Rasa mual yang mendera membuat Revalina terbangun dari tidur dan berlari ke kamar mandi. Raffael yang merasa terusik pun ikut membuka mata.
"Astaga! Jam berapa ini?" gumam Raffael seraya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ya, ampun, sudah jam lima sore."
"Uwoook ... uwoook!"
Raffael mendengar seseorang muntah. Gegas ia turun dari ranjang dan berlari ke arah suara.
"Astaga, Sayang." Raffael memijat tengkuk sang istri. Pria itu sangat sabar dan tanpa merasa jijik ia membersihkan sisa-sisa muntahan di wastafel serta mulut Revalina.
"Sini, aku gendong."
Revalina tersenyum. "Tidak usah. Masih kuat jalan, kok."
Tanpa persetujuan Revalina, Raffael mengangkat tubuh wanitanya. "Lain kali, kalau mau ke kamar mandi, bangunin. Biar aku gendong," ucapnya sambil menatap wajah sang istri.
Revalina mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk suaminya. "Aku masih bisa jalan, ih."
Raffael merebahkan
Revalina tampak senang bahkan puas setelah mengerjai suaminya. Senyum terus tersungging dari bibir ranumnya."Sayang, jangan marah," ucap Revalina dengan nada manja sambil memeluk suaminya dari belakang. "Sini aku bantu keringin rambutnya," sambung Revalina sambil meraih handuk kecil dari tangan Raffael.Raffael membalikan badan. "Aku tidak marah, Sayang. Asal kau senang, akan aku lakukan.""Iiih ... sweet, makin sayang, deh.""Apalagi aku, tambah sayang, sayang, sayang," cetus Raffael sambil menghujani bibir Revalina dengan ciuman.Ponsel Raffael berdering."Biar aku ambil." Revalina meraih benda pipih milik suaminya di atas nakas."Ada apa?" tanya Raffael pada sambungan telepon."Maaf, Tuan. Perusahaan membutuhkan Anda. Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangan.""Baiklah. Esok lusa aku kembali ke kantor."Sambungan telepon terputus."Ada apa?""
Raffael dan keluarga tiba di tanah air pada malam hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih dari lima belas jam."Kau pasti lelah, Sayang. Istirahat langsung, ya," kata Raffael saat memasukan koper ke dalam kamarnya. "Sini, Al yang aku tidurin di kamarnya," lanjutnya sambil merengkuh putranya dalam gendongan Revalina.Mata Revalina menyisir setiap sudut kamar."Ada apa, hm?""Aku rindu kamar ini," jawab Revalina.Raffael memeluk istrinya dari belakang. "Aku pun rindu tidur denganmu di kamar ini. Oh, ya, apa masih pendarahan? Kalau masih, besok kita cek ke dokter lagi."Revalina berbalik badan. "Udah enggak. Tapi, ingat kata dokter, ya?""Apa?""Hemmm ... jangan pura-pura lupa, deh, Sayang. Itu, tuh ...,"Raffael tersenyum sambil merapatkan badannya. "Iya, apa? Coba katakan."Revalina berbisik. "Ber-cin-ta," ucapnya mengeja.Bukannya mendengarkan apa kata sang istri, j
Revalina tengah sibuk menata barang-barang di kamar barunya. Ia sibuk mencari pernak-pernik berwarna pink di salah satu online shop."Sayang, lucu-lucu barangnya. Aku pesan, ya? Boleh, kan?" tanya Revalina seraya memperlihatkan barang tersebut dalam ponselnya.Tidak ingin sang istri merasa kecewa, Raffael tentu saja memperbolehkan wanitanya membeli apa saja yang dimau. Dari itu, Raffael menebak jika sang jabang bayi mereka berjenis kelamin perempuan.""Apa kau menginginkan bayi perempuan?" tanya Raffael."Entahlah. Apa pun itu aku terima. Tapi, perasaanku mengatakan jika aku sedang mengandung bayi perempuan," jawab Revalina.Suara ketukan pintu terdengar oleh Revalina. Gegas ia membukanya."Eh, Mama. Masuk, Ma.""Waaah, kamarnya indah sekali, Re. Seperti punya anak perempuan kalau begini," ucap Hanna diiringi senyum. Mata wanita paruh baya itu menangkap Raffael sedang mengangkat kedua bahunya. Ia ta
Revalina lebih memilih menghindar. Menghindar bukan berarti masalah tidak ingin selesai, tetapi ia ingin menghindari perdebatan. Wanita itu gegas meninggalkan kantor. Pada saat membuka pintu, tampak Karina tengah mengambil dokumen di mejanya."Tolong katakan kepada suamiku, aku pulang!" ucap Revalina dingin, kemudian melangkah. Namun, langkahnya terhenti dan kembali berbalik. "Tunggu! Kau bekerja di sini diterima oleh siapa?""Maaf, Nona. Satu bulan yang lalu saya melamar di perusahaan Tuan Carlos, tapi beliau menyuruhku kerja di perusahaan ini.""Maksudmu ... Carlos Diego?""Benar, Nona.""Baiklah, kau boleh pergi dan jangan lupa pesanku."Karina menundukkan kepala pertanda hormat kepada Revalina, kemudian kembali ke ruang meeting.Sambil menyusuri lorong, Revalina menghubungi Carlos."Papa, kenapa Papa menyuruh Karina untuk menjadi sekretaris suamiku?" cerca Revalina saat Carlos menerima panggilannya.
