Sementara itu, Ira yang baru saja tiba di rumahnya tersebut tampak menekuk wajahnya.“Assalamualaikum,” ucap Ira saat masuk ke rumah.Muh langsung menyambutnya. “Waalaikumsalam. Gimana undangannya?” tanya Muh.“Gak gimana-gimana, Pah. Aku masuk dulu, ya,” jawab Ira. Kemudian ia langsung berlalu.Muh mengerutkan keningnya. Ia bingung melihat Ira yang tampak kesal. “Kenapa lagi itu, Mah?” tanya Muh pada Rani.“Entahlah. Sejak Bian gak ngasih kabar, Ira kan emang selalu murung,” sahut Rani.Kring! Kring!Tiba-tiba ponsel Muh berdering. Ada telepon masuk dari nomor ponsel Ibu Bian.“Siapa, Pah?” tanya Rani.“Ibunya Bian,” sahut Muh sambil berbisik.“Ya udah, jawab di kamar aja!” ucap Rani.Mereka pun pergi ke kamar untuk menjawab telepon tersebut. Mereka tidak ingin Ira mendengar percakapannya.Telepon terhubung.“Assalamualaikum, Om. Ini aku, Bian,” ucap Bian.Ia menggunakan ponsel ibunya karena khawatir ponselnya disadap.“Waalaikumsalam. Apa kabar, Bi?” tanya Muh.“Alhamdulillah baik,
Siang ini ada seseorang yang sedang mengintai rumah Ira. Pagar rumah itu cukup tinggi, sehingga ia merasa aman meski mobilnya terparkir di seberang rumah tersebut.Saat ia sedang memantau rumah tersebut, tiba-tiba ada orang yang bertanya padanya.“Permisi! Mas tau alamat ini, gak?” tanya sopir taksi online pada pria itu. Sebab nomor rumah Ira memang tidak terlihat dari luar. Ia pun sungkan bertanya pada satpam rumah tersebut.Pria itu pun melihat alamat yang dimaksud dan ia membaca nama pemesan taksinya. Seolah mendapat angin segar, ia yang sejak tadi memang sedang memantau itu mendapat kesempatan.“Oh saya tau alamat ini. Kebetulan saya kenal orangnya. Ini kekasih saya,” jawab pria itu.“Oya? Rumahnya yang mana ya, Mas?” tanya sopir taksi.“Mas, kebetulan kami sedang bertengkar, makanya dia pesan taksi. Gimana kalau saya yang jemput. Nanti saya tetap bayar Mas, jadi Mas gak perlu khawatir!” jelas pria itu.Sopir tadi merasa keberatan. Sebab risikonya besar.“Mas jangan khawatir, saya
Ketika mobil Bian sudah keluar dari mall, ia menyadari bahwa dirinya dibuntuti lagi. Namun, Bian terkejut kala melihat bahwa orang yang membuntutinya berkurang satu.“Berengsek!” maki Bian. Kemudian ia pun berusaha agar lolos dari penguntit. Setelah itu Bian bergegas kembali ke mall.Ia yakin satu orang lagi sedang membuntuti Ira. Bian pun melajukan kendaraannya secepat mungkin agar bisa segera menyelamatkan Ira.Berhasil Bian bisa lolos karena ada lampu merah yang menahan pengendara motor itu. Setibanya di mall, Bian segera memarkir mobilnya dan mencari Ira yang entah ada di lantai berapa.‘Semoga aku tidak terlambat,’ batin Bian.Saat Bian sedang berlari kecil sambil mencari Ira, dari kejauhan ia melihat bahwa Ira sedang dibuntuti. “Benar dugaanku,” gumam Bian.Ia pun berlari dan naik eskalator karena posisi Ira ada di lantai atas. Ia menuju ke arah yang Ira tuju, kemudian menunggunya di persimpangan.Saat Ira tiba di persimpangan, Bian langsung menarik tangan wanita itu.Greb!Ira
Sementara Bian sedang menjalankan misinya, Ira menjalani harinya seperti biasa. Ia sudah terlanjur kecewa pada Bian, sehingga Ira memutuskan untuk move on dan tidak ingin memikirkan Bian lagi.Bahkan, semua foto Bian sudah ia hapus dari ponselnya. Padahal gadis yang bertemu Bian di mall kala itu adalah adik Bian. Namun, karena Bian tidak menjelaskannya Ira pun jadi salah paham.“Mau ke mana, Ra?” tanya Muh saat melihat anaknya hendak pergi.“Mau nonton, Pah,” jawab Ira, santai.Muh senang karena saat ini Ira sudah tidak murung lagi. Namun ia penasaran Ira hendak pergi dengan siapa. “Sama siapa?” tanyanya.“Sama Arga,” jawab Ira.Tak lama kemudian terdengar suara Arga. “Assalamualaikum,” ucap Arga saat berada di depan pintu rumah Muh.“Waalaikumsalam,” sahut Muh dan yang lain.“Nah, tuh dia orangnya udah datang. Aku pergi dulu ya, Pah,” ucap Ira.“Malam, Pak,” sapa Arga pada Muh. Ia pun bersalaman dengan Rani.“Eh, dokter Arga. Mau ke mana, nih?” tanya Muh.“Maaf, Pak. Kalau diizinkan
Seketika air mata Ira mengalir. Sudah sebulan lebih sejak terakhir kali mereka bertemu di mall. Ira berusaha keras untuk melupakan Bian, bahkan ia rela berusaha membuka hati untuk Arga.Kekecewaannya sudah sangat dalam. Apalagi kala itu Bian meninggalkan Ira sendirian dan ia malah pergi dengan wanita lain.Namun, kini Bian justru ada di hadapannya. Datang bersama keluarga untuk melamarnya. Ira tidak paham dengan situasi yang ia hadapi. Ia merasa bahwa Bian telah mempermainkannya.Mereka semua diam karena paham bahwa Ira pasti sangat kecewa pada Bian. Namun mereka pun tahu bahwa dua insan itu masih sama-sama saling mencintai. Hal itulah yang membuat Muh memberi kesempatan pada Bian.Kemarin Bian menghubungi Muh kembali dan mengatakan niat baiknya itu. Awalnya Muh sempat menolak. Namun Bian memohon dan berjanji akan memperbaiki semuanya.Bian pun menjelaskan apa yang terjadi selama sebulan terakhir. Sehingga Muh tidak tega dan mau memberikan kesempatan padanya lagi.Ira menatap Bian unt
Awalnya Muh dan Irawan sepakat menunggu Bian dan Ira sambil berbincang di ruang tamu. Namun mereka sangat pensaran karena dua insan itu berbincang cukup lama. Mereka pun ingin tahu apakah Ira memaafkan Bian atau tidak. “Bagaimana kalau kita lihat mereka?” usul Muh. “Boleh,” sahut ayah Bian. Mereka pun berjalan ke arah ruang tengah yang jendelanya mengarah ke taman. Tiba di sana, mereka mengintip dari balik jendela dan Muh terkejut saat melihat Bian membuka kancing kemejanya. “Tunggu! Sepertinya dia hanya ingin menunjukkan bekas lukanya,” ucap Irawan, sambil menahan Muh yang hendak berlari ke arah mereka. Sebagai orang tua, Muh tidak ingin anak gadisnya disentuh oleh pria yang bukan mahrom. Sehingga reaksinya cukup berlebihan ketika melihat tindakan Bian yang mencurigakan. Namun ternyata tebakan Irawan benar. Sebagai Jenderal, tentu Irawan sangat pintar menebak situasi. Sehingga ia bisa tahu apa yang akan anaknya lakukan. Awalnya Muh lega karena Bian hanya menunjukkan luka. Namun
Bian terkesiap mendengar ucapan Muh. Tentu saja ia keberatan jika harus dipisahkan lagi dengan Ira, meski hanya sebentar.“Kenapa seperti itu, Om?” tanya Bian. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan ekspresi keberatan.“Om tidak mau kalian khilaf!” skak Muh. Ia terlihat begitu serius.Gluk!Bian menelan saliva. Ia menyesal karena tadi sudah melampaui batas.“Maaf, Om. Yang tadi itu khilaf karena terlalu bahagia Ira mau nerima aku lagi. Aku janji selanjutnya gak akan begitu sampai sah nanti,” ucap Bian. Ia berusaha memohon agar Muh mau memberikan keringanan pada mereka.Ia pun berharap Muh hanya bercanda atau bisa menarik ucapannya. Baginya sudah cukup mereka terpisah selama setahun lebih.“Siapa yang bisa jamin?” tanya Muh. Pertanyaannya terdengar menantang.“Tapi kan nanti Ira akan menjalani berbagai test untuk nikah kantor. Pasti aku yang harus mengantarnya, kan?” Bian masih berusaha mencari celah.“Masalah itu biar Bapak yang atur, Bi,” ucap Ayah Bian.Bian pun lemas. Ia kesal karena
“Hehehe, jangan dong, Om. Aku cuma bercanda,” jawab Bian, malu-malu.“Tapi kalau kami setuju, kamu mau kan?” tanya Muh. Ia menyunggingkan sebelah ujung bibirnya.“Ya mau, Om. Kan sambil menyelam minum air, hehe,” sahut Bian. Saat ini ia tidak terlihat seperti seorang komandan. Bian malah salah tingkah karena tadi sudah keperegok oleh Muh.“Dasar anak muda!” ucap Muh. Meski begitu harapannya pada Bian tidak berkurang. Sebenarnya ia paham atas sikap Bian tersebut. Namun Muh tidak ingin jika sampai anaknya dijamah sebelum menikah.Seandainya ia tahu apa yang telah mereka lakukan selama di perbatasan, mungkin Muh akan mengamuk. Meski begitu, untungnya Bian dan Ira tidak pernah berlebihan.“Oh iya, kebetulan besok ada acara sertijab di rumah sakit. Kalau sempat, tolong hadir!” ucap Muh. Ia mengundang mereka secara langsung untuk menghadiri acara tersebut.Saat ini Zein sedang sibuk persiapan alih jabatan, sehingga ia tidak bisa hadir di sana. Meski begitu, Muh sudah memberi informasi bahwa