Zein ternganga melihat sikap adiknya seperti itu. “Lha, kenapa ngamuk? Apa hubungan mereka bermasalah?” gumam Zein.“Kenapa, Mas?” tanya Intan saat melihat suaminya sedang melamun sambil menatap ke arah Ira yang semakin menjauh.“Itu, katanya kan calonnya Ira mau pulang besok. Tapi aku cuma nanya ke dia, Ira-nya malah marah-marah,” jawab Zein. Kemudian mereka berjalan ke arah ruangan Zein.“Marah-marah? Lagi berantem kali. Makanya dia sensi,” ucap Intan.“Itu dia. Aku juga mikirnya begitu. Cuma aku khawatir aja kalau ternyata cowok itu nyakitin Ira,” ucap Zein.Ia terkesan menyebalkan karena terlalu ikut campur pada hubungan adiknya. Namun sebenarnya Zein melakukan hal itu karena sangat peduli pada Ira. Ia tidak ingin adiknya disakiti oleh pria mana pun.Sejak awal, Zein tidak setuju Ira berhubungan dengan Bian. Selain karena Bian pernah mendekati Intan, tetapi profesor itu khawatir Bian tidak setia karena hubungan jarak jauh mereka.“Ya udah, sekarang kita doain yang terbaik aja untu
Saat Bian melepaskan pelukannya, Ira masih belum menyadari ada perubahan dari sikap Bian.“Bi, kamu ke mana aja, sih? Pasti kamu abis tugas, ya?” tanya Ira sambil berurai air mata. Ia menggenggam kedua tangan Bian.“Mas Malik, itu siapa?” tanya seorang wanita yang muncul di belakang Bian. Ia bingung melihat bian bicara dengan seorang wanita.Ira mengerutkan keningnya. ‘Malik?’ batinnya. Ia lupa bahwa Malik adalah nama panjang Bian.Bian pun menjawabnya sambil menatap Ira. “Enggak kenal,” ucap Bian.Deg!Lutut Ira terasa lemas kala mendengar ucapan Bian. Namun ia masih enggan percaya. “Bi, kamu jangan bercanda, ya! Aku udah hampir mati nungguin kamu, ini gak lucu,” ucap Ira dengan suara bergetar.Wanita itu pun mendekat ke arah mereka. “Yakin gak kenal?” tanyanya, sambil menatap ke arah tangan Bian yang sedang digenggam oleh Ira.“Iya. Mungkin kamu salah orang,” ucap Bian pada Ira. Kemudian ia melepaskan tangan itu perlahan, tetapi Ira seolah enggan melepasnya.“Sampe kamu lepas, aku g
Ira melirik ke arah kaca spion. Ia bingung mengapa mobil Bian masih ada di sana.“Maunya dia apa, sih? Kalau emang udah gak mau kenal sama aku, ngapain masih diem di situ? Sok mau bantu segala,” gumam Ira. Ia sangat emosi melihat Bian.Apalagi Bian menghampirinya bersama wanita tadi. Membuat hati Ira jadi tak karuan. Perih, sakit, marah, benci, bercampur jadi satu.“Nyesel aku udah nunggu dia. Aku kira dia setia, ternyata malah sama perempuan lain. Apa gak bisa bicara baik-baik? Dasar pengecut!” gumam Ira sambil mengepalkan tangannya.Rasanya ia sangat ingin menghajar Bian. Namun, mengingat tatapannya tadi, Ira merasa tatapan pria itu masih sama seperti dulu.“Argh!” pekik Ira. Saking emosinya, ia sampai tidak sadar telah memukul stir dan membuat klakson mobilnya berbunyi.Tooonn!Bian terperanjat. Ia hendak turun dari mobil. Namun mengurungkan niatnya. Bian tetap memperhatikan Ira dari dalam mobilnya sambil memastikan kondisinya masih aman.“Mas ini kenapa, sih? Sebenarnya dia siapa?
Sementara itu, Ira yang baru saja tiba di rumahnya tersebut tampak menekuk wajahnya.“Assalamualaikum,” ucap Ira saat masuk ke rumah.Muh langsung menyambutnya. “Waalaikumsalam. Gimana undangannya?” tanya Muh.“Gak gimana-gimana, Pah. Aku masuk dulu, ya,” jawab Ira. Kemudian ia langsung berlalu.Muh mengerutkan keningnya. Ia bingung melihat Ira yang tampak kesal. “Kenapa lagi itu, Mah?” tanya Muh pada Rani.“Entahlah. Sejak Bian gak ngasih kabar, Ira kan emang selalu murung,” sahut Rani.Kring! Kring!Tiba-tiba ponsel Muh berdering. Ada telepon masuk dari nomor ponsel Ibu Bian.“Siapa, Pah?” tanya Rani.“Ibunya Bian,” sahut Muh sambil berbisik.“Ya udah, jawab di kamar aja!” ucap Rani.Mereka pun pergi ke kamar untuk menjawab telepon tersebut. Mereka tidak ingin Ira mendengar percakapannya.Telepon terhubung.“Assalamualaikum, Om. Ini aku, Bian,” ucap Bian.Ia menggunakan ponsel ibunya karena khawatir ponselnya disadap.“Waalaikumsalam. Apa kabar, Bi?” tanya Muh.“Alhamdulillah baik,
Siang ini ada seseorang yang sedang mengintai rumah Ira. Pagar rumah itu cukup tinggi, sehingga ia merasa aman meski mobilnya terparkir di seberang rumah tersebut.Saat ia sedang memantau rumah tersebut, tiba-tiba ada orang yang bertanya padanya.“Permisi! Mas tau alamat ini, gak?” tanya sopir taksi online pada pria itu. Sebab nomor rumah Ira memang tidak terlihat dari luar. Ia pun sungkan bertanya pada satpam rumah tersebut.Pria itu pun melihat alamat yang dimaksud dan ia membaca nama pemesan taksinya. Seolah mendapat angin segar, ia yang sejak tadi memang sedang memantau itu mendapat kesempatan.“Oh saya tau alamat ini. Kebetulan saya kenal orangnya. Ini kekasih saya,” jawab pria itu.“Oya? Rumahnya yang mana ya, Mas?” tanya sopir taksi.“Mas, kebetulan kami sedang bertengkar, makanya dia pesan taksi. Gimana kalau saya yang jemput. Nanti saya tetap bayar Mas, jadi Mas gak perlu khawatir!” jelas pria itu.Sopir tadi merasa keberatan. Sebab risikonya besar.“Mas jangan khawatir, saya
Ketika mobil Bian sudah keluar dari mall, ia menyadari bahwa dirinya dibuntuti lagi. Namun, Bian terkejut kala melihat bahwa orang yang membuntutinya berkurang satu.“Berengsek!” maki Bian. Kemudian ia pun berusaha agar lolos dari penguntit. Setelah itu Bian bergegas kembali ke mall.Ia yakin satu orang lagi sedang membuntuti Ira. Bian pun melajukan kendaraannya secepat mungkin agar bisa segera menyelamatkan Ira.Berhasil Bian bisa lolos karena ada lampu merah yang menahan pengendara motor itu. Setibanya di mall, Bian segera memarkir mobilnya dan mencari Ira yang entah ada di lantai berapa.‘Semoga aku tidak terlambat,’ batin Bian.Saat Bian sedang berlari kecil sambil mencari Ira, dari kejauhan ia melihat bahwa Ira sedang dibuntuti. “Benar dugaanku,” gumam Bian.Ia pun berlari dan naik eskalator karena posisi Ira ada di lantai atas. Ia menuju ke arah yang Ira tuju, kemudian menunggunya di persimpangan.Saat Ira tiba di persimpangan, Bian langsung menarik tangan wanita itu.Greb!Ira
Sementara Bian sedang menjalankan misinya, Ira menjalani harinya seperti biasa. Ia sudah terlanjur kecewa pada Bian, sehingga Ira memutuskan untuk move on dan tidak ingin memikirkan Bian lagi.Bahkan, semua foto Bian sudah ia hapus dari ponselnya. Padahal gadis yang bertemu Bian di mall kala itu adalah adik Bian. Namun, karena Bian tidak menjelaskannya Ira pun jadi salah paham.“Mau ke mana, Ra?” tanya Muh saat melihat anaknya hendak pergi.“Mau nonton, Pah,” jawab Ira, santai.Muh senang karena saat ini Ira sudah tidak murung lagi. Namun ia penasaran Ira hendak pergi dengan siapa. “Sama siapa?” tanyanya.“Sama Arga,” jawab Ira.Tak lama kemudian terdengar suara Arga. “Assalamualaikum,” ucap Arga saat berada di depan pintu rumah Muh.“Waalaikumsalam,” sahut Muh dan yang lain.“Nah, tuh dia orangnya udah datang. Aku pergi dulu ya, Pah,” ucap Ira.“Malam, Pak,” sapa Arga pada Muh. Ia pun bersalaman dengan Rani.“Eh, dokter Arga. Mau ke mana, nih?” tanya Muh.“Maaf, Pak. Kalau diizinkan
Seketika air mata Ira mengalir. Sudah sebulan lebih sejak terakhir kali mereka bertemu di mall. Ira berusaha keras untuk melupakan Bian, bahkan ia rela berusaha membuka hati untuk Arga.Kekecewaannya sudah sangat dalam. Apalagi kala itu Bian meninggalkan Ira sendirian dan ia malah pergi dengan wanita lain.Namun, kini Bian justru ada di hadapannya. Datang bersama keluarga untuk melamarnya. Ira tidak paham dengan situasi yang ia hadapi. Ia merasa bahwa Bian telah mempermainkannya.Mereka semua diam karena paham bahwa Ira pasti sangat kecewa pada Bian. Namun mereka pun tahu bahwa dua insan itu masih sama-sama saling mencintai. Hal itulah yang membuat Muh memberi kesempatan pada Bian.Kemarin Bian menghubungi Muh kembali dan mengatakan niat baiknya itu. Awalnya Muh sempat menolak. Namun Bian memohon dan berjanji akan memperbaiki semuanya.Bian pun menjelaskan apa yang terjadi selama sebulan terakhir. Sehingga Muh tidak tega dan mau memberikan kesempatan padanya lagi.Ira menatap Bian unt