa tegas pria itu saat bicara. Lily tidak mau menyela pembicaraan keduanya dan lebih mencemaskan sang bunda.Lily menoleh ke Risha, tapi hanya sesaat, lalu dia memalingkan wajahnya lagi untuk menghindari kontak mata dengan wanita yang melahirkannya ini.“Lily, apa Bunda bisa bicara berdua denganmu?” Suara Risha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.Lily mengangguk menjawab pemintaan Risha, kemudian berjalan mengikuti sang bunda pergi ke ruang keluarga.Sementara itu, tatapan Adhitama ke Arsen masih sama. Tajam dan penuh tanda tanya.‘Bukankah Arya bilang pria ini anak dari istri ke dua papanya? Dia jelas mendengar saat Lily memutuskan pe
Lily diam menunggu reaksi Arsen atas syarat yang papanya berikan. Dia mengalihkan tatapan dari Adhitama ke Arsen, kemudian memandang iba Risha yang tampak memijat kening."Saya tahu Anda tidak bisa menerima begitu saja pernikahan kami.” Arsen membalas dengan tatapan. Matanya tidak menujukkan keraguan sedikit pun. “Jadi, saya akan menerima syarat Anda untuk membuktikan kesungguhan saya ke Lily.”Tanpa sadar Lily menahan napasnya menunggu respon Adhitama, lantas papanya mengangguk lalu tanpa bicara lagi mengajaknya dan Arsen pergi ke kantor urusan agama seperti apa yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.Saat Lily dan Arsen berjalan keluar mendahului, Risha tiba-tiba mencekal pergelangan tangan Adhitama.Risha memandang punggung putrinya dan Arsen untuk memastikan mereka sudah jauh, lalu mengungkapkan isi hatinya ke sang suami."Mas Tama, kenapa Mas biarkan Lily menikah dengan pria asing? Apa yang sebenarnya Mas Tama pikirkan?" Risha sedikit emosi. Air matanya yang tertahan kini tumpah
Lily ingin menyangkal, dia hampir menjawab ucapan Arsen, tetapi para pelayan lebih dulu datang hingga dia mau tak mau kembali mengikuti langkah Arsen.Saat memasuki kamar, Lily terkesiap, matanya memindai kamar milik Arsen yang begitu besar, tetapi tidak banyak furniture di dalamnya.Kini, Lily bingung hendak melakukan apa terlebih setelah pelayan pergi meninggalkan dirinya dan Arsen."Aku akan meminta Bibi Jess membelikan satu lemari pakaian untukmu, meski kita tidur satu kamar, tapi kamu tidak boleh masuk ke kamar gantiku," ucap Arsen.Lily hanya diam mendengarkan, tatapannya tertuju pada Arsen yang berjalan menuju kamar ganti sambil melepas jas kemudian kancing kemeja."Apa jangan-jangan dia menyembunyikan senjata ilegal di sana?” Namun, Lily langsung menutup mulutnya ketika satu pikiran terlintas di otaknya. “Atau mungkin mayat?” Lily menggelengkan kepala keras, menghilangkan pikiran buruk di kepala.Lebih baik dirinya sadar dan membereskan barang bawaannya. Wanita itu menyeret sa
Lily heran, dia hanya kaget mendengar Arsen bertanya dengan nada tinggi seperti itu.“Di sini dingin, jadi aku memakai baju menyesuaikan suhu,” jawab Lily.Lily tidak berani memandang Arsen, matanya menghindari tatapan pria itu yang sedang memindai penampilannya. Lily melirik Arsen yang tampak membuang napas kasar. Pria itu berjalan ke dekat ranjang lalu menyambar remote pendingin ruangan.“Lepas jaketmu atau kamu bisa mati kepanasan,” ucap Arsen dingin.Lily bergeming, dia masih berdiri di tempatnya lalu memainkan ujung lengan dan bulu-bulu di kerah jaket model parka yang biasa dia pakai saat liburan ke luar negeri.Lily terlihat sangat imut dan menggemaskan.“Sebenarnya aku takut tidur satu kamar denganmu.” Lily menunduk, menekan ujung jari kakinya ke lantai dan bicara tanpa menatap Arsen yang masih berada di dekat ranjang.“Malam itu mungkin kita sudah ….” Lily urung menyampaikan isi kepala, bibir mungilnya menghembuskan udara diikuti dengan pundak yang turun. “Aku bukan wanita sep
Ternyata sepatu bagus juga bisa membawa kita ke neraka. Lily ingin kabur saat tahu bahwa Sonia merupakan direktur pemasaran dari ARS Company. Sialnya sekarang dia harus menjadi bawahan wanita itu. Lily mencoba mengumpulkan kekuatan, terlihat lemah di depan Sonia sama saja menggali kuburan sendiri. “Lihat! Tanpa melewati proses seleksi, dia bisa diterima bekerja di sini.” Sonia berucap lantas menoleh pada staf lain yang ada di ruangan sebelum kembali menatap Lily. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Pak Arsen?” Lily tak merespon pertanyaan Sonia, dia hanya memandangi tingkah selingkuhan Bryan itu yang saat ini sedang memandang remeh padanya. ‘Apa dia mau melakukan hal yang sama seperti delapan tahun yang lalu? Merundungku?’ Lily memandang staf lain yang berdiri diam seperti menikmati pertunjukan antara dirinya dan Sonia. “Karena kamu masuk ke sini tanpa melewati wawancara denganku, maka aku tidak bisa mengakui kemampuanmu.” Lily muak melihat Sonia terang-terangan mencibir dan mer
Informasi yang diberikan Thomas selalu akurat. Divisi pemasaran kedatangan staff baru laki-laki bernama Arjuna yang kini sedang menyapa para staff di sana.Staff baru yang memiliki nama sapaan Juna itu memang tampan, sehingga tak hanya staff divisi pemasaran yang terpesona, staff lain yang berpapasan dengannya di lift tadi juga tak bisa memalingkan muka.Namun, setampan apa pun staff baru itu tidak mencuri perhatian Lily. Dia bersikap biasa saat Dini menginjak kakinya sambil tertawa-tawa menatap Juna saat pria itu memperkenalkan diri.“Mohon bantuannya agar saya bisa bekerja dengan baik di sini,” ucap Juna pada seluruh staff, sebelum kemudian tatapannya jatuh pada Lily yang tampak tenang, tak seheboh staff lain.“Baiklah, kalau ada apa-apa kamu bisa meminta bantuan staff lain,” ucap Sonia. Wajah selingkuhan Bryan itu masam dan tertuju pada Lily.Juna mengangguk sopan. Dia juga membalas senyum para staff wanita yang sejak tadi menatapnya kagum. Juna berjalan ke meja kerja miliknya, tep
Adhitama menatap tak senang karena ucapan Arsen. Pria itu sepertinya ingin melawannya. Bagaimana pun, Adhitama akan tetap waspada dan tak menerima Arsen begitu saja, firasatnya mengatakan kalau ada sesuatu yang membuatnya tak bisa mempercayai Arsen. “Bagaimana pun, ini penting bagi kami. Jika Anda menginginkan cucu dari kami, bukankah memang sebaiknya status pernikahan kami tidak disembunyikan?” Adhitama terlihat tenang meski rasa kesal bercokol di dada. Dia menatap Lily yang diam dan tetap menatap Arsen, lalu akhirnya Adhitama kembali menatap menantunya itu. “Itu akan menjadi urusanku. Keputusanku tetap sama.” Setelah mengatakan itu, Adhitama memilih berdiri dari kursi meninggalkan semua orang. Risha menjadi bingung, harapan berkumpul bersama dengan suasana hangat, jadi berantakan karena pembahasan yang sebenarnya bisa dicarikan solusi. Risha ikut berdiri lalu mengejar Adhitama. Rencananya mengundang Arsen dan Lily makan siang bersama tak lain untuk membuat Adhitama dan Ars
Hari berikutnya.Lily sudah bersiap-siap untuk pergi bersama Arsen. Dia sedang memakai sepatu ketika melihat Arsen keluar dari kamar ganti dan sudah berpakaian rapi.“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Lily karena Arsen belum memberitahu tujuan mereka.“Kamu akan lihat nanti,” jawab Arsen seraya mengancingkan manik ujung kemeja polos yang dipakainya.Kerutan samar terlihat di dahi Lily. Semoga Arsen tak membawanya ke tempat aneh-aneh.“Ayo!” ajak Arsen saat melihat Lily sudah selesai memakai sepatu.Lily mengangguk. Dia segera berdiri seraya meraih tasnya, lalu berjalan keluar kamar bersama Arsen.Arsen dan Lily menuju mobil yang sudah disiapkan di depan teras. Lily keheranan saat melihat Arsen berjalan ke arah pintu kemudi.“Kenapa? Cepat masuk.” Di antara pintu mobil yang terbuka, Arsen berdiri dan menatap Lily.“Kamu mau menyetir sendiri?” tanya Lily merasa aneh. Belakangan ini Arsen selalu pergi dengan sopir, tetapi sekarang pria itu yang mengendarai mobilnya sendiri.“Ada masala
Lily tiba-tiba merasa gerah, terlihat jelas raut wajahnya menunjukkan rasa malu.Lily langsung berdiri. Pembicaraan ini terlalu intim, jika Lily masih terus ada di sana, Lily tidak tahu apa yang akan dilakukan Arsen padanya!Kening Arsen terangkat melihat Lily berdiri. “Kamu mau ke mana? Tugasmu belum selesai." Arsen bicara dengan nada tegas seraya menatap pada Lily.“Kembali ke kamar!”Setelah mengatakan itu, Lily meninggalkan Arsen begitu saja di ruang kerja.Melihat kepergian Lily yang malu-malu seperti itu membuat pria itu tersenyum, menggoda Lily ternyata menyenangkan. Jadi, ini belum seberapa, masih banyak hal yang bisa Arsen lakukan dan membuat Lily meminta Arsen berhenti untuk menggodanya.Baru Lily menutup pintu ruang kerja Arsen dan melangkah beberapa langkah, tiba-tiba dari arah belakang Lily mendengar pintu ruangan Arsen kembali dibuka.Suara pintu yang langsung terbuka tanpa diketuk, jadi membuat Lily penasaran. Dengan langkah pelan, Lily kembali mendekati ruang kerja Ars
Lily membelalakkan mata saat Arsen tersenyum tepat di depan wajahnya. Senyum pria itu membuat jantung Lily berdetak tak karuan. Hingga dia mundur ke belakang dengan pipi merona."Lakukan apa? Jangan aneh-aneh," ucap Lily salah tingkah. Dia menengadahkan tangan kanannya ke Arsen. "Berikan kontrak pernikahan dulu padaku, aku tidak mau melakukan apapun untukmu sebelum hubungan kita jelas."Lily melihat Arsen menegakkan punggung, pria itu begitu tenang berbeda dengannya yang semakin kikuk sampai terbatuk-batuk.“Tidak perlu membicarakan kontrak pernikahan,” kata Arsen sambil melewati Lily dan tangan kanannya mengusap puncak kepala Lily. “Masuk ke dalam ruang kerjaku dan tunggu aku di sana.”Lily membeku, matanya mengerjap beberapa kali, lalu Lily mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh dada sebelah kiri. Baru ketika Lily berhasil mengendalikan dirinya, Arsen sudah tidak terlihat.Di dalam ruang kerja Arsen, Lily duduk diam menunggu Arsen, untungnya jantungnya sudah berdetak normal kemb
Lily syok karena bentakkan Arsen, membuatnya secara impulsif membalas tak kalah keras. “Kenapa kamu membentakku?!”Lily menatap Arsen kesal karena suaminya itu memandangnya seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan fatal.“Kenapa tidak pulang dengan Deni?” tanya Arsen. Nada bicaranya masih sama, tinggi.“Kamu sendiri, kenapa pergi tidak bilang? Sekarang tiba-tiba pulang, besok tiba-tiba pergi. Kamu bebas pergi kemanapun tetapi aku tidak?” balas Lily kesal, suaranya juga masih ikut meninggi. Tidak terima Arsen yang baru pulang dari entah dari mana justru membentaknya.Wajah Lily memerah menahan emosi, meski matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.Arsen menatap datar pada Lily. Dia tidak pernah menyangka kalau Lily bisa balas membentaknya seperti sekarang.Karena Arsen masih diam, Lily kembali meluapkan perasaannya. “Kalau menikah kontrak hanya menguntungkan salah satu pihak, bukan ini tujuan awal kita menikah.” Lily bicara dengan nada tegas, dagunya sedik
Adhitama sangat terkejut mendengar ucapan Lily, apalagi putrinya ini seperti sedang menantang keraguannya akan hubungan pernikahan yang Lily jalani.Adhitama menghela kecil. “Baiklah kalau kamu memang sangat yakin akan hal itu.” Pria itu menatap tanpa keraguan pada Lily. “Papa tunggu kamu membuktikan ucapanmu.” Meskipun sebenarnya Adhitama belum berharap Lily memiliki anak lebih dulu karena belum yakin pada Arsen, tetapi demi membuktikan ucapan Lily, Adhitama harus mengambil keputusan itu.Lily terkesiap, bahkan sampai meneguk ludah dengan kasar. Dia tidak menyangka kalau sang papa akan setuju dengan ucapannya untuk cepat-cepat memberikan cucu.Padahal Lily hanya ingin meyakinkan saja agar sang papa percaya dengan ucapannya, tetapi siapa sangka Adhitama malah menuntut balik.“Oh ya, bagaimana bisnis Papa?” tanya Lily mengalihkan pembicaraan dengan membahas masalah perusahaan.“Baik,” jawab Adhitama, “papa juga sudah mendapat direktur penggantimu,” imbuh Adhitama lagi.Lily diam sesaa
Sore itu Lily membuat beberapa staf ARS Company yang kebetulan pulang bersamaan dengannya terkejut. Dua unit sedan mewah dengan dua sopir yang sudah membukakan pintu sama-sama mempersilahkan Lily naik. Lily mengatupkan bibir rapat. Sopir dengan mobil berwarna abu-abu metalik merupakan sopir Arsen yang tadi pagi mengantarnya, sedangkan sopir paruh baya di belakang dengan sedan hitam adalah sopir pribadi papanya. "Nona, apa Anda tidak mau pulang?" Lily memandang sopir Arsen lalu beralih ke sopir Adhitama. "Mbak Lily, Papa Anda ingin bertemu." Lily merasakan dadanya berdenyut nyeri. Akhirnya dia mendekat ke Deni — sopir Arsen dan berkata, “Aku akan meminta izin suamiku, jadi kamu bisa pulang saja." Deni bergeming. Dia bisa terkena masalah jika tidak melakukan tugas dengan benar. "Tapi Nona, saya bisa terkena marah Tuan." "Tenang saja! Aku pastikan kamu tidak akan kena marah suamiku." Lily menggunakan suara lirih saat menyebut kata suami. Dia takut jika sampai ada yang me
Arsen memandang keluar jendela mobil mewah miliknya yang dikemudikan Thomas.Beberapa saat yang lalu Arsen baru mendapat kabar dari Bibi Jess tentang Lily yang tetap bersikeras berangkat kerja meski ia larang.Pria tampan itu urung tersenyum menyadari Thomas sejak tadi mengawasi dari kaca spion tengah. Tatapan Arsen beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di samping kursinya."Pak, apa Anda yakin akan melakukan ini?"Arsen tak menjawab pertanyaan Thomas, dia meraih ponsel itu lalu menyalakannya."Tahun ini sepertinya akan menjadi tahun keberuntunganku. Aku tidak menyangka selingkuhan Jerry adalah psikiater Lily," ucap Arsen.Thomas tersenyum, dia memandang Arsen lagi sebelum kembali fokus mengemudi.Thomas menggeleng samar. Di dunia ini apa yang tidak bisa Arsen lakukan? Jangankan hal yang lurus, yang buruk saja bisa bosnya tangani."Bedebah sialan itu memberiku obat perangsang di hari pertama kakiku menginjak negara ini," kata Arsen. "Dia pasti tidak menyangka selama ini aku memeg