5 Bulan Kemudian.Setelah kejadian perdebatan di kantor mengenai Karina, akhirnya Raffael memutuskan untuk memecat sekretarisnya itu dan menggantinya dengan sekretaris laki-laki. Dirinya tidak menyangka jika rasa trauma yang dialami Revalina berujung pada rasa cemburu dan posesif yang berlebihan. Namun, Raffael tidak mempermasalahkan hal itu. Ia jadikan rasa itu adalah kekuatan cinta Revalina untuknya.Kini, usia kandungan Revalina sudah menginjak delapan bulan. Seperti biasa, setiap harinya Revalina akan mengikuti ke mana Raffael pergi. Seperti sekarang, Raffael akan mengajar. Sedari pagi Revalina sudah bergelayut manja pada dirinya."Kau tidak lelah, Sayang? Kandunganmu sudah besar, loh," kata Raffael."Gak usah bahas itu lagi. Pokoknya aku akan ikut ke mana pun kau pergi," sahutnya dengan nada manja.Revalina tidak peduli orang berkata apa. Yang jelas, ia bahagia menjalani hari-harinya."Ma ... iku," ucap Ald
Hari berganti malam.Revalina dan keluarga menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi. Raffael menceritakan kejadian tadi siang yang menimpa Revalina di kampus.Hanna benar-benar tidak menyangka jika Kitty akan berbuat seperti itu."Lalu, apa besok kalian jadi pergi?Raffael memberi isyarat kepada sang mama untuk tidak bicara. Akan tetapi, Revalina sudah mendengar terlebih dulu."Ups!" Hanna menutup mulutnya."Pergi ke mana?" tanya Revalina sambil mengerutkan kening."Emm ... anu, Sayang, tidak pergi ke mana-mana, kok."Bunyi bel mengalihkan perhatian mereka. Jumi yang baru saja menyajikan camilan untuk majikannya bergegas membukakan pintu.Tidak berselang lama, Jumi kembali menghampiri majikannya."Maaf, Tuan, Nyonya ... ada beberapa polisi di depan mencari Tuan Raffael.""Polisi, Bi?" tanya Revalina memastikan."Iya, Non."Me
Pagi-pagi sekali keluarga Xie disibukkan dengan kegiatan mengepak baju. Pasalnya, tidak hanya keluarga inti saja yang akan pergi, melainkan Jumi dan James akan ikut serta.Di kamar, Revalina tengah menelepon Cindy. Ia mengajak kedua orang tua untuk ikut bersamanya. Namun, Revalina mendapat kekecewaan. Cindy dan Carlos tidak bisa ikut."Lain kali saja, Sayang. Kita adain liburan lagi," bujuk Raffael.Bibir Revalina mengerucut. "Ini, kan, bukan liburan biasa, Sayang.""Nanti, kalo baby udah lahir, kita berlibur lagi. Kita susun rencana lebih matang agar semua bisa ikut. Bagaimana?"Revalina mengangguk. Kecewanya sedikit terobati ketika Raffael berkata demikian."Sudah siap? Tidak ada barang yang tertinggal, Sayang?""Semua sudah siap," sahut Revalina. "Emmm ... sepertinya sudah lengkap. Barang punya Al, aku, punyamu juga sudah, dan ...""Apa?""Hampir saja lupa. Kamera." Revalina mengambil benda itu di la
Ponsel Raffael berdering, membangunkan dua anak manusia yang tengah saling memeluk di bawah kungkungan selimut.Raffael meraih ponselnya yang ia simpan tak jauh dari jangkauan."Halo, Ma," sapanya saat menerima panggilan."Kamu baru bangun, El?" tanya Hanna."Loh, emangnya jam berapa sekarang?""Jam tujuh pagi, El. Kami semua nunggu kamu dari tadi untuk sarapan."Raffael terkekeh-kekeh. "Maaf, Ma. Kalau begitu kalian sarapan duluan saja. Untuk sarapanku dan Rere tolong minta diantar saja."Baiklah." Hanna menutup sambungan sepihak.Raffael menyimpan ponselnya dan kembali memeluk Revalina dari belakang."Telepon dari siapa?" tanya Revalina."Mama, Sayang. Mereka menunggu kita untuk sarapan.""Astaga! Sudah jam berapa ini?" Revalina beranjak, tetapi ditahan oleh Raffael.Raffael menceritakan apa yang sudah ia perbincangkan dengan Hanna."Tidu