5 Bulan Kemudian.
Setelah kejadian perdebatan di kantor mengenai Karina, akhirnya Raffael memutuskan untuk memecat sekretarisnya itu dan menggantinya dengan sekretaris laki-laki. Dirinya tidak menyangka jika rasa trauma yang dialami Revalina berujung pada rasa cemburu dan posesif yang berlebihan. Namun, Raffael tidak mempermasalahkan hal itu. Ia jadikan rasa itu adalah kekuatan cinta Revalina untuknya.
Kini, usia kandungan Revalina sudah menginjak delapan bulan. Seperti biasa, setiap harinya Revalina akan mengikuti ke mana Raffael pergi. Seperti sekarang, Raffael akan mengajar. Sedari pagi Revalina sudah bergelayut manja pada dirinya.
"Kau tidak lelah, Sayang? Kandunganmu sudah besar, loh," kata Raffael.
"Gak usah bahas itu lagi. Pokoknya aku akan ikut ke mana pun kau pergi," sahutnya dengan nada manja.
Revalina tidak peduli orang berkata apa. Yang jelas, ia bahagia menjalani hari-harinya.
"Ma ... iku," ucap Ald
Hari berganti malam.Revalina dan keluarga menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi. Raffael menceritakan kejadian tadi siang yang menimpa Revalina di kampus.Hanna benar-benar tidak menyangka jika Kitty akan berbuat seperti itu."Lalu, apa besok kalian jadi pergi?Raffael memberi isyarat kepada sang mama untuk tidak bicara. Akan tetapi, Revalina sudah mendengar terlebih dulu."Ups!" Hanna menutup mulutnya."Pergi ke mana?" tanya Revalina sambil mengerutkan kening."Emm ... anu, Sayang, tidak pergi ke mana-mana, kok."Bunyi bel mengalihkan perhatian mereka. Jumi yang baru saja menyajikan camilan untuk majikannya bergegas membukakan pintu.Tidak berselang lama, Jumi kembali menghampiri majikannya."Maaf, Tuan, Nyonya ... ada beberapa polisi di depan mencari Tuan Raffael.""Polisi, Bi?" tanya Revalina memastikan."Iya, Non."Me
Pagi-pagi sekali keluarga Xie disibukkan dengan kegiatan mengepak baju. Pasalnya, tidak hanya keluarga inti saja yang akan pergi, melainkan Jumi dan James akan ikut serta.Di kamar, Revalina tengah menelepon Cindy. Ia mengajak kedua orang tua untuk ikut bersamanya. Namun, Revalina mendapat kekecewaan. Cindy dan Carlos tidak bisa ikut."Lain kali saja, Sayang. Kita adain liburan lagi," bujuk Raffael.Bibir Revalina mengerucut. "Ini, kan, bukan liburan biasa, Sayang.""Nanti, kalo baby udah lahir, kita berlibur lagi. Kita susun rencana lebih matang agar semua bisa ikut. Bagaimana?"Revalina mengangguk. Kecewanya sedikit terobati ketika Raffael berkata demikian."Sudah siap? Tidak ada barang yang tertinggal, Sayang?""Semua sudah siap," sahut Revalina. "Emmm ... sepertinya sudah lengkap. Barang punya Al, aku, punyamu juga sudah, dan ...""Apa?""Hampir saja lupa. Kamera." Revalina mengambil benda itu di la
Ponsel Raffael berdering, membangunkan dua anak manusia yang tengah saling memeluk di bawah kungkungan selimut.Raffael meraih ponselnya yang ia simpan tak jauh dari jangkauan."Halo, Ma," sapanya saat menerima panggilan."Kamu baru bangun, El?" tanya Hanna."Loh, emangnya jam berapa sekarang?""Jam tujuh pagi, El. Kami semua nunggu kamu dari tadi untuk sarapan."Raffael terkekeh-kekeh. "Maaf, Ma. Kalau begitu kalian sarapan duluan saja. Untuk sarapanku dan Rere tolong minta diantar saja."Baiklah." Hanna menutup sambungan sepihak.Raffael menyimpan ponselnya dan kembali memeluk Revalina dari belakang."Telepon dari siapa?" tanya Revalina."Mama, Sayang. Mereka menunggu kita untuk sarapan.""Astaga! Sudah jam berapa ini?" Revalina beranjak, tetapi ditahan oleh Raffael.Raffael menceritakan apa yang sudah ia perbincangkan dengan Hanna."Tidu
14 Tahun Kemudian."Dek, ayok, nanti kita telat!""Sebentar, Bang. Adek lagi nyari iket rambut!""Ma, iket rambut Adek di mana?!""Sayang, dasi yang warna biru disimpan di mana?!"Begitulah suasana pagi hari di kediaman Xie. Teriakan dari putri dan suami Revalina selalu mengawali pagi sebelum memulai sarapan. Aldevaro yang sudah berusia enam belas tahun dan kini duduk di bangku SMA kelas dua lebih mandiri, bahkan terkadang ia membantu sang mama berkutat di dapur hingga menata sarapan di atas meja makan."Sebentar, ya, Sayang. Mama menemui adik dan papamu. Kamu sarapan duluan saja," kata Revalina kepada Aldevaro."Mama juga, sarapanlah lebih dulu," lanjutnya kepada Hanna.Aldevaro hanya mengangguk dan mulai menyantap sarapannya.Hanna tersenyum menatap kepergian menantunya itu."Nenek kenapa?" tanya Aldevaro."Nenek bangga sama mamamu. Pokoknya, kamu harus selalu say
Prang!Revalina yang sedang mencuci piring dikagetkan dengan jatuhnya gelas yang lepas dari genggaman."Astaga!" serunya kaget."Ada apa, Nak?" tanya Hanna."Ah, maaf, Ma, gelasnya pecah."Sejenak Revalina terdiam. Revalina teringat kepada putra dan putrinya. Mata Hanna menangkap raut cemas di wajah menantunya."Tidak apa, Sayang. Biar Jumi yang bersihkan," tuturnya."Bi, tolong bersihkan," lanjutnya kepada Jumi.Jumi yang sudah siap dengan sapu dan sekop di tangannya segera membersihkan pecahan kaca."Ini biar Jumi yang selesaikan. Kamu istirahat saja," titah Hanna.Revalina menolak. Ia merasa masih tanggung jawabnya juga membersihkan piring-piring kotor bekas mereka gunakan.Telepon rumah berbunyi. Hanna melenggang untuk menerima panggilan."Ya, Tuhan ... ba-baik, Al, kami akan ke rumah sakit," ucap Hanna saat menerima pangilan.Han
Di Xie Company, Raffael tengah disibukkan dengan beberapa dokumen penting yang harus ia tandatangani.Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk!" titahnya."Ini bukankah ponsel Anda, Tuan?" tanya Andi saat berdiri tepat di hadapan bosnya.Raffael meraba saku jas, celana dan tasnya. "Astaga! Iya itu punyaku. Kau temukan di mana?""Ponsel Anda tertinggal di toilet, Tuan. Dan seorang office girl yang menemukan."Raffael mengambil ponselnya dari tangan Andi."Tapi, kata dia tadi ponsel Anda berbunyi terus. Takutnya penting akhirnya dia angkat, Tuan.""Oke, tidak pa-pa. Bilang terima kasih kepadanya."Andi mengangguk, kemudian pergi.Raffael mengecek ponselnya. Benar saja, lima panggilan tak terjawab dari Revalina. Jarinya mengusap layar ponsel mencari nomor sang istri."Ke mana dia? Tumben gak angkat panggilan," gumam Raffael. "Astaga! Apa dia marah karena tadi ada
Tiba di sebuah mall ternama, Revalina dan Xiera mengunjungi berbagai counter brand ternama. Namun, memang pada dasarnya mereka sudah memiliki semuanya, jadi mereka hanya melihat-lihat saja."Ma, belum ada keluaran terbaru. Masa mau beli lagi," ungkap Xiera saat melihat sepatu."Ya, jangan. Anggap saja kita hilangin penat. Kapan lagi papamu pulang siang.""Iya, Mama bener. Tapi, sayang ... nenek gak ikut, ya, Ma."Revalina mengangguk. "Kita bawakan nenek hadiah saja, Nak."Akhirnya dengan antusias, Xiera mencarikan hadiah untuk Hanna."Ma, gak sekalian buat Mbok Jumi?"Revalina tersenyum. "Boleh banget, Sayang. Terserah kamu mau kasih apa."Di sebuah counter perhiasan. Aldevaro dan Raffael tengah asyik memilih kalung berlian. Ayah dan anak itu sedang beradu argumen."Ini terlalu rame, Pa. Pilih yang simpel aja," ujar Aldevaro saat Raffael memilih sebuah kalung."Masa, sih? Ini terlihat canti
Tiba di parkiran rumah, Aldevaro mencoba menjaga sikap. Ia kembali seperti biasa."Akhirnya, sampe juga," ucapnya. "Ayok, para bidadari kita turun," sambungnya dengan nada ceria.Aldevaro merangkul Xiera agar jalan beriringan dengannya."Idih ... bibirnya cemberut terus. Ngalahin pantat ayam tau gak?" ejek Aldevaro membuat Xiera tertawa sekaligus kesal dan terjadilah saling kejar mengejar.Raffael dan Revalina hanya menggeleng melihat tingkah putra-putrinya dan saling melempar senyum."Aww!" rintih Xiera sambil memegang lututnya."Sakit?" tanya Aldevaro."Jelas! Abang, sih, pake ngajak lari-lari, ah!""Ye, Adek yang ngejar Abang.""Sudah, besok kalian sekolah. Sana istirahat. Sudah malam," kata Revalina."Iya, Ma," jawab Aldevaro dan Xiera serempak. Kedua anak itu mencium pipi kanan-kiri sang mama. Pun dengan Revalina, ia selalu menyematkan kecupan di kening mereka.