Di Xie Company, Raffael tengah disibukkan dengan beberapa dokumen penting yang harus ia tandatangani.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.
"Masuk!" titahnya.
"Ini bukankah ponsel Anda, Tuan?" tanya Andi saat berdiri tepat di hadapan bosnya.
Raffael meraba saku jas, celana dan tasnya. "Astaga! Iya itu punyaku. Kau temukan di mana?"
"Ponsel Anda tertinggal di toilet, Tuan. Dan seorang office girl yang menemukan."
Raffael mengambil ponselnya dari tangan Andi.
"Tapi, kata dia tadi ponsel Anda berbunyi terus. Takutnya penting akhirnya dia angkat, Tuan."
"Oke, tidak pa-pa. Bilang terima kasih kepadanya."
Andi mengangguk, kemudian pergi.
Raffael mengecek ponselnya. Benar saja, lima panggilan tak terjawab dari Revalina. Jarinya mengusap layar ponsel mencari nomor sang istri.
"Ke mana dia? Tumben gak angkat panggilan," gumam Raffael. "Astaga! Apa dia marah karena tadi ada
Tiba di sebuah mall ternama, Revalina dan Xiera mengunjungi berbagai counter brand ternama. Namun, memang pada dasarnya mereka sudah memiliki semuanya, jadi mereka hanya melihat-lihat saja."Ma, belum ada keluaran terbaru. Masa mau beli lagi," ungkap Xiera saat melihat sepatu."Ya, jangan. Anggap saja kita hilangin penat. Kapan lagi papamu pulang siang.""Iya, Mama bener. Tapi, sayang ... nenek gak ikut, ya, Ma."Revalina mengangguk. "Kita bawakan nenek hadiah saja, Nak."Akhirnya dengan antusias, Xiera mencarikan hadiah untuk Hanna."Ma, gak sekalian buat Mbok Jumi?"Revalina tersenyum. "Boleh banget, Sayang. Terserah kamu mau kasih apa."Di sebuah counter perhiasan. Aldevaro dan Raffael tengah asyik memilih kalung berlian. Ayah dan anak itu sedang beradu argumen."Ini terlalu rame, Pa. Pilih yang simpel aja," ujar Aldevaro saat Raffael memilih sebuah kalung."Masa, sih? Ini terlihat canti
Tiba di parkiran rumah, Aldevaro mencoba menjaga sikap. Ia kembali seperti biasa."Akhirnya, sampe juga," ucapnya. "Ayok, para bidadari kita turun," sambungnya dengan nada ceria.Aldevaro merangkul Xiera agar jalan beriringan dengannya."Idih ... bibirnya cemberut terus. Ngalahin pantat ayam tau gak?" ejek Aldevaro membuat Xiera tertawa sekaligus kesal dan terjadilah saling kejar mengejar.Raffael dan Revalina hanya menggeleng melihat tingkah putra-putrinya dan saling melempar senyum."Aww!" rintih Xiera sambil memegang lututnya."Sakit?" tanya Aldevaro."Jelas! Abang, sih, pake ngajak lari-lari, ah!""Ye, Adek yang ngejar Abang.""Sudah, besok kalian sekolah. Sana istirahat. Sudah malam," kata Revalina."Iya, Ma," jawab Aldevaro dan Xiera serempak. Kedua anak itu mencium pipi kanan-kiri sang mama. Pun dengan Revalina, ia selalu menyematkan kecupan di kening mereka.
"Ini bekal Adek," ucap Revalina sambil memberikan kotak nasi kepada Xiera."Dan ini punya Abang." Revalina menyimpan kotak nasi di tempat Aldevaro duduk."Loh, punya Papa mana?" tanya Raffael."Spesial buat Papa, nanti Mama yang anterin ke kantor.""Asyik. Papa tunggu.""Loh, Abang kenapa berdiri di situ?" Revalina melihat Aldevaro diam mematung seakan-akan sedang memperhatikan dirinya. Hati Revalina bertanya-tanya, ada apa dengan putranya karena Aldevaro menatapnya dengan cara berbeda.Aldevaro tersenyum, kemudian mendekat. "Ini ponsel Papa, ada di laci.""Makasih, Al," kata Raffael."Dek, udah belom makannya? Hari ini Abang gak bawa motor. Mau diantar sopir aja," tutur Aldevaro."Udah, ayok.""Tumben, Al. Kenapa?" tanya Raffael."Lagi males, Pa."Ada rasa tenang dalam diri Revalina karena putra-putrinya tidak menggunakan motor."Mama harap setiap hari diantar so
Jam delapan malam, terdengar suara mobil terparkir di halaman kediaman Xie. Ravalina bergegas membuka pintu dan berharap Aldevaro yang datang. Benar saja, saat pintu ia buka, Aldevaro baru saja turun dari mobil.Revalina menyambut kedatangan sang putra dengan suka cita. "Udah dari mana, Sayang?"Bukannya menjawab, Aldevaro menerobos masuk melewati Revalina yang diam mematung melihat tingkah aneh sang putra."Nak, tunggu Mama, Sayang. Kamu kenapa?" tanya Revalina penasaran sambil mengikuti Aldevaro menaiki anak tangga.Raffael dan Hanna yang mendengar kegaduhan pun menghampiri."Al, Mama mohon ceritalah, ada apa, Nak?"Aldevaro dan Revalina saling mendorong daun pintu. Aldevaro mendorong untuk menutup dan Revalina memaksa untuk membuka hingga pada akhirnya ..."Aaaaaa!" teriak Revalina."Astaga!" pekik Raffael."Aldevaro, buka pintunya! Jari Mamamu terjepit!" lanjut Raffael berter
Setelah Revalina tenang, Raffael pergi ke kantor karena memang ada rapat penting. Carlos yang semula akan pergi menemui rekan bisnisnya bersama Cindy memutuskan jika dirinya yang pergi dan membiarkan Cindy menemani Revalina."Masalah tak hentinya datang menerpa rumah tanggaku" ucap Revalina."Sayang, bersabarlah. Ini adalah ujian. Ujian kita bersama. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan manusia," kata cindy."Semua manusia pasti pernah mendapatkan ujian dalam hidup. Tuhan memberikan ujian kepada manusia untuk mengetahui siapa manusia yang amalnya terbaik," timpal Hanna. "Jadi, bersabarlah, kita cari jalan keluar bersama, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Putramu berada dalam fase ini. Nanti, jika dia menyadari siapa yang benar dan siapa yang salah, yakinlah ... dia akan kembali bersama kita," lanjutnya sambil menggenggam tangan Revalina.Cindy mengangguk ikut membenarkan apa yang dikatakan oleh Hanna."
Tidak terasa sudah dua minggu Aldevaro meninggalkan kediaman Xie. Pun ia tidak tinggal di apartemen melainkan tinggal bersama Casandra. Pemuda itu jelas-jelas ingin merasakan dekapan dan belaian dari seorang ibu kandung.Hari-hari yang ia lalui di sana sudah jelas berbeda ketika dirinya tinggal bersama keluarga Xie. Casandra sangat cuek bahkan benar apa kata Elbert, jika Casandra tidak pernah menyiapkan sarapan apalagi menyediakan makan untuk bekal. Jangankan hal itu, pelukan serta ciuman yang biasa didapatkan dari Revalina tidak ia rasakan. Sungguh tidak sesuai dengan harapannya. Namun, Aldevaro mencoba mengerti dimana Casandra adalah seorang pebisnis yang sibuk, sedangkan Revalina hanya seorang ibu rumah tangga saja.Hari Minggu yang biasa ia habiskan dengan berolahraga pagi bersama keluarga, kini setelah sarapan, ia lalui dengan berdiam diri di kamar ditemani Elbert."Gak nyangka gue. Ternyata elu Abang gue," kata Elbert sambil rebahan di kamar Al
Tiba di rumah, Revalina tetap saja diam membuat Raffael dan Xiera serba salah. Hanna yang melihat sang menantu seperti itu tentu saja bertanya."Ada apa, Nak?""Rere merasa heran, Ma. Sebenarnya apa yang sudah Casandra katakan kepada Al? Sampe-sampe Al mengatakan jika Rere yang jauhin dia dari mama kandungnya," ungkap Revalina dengan kesal.Hanna mengusap pundak Revalina mencoba menenangkan. "Sabarlah, Nak. Lambat-laun juga Al pasti sadar.""Apa Al diancam? Iya?" Revalina bertanya dengan khawatir sambil menatap Hanna dan Raffael bergantian."Tidak! Aku yakin tidak," kata Raffael."Lalu, apa?""Kita pantau Al melalui Ferdy, Nak. Pokoknya, di manapun Aldevaro berada dia tetap dalam pengawasan kita. Bukan begitu, El?""Tentu, Ma."Revalina menghela napas, kemudian meminta izin untuk pergi ke kamar dan diikuti oleh Raffael.Di kamar, Revalina duduk di tepi ranjang, kemudian matanya menatap bing
Suara bel yang begitu nyaring tidak Xiera indahkan. Gadis itu masih setia duduk di bangku taman. Hatinya masih merasa kesal kepada kedua kakaknya."Dengan Non Xiera?" tanya seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tukang penjaga kebun."Eh, iya, Mang. Ada apa?""Anu ... Non dipanggil guru BP."Xiera menghapus air matanya. "Iya, Mang. Maaf, merepotkan Mamang. Mamang pasti cari-cari Rara, ya?"Pria itu tersenyum dan mengatakan bahwa sama sekali tidak ada yang direpotkan.Xiera melangkah dengan gontai menuju ruang BP. Ia sudah pasrah dengan risiko yang akan ia terima."Selamat siang, Pak. Bapak manggil saya?" tanya Xiera saat tiba di ruang BP."Iya, silakan duduk."Xiera duduk tepat di hadapan sang guru."Kamu tau, kan, kenapa saya sampai memanggil kamu?"Xiera mengangguk. "Iya, tau, Pak."Guru BP itu menyebutkan sanksi yang harus Xiera jalani, yaitu membersihkan kantin sepul
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald