14 Tahun Kemudian.
"Dek, ayok, nanti kita telat!""Sebentar, Bang. Adek lagi nyari iket rambut!"
"Ma, iket rambut Adek di mana?!"
"Sayang, dasi yang warna biru disimpan di mana?!"
Begitulah suasana pagi hari di kediaman Xie. Teriakan dari putri dan suami Revalina selalu mengawali pagi sebelum memulai sarapan. Aldevaro yang sudah berusia enam belas tahun dan kini duduk di bangku SMA kelas dua lebih mandiri, bahkan terkadang ia membantu sang mama berkutat di dapur hingga menata sarapan di atas meja makan.
"Sebentar, ya, Sayang. Mama menemui adik dan papamu. Kamu sarapan duluan saja," kata Revalina kepada Aldevaro.
"Mama juga, sarapanlah lebih dulu," lanjutnya kepada Hanna.
Aldevaro hanya mengangguk dan mulai menyantap sarapannya.
Hanna tersenyum menatap kepergian menantunya itu.
"Nenek kenapa?" tanya Aldevaro.
"Nenek bangga sama mamamu. Pokoknya, kamu harus selalu say
Prang!Revalina yang sedang mencuci piring dikagetkan dengan jatuhnya gelas yang lepas dari genggaman."Astaga!" serunya kaget."Ada apa, Nak?" tanya Hanna."Ah, maaf, Ma, gelasnya pecah."Sejenak Revalina terdiam. Revalina teringat kepada putra dan putrinya. Mata Hanna menangkap raut cemas di wajah menantunya."Tidak apa, Sayang. Biar Jumi yang bersihkan," tuturnya."Bi, tolong bersihkan," lanjutnya kepada Jumi.Jumi yang sudah siap dengan sapu dan sekop di tangannya segera membersihkan pecahan kaca."Ini biar Jumi yang selesaikan. Kamu istirahat saja," titah Hanna.Revalina menolak. Ia merasa masih tanggung jawabnya juga membersihkan piring-piring kotor bekas mereka gunakan.Telepon rumah berbunyi. Hanna melenggang untuk menerima panggilan."Ya, Tuhan ... ba-baik, Al, kami akan ke rumah sakit," ucap Hanna saat menerima pangilan.Han
Di Xie Company, Raffael tengah disibukkan dengan beberapa dokumen penting yang harus ia tandatangani.Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk!" titahnya."Ini bukankah ponsel Anda, Tuan?" tanya Andi saat berdiri tepat di hadapan bosnya.Raffael meraba saku jas, celana dan tasnya. "Astaga! Iya itu punyaku. Kau temukan di mana?""Ponsel Anda tertinggal di toilet, Tuan. Dan seorang office girl yang menemukan."Raffael mengambil ponselnya dari tangan Andi."Tapi, kata dia tadi ponsel Anda berbunyi terus. Takutnya penting akhirnya dia angkat, Tuan.""Oke, tidak pa-pa. Bilang terima kasih kepadanya."Andi mengangguk, kemudian pergi.Raffael mengecek ponselnya. Benar saja, lima panggilan tak terjawab dari Revalina. Jarinya mengusap layar ponsel mencari nomor sang istri."Ke mana dia? Tumben gak angkat panggilan," gumam Raffael. "Astaga! Apa dia marah karena tadi ada
Tiba di sebuah mall ternama, Revalina dan Xiera mengunjungi berbagai counter brand ternama. Namun, memang pada dasarnya mereka sudah memiliki semuanya, jadi mereka hanya melihat-lihat saja."Ma, belum ada keluaran terbaru. Masa mau beli lagi," ungkap Xiera saat melihat sepatu."Ya, jangan. Anggap saja kita hilangin penat. Kapan lagi papamu pulang siang.""Iya, Mama bener. Tapi, sayang ... nenek gak ikut, ya, Ma."Revalina mengangguk. "Kita bawakan nenek hadiah saja, Nak."Akhirnya dengan antusias, Xiera mencarikan hadiah untuk Hanna."Ma, gak sekalian buat Mbok Jumi?"Revalina tersenyum. "Boleh banget, Sayang. Terserah kamu mau kasih apa."Di sebuah counter perhiasan. Aldevaro dan Raffael tengah asyik memilih kalung berlian. Ayah dan anak itu sedang beradu argumen."Ini terlalu rame, Pa. Pilih yang simpel aja," ujar Aldevaro saat Raffael memilih sebuah kalung."Masa, sih? Ini terlihat canti
Tiba di parkiran rumah, Aldevaro mencoba menjaga sikap. Ia kembali seperti biasa."Akhirnya, sampe juga," ucapnya. "Ayok, para bidadari kita turun," sambungnya dengan nada ceria.Aldevaro merangkul Xiera agar jalan beriringan dengannya."Idih ... bibirnya cemberut terus. Ngalahin pantat ayam tau gak?" ejek Aldevaro membuat Xiera tertawa sekaligus kesal dan terjadilah saling kejar mengejar.Raffael dan Revalina hanya menggeleng melihat tingkah putra-putrinya dan saling melempar senyum."Aww!" rintih Xiera sambil memegang lututnya."Sakit?" tanya Aldevaro."Jelas! Abang, sih, pake ngajak lari-lari, ah!""Ye, Adek yang ngejar Abang.""Sudah, besok kalian sekolah. Sