Jam makan malam pun tiba.
Raffael memenuhi janjinya untuk makan malam bersama Amanda demi sebuah informasi. Tak jauh memang, mereka menikmati makan malam di sebuah restoran hotel mereka menginap. Jamuan istimewa Raffael terima. Tanpa menaruh curiga, pria itu menikmati minuman yang ada di hadapannya yang ternyata sudah Amanda campur dengan obat perangsang. Pada saat itu Amanda bergegas mengirim pesan kepada Maria.
Maria yang menerima pesan dari Amanda segera memasuki kamar Raffael. Ia bekerja sama dengan oknum pelayan hotel untuk memasangkan mini CCTV infrared. Pun ia meminta ketika Raffael masuk agar mematikan aliran listrik. Setelah CCTV terpasang, Maria mengganti pakaiannya dengan mini dress. Tak lupa ia menyemprotkan parfum yang selalu Revalina pakai, yaitu aroma lavender.
Di restoran, Raffael tengah merasakan hal yang luar biasa. Hawa panas menjalar di sekujur tubuh. Ia merasa yakin jika Amanda yang menjebaknya. Pria itu meninggalkan Amanda meski
Rian menekan tombol darurat hingga akhirnya seorang dokter dan perawat datang.Dokter itu meminta agar semua orang ke luar dan langsung memeriksa kondisi Revalina.Di luar, semua orang terlihat sangat cemas, terlebih lagi Raffael. Hanna mencoba menenangkan putranya. "Berdoa saja, semoga tidak ada hal buruk yang menimpa Revalina."Tidak berselang lama, dokter ke luar."Bagaimana istri saya, Dok?" tanya Raffael."Tolong, saya sudah katakan kepada keluarga pasien, kan? Jaga emosi dan pikiran pasien. Kandungannya sangat lemah. Tadi pasien mengalami kram perut dan pendarahan."Semua yang mendengar penuturan sang dokter pun kaget bahkan Cindy dan Hanna menangis."Lalu, bagaimana sekarang, Dok?" tanya Carlos."Kita patut bersyukur karena pasien tidak mengalami keguguran. Saya rasa cukup untuk mengingatkan keluarga pasien harus seperti apa," ungkap sang dokter. "Saya permisi," lanjutnya kemudia
Pagi menjelang.Mata indah milik Revalina terbuka. Merasa ada sesuatu yang melingkar di perut, ia pun merubah posisi tidurnya. Ternyata semalaman Raffael tidak melepaskan pelukan.Kini, wajah Revalina dan Raffael saling berhadapan. Walau ragu, Revalina membelai pipi sang pria membuat sang pemilik pipi terbangun.Raffael membuka matanya kemudian tersenyum dan menyapa, "Pagi, Sayang."Tidak ada jawaban dari Revalina. Tangannya terus bergerilya mengusap leher. "Berapa hari kau tidak makan?""Aku makan terus," jawab Raffael.Revalina mengusap rambut. "Kapan terakhir kau ke salon untuk membersihkan dan memotong rambut?"Raffael hanya tersenyum menanggapi."Jam berapa kau tidur setiap malam?" tanyanya lagi saat mengusap kedua mata Raffael.Raffael tidak menjawab. Ia menggenggam tangan Revalina."Selera makanku hilang karena kamu tidak menyediakan. Aku tidak bisa tidur kare
Di hotel, Maria melihat kabar infotainment mengenai dirinya. Berita tentang gagalnya menikah dengan Raffael hingga hamil di luar nikah tengah santer diperbincangkan."Aarrrggghh! Kurang ajar!" teriak Maria kesal.Roni yang baru saja ke luar dari kamar mandi, sontak menghampiri."Ada apa?"Napas Maria memburu dan mendekati Roni. "Ini semua gara-gara kamu! Aku benci!""Tenang dulu. Ada apa?""Lihat!" seru Maria sambil menunjuk televisi.Roni mengikuti ke mana arah Maria menunjuk."Lalu, apa yang harus aku lakukan?""Gara-gara kamu aku hamil dan kenapa kamu muncul di saat aku akan menikah dengan Raffael!"Roni membuang napas kasar. "Hey, kau lupa siapa yang selalu menggodaku? Kau selalu datang ke tempatku dan merayuku untuk berhubungan badan denganmu! Aku lelaki normal Maria! Aku ayah biologis janin dalam rahimmu, kenapa harus Raffael yang bertanggung jawab?! Satu hal yang perlu kau tau,
Rasa mual yang mendera membuat Revalina terbangun dari tidur dan berlari ke kamar mandi. Raffael yang merasa terusik pun ikut membuka mata."Astaga! Jam berapa ini?" gumam Raffael seraya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ya, ampun, sudah jam lima sore.""Uwoook ... uwoook!"Raffael mendengar seseorang muntah. Gegas ia turun dari ranjang dan berlari ke arah suara."Astaga, Sayang." Raffael memijat tengkuk sang istri. Pria itu sangat sabar dan tanpa merasa jijik ia membersihkan sisa-sisa muntahan di wastafel serta mulut Revalina."Sini, aku gendong."Revalina tersenyum. "Tidak usah. Masih kuat jalan, kok."Tanpa persetujuan Revalina, Raffael mengangkat tubuh wanitanya. "Lain kali, kalau mau ke kamar mandi, bangunin. Biar aku gendong," ucapnya sambil menatap wajah sang istri.Revalina mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk suaminya. "Aku masih bisa jalan, ih."Raffael merebahkan
Revalina tampak senang bahkan puas setelah mengerjai suaminya. Senyum terus tersungging dari bibir ranumnya."Sayang, jangan marah," ucap Revalina dengan nada manja sambil memeluk suaminya dari belakang. "Sini aku bantu keringin rambutnya," sambung Revalina sambil meraih handuk kecil dari tangan Raffael.Raffael membalikan badan. "Aku tidak marah, Sayang. Asal kau senang, akan aku lakukan.""Iiih ... sweet, makin sayang, deh.""Apalagi aku, tambah sayang, sayang, sayang," cetus Raffael sambil menghujani bibir Revalina dengan ciuman.Ponsel Raffael berdering."Biar aku ambil." Revalina meraih benda pipih milik suaminya di atas nakas."Ada apa?" tanya Raffael pada sambungan telepon."Maaf, Tuan. Perusahaan membutuhkan Anda. Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangan.""Baiklah. Esok lusa aku kembali ke kantor."Sambungan telepon terputus."Ada apa?""
Raffael dan keluarga tiba di tanah air pada malam hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih dari lima belas jam."Kau pasti lelah, Sayang. Istirahat langsung, ya," kata Raffael saat memasukan koper ke dalam kamarnya. "Sini, Al yang aku tidurin di kamarnya," lanjutnya sambil merengkuh putranya dalam gendongan Revalina.Mata Revalina menyisir setiap sudut kamar."Ada apa, hm?""Aku rindu kamar ini," jawab Revalina.Raffael memeluk istrinya dari belakang. "Aku pun rindu tidur denganmu di kamar ini. Oh, ya, apa masih pendarahan? Kalau masih, besok kita cek ke dokter lagi."Revalina berbalik badan. "Udah enggak. Tapi, ingat kata dokter, ya?""Apa?""Hemmm ... jangan pura-pura lupa, deh, Sayang. Itu, tuh ...,"Raffael tersenyum sambil merapatkan badannya. "Iya, apa? Coba katakan."Revalina berbisik. "Ber-cin-ta," ucapnya mengeja.Bukannya mendengarkan apa kata sang istri, j
Revalina tengah sibuk menata barang-barang di kamar barunya. Ia sibuk mencari pernak-pernik berwarna pink di salah satu online shop."Sayang, lucu-lucu barangnya. Aku pesan, ya? Boleh, kan?" tanya Revalina seraya memperlihatkan barang tersebut dalam ponselnya.Tidak ingin sang istri merasa kecewa, Raffael tentu saja memperbolehkan wanitanya membeli apa saja yang dimau. Dari itu, Raffael menebak jika sang jabang bayi mereka berjenis kelamin perempuan.""Apa kau menginginkan bayi perempuan?" tanya Raffael."Entahlah. Apa pun itu aku terima. Tapi, perasaanku mengatakan jika aku sedang mengandung bayi perempuan," jawab Revalina.Suara ketukan pintu terdengar oleh Revalina. Gegas ia membukanya."Eh, Mama. Masuk, Ma.""Waaah, kamarnya indah sekali, Re. Seperti punya anak perempuan kalau begini," ucap Hanna diiringi senyum. Mata wanita paruh baya itu menangkap Raffael sedang mengangkat kedua bahunya. Ia ta
Revalina lebih memilih menghindar. Menghindar bukan berarti masalah tidak ingin selesai, tetapi ia ingin menghindari perdebatan. Wanita itu gegas meninggalkan kantor. Pada saat membuka pintu, tampak Karina tengah mengambil dokumen di mejanya."Tolong katakan kepada suamiku, aku pulang!" ucap Revalina dingin, kemudian melangkah. Namun, langkahnya terhenti dan kembali berbalik. "Tunggu! Kau bekerja di sini diterima oleh siapa?""Maaf, Nona. Satu bulan yang lalu saya melamar di perusahaan Tuan Carlos, tapi beliau menyuruhku kerja di perusahaan ini.""Maksudmu ... Carlos Diego?""Benar, Nona.""Baiklah, kau boleh pergi dan jangan lupa pesanku."Karina menundukkan kepala pertanda hormat kepada Revalina, kemudian kembali ke ruang meeting.Sambil menyusuri lorong, Revalina menghubungi Carlos."Papa, kenapa Papa menyuruh Karina untuk menjadi sekretaris suamiku?" cerca Revalina saat Carlos menerima panggilannya.
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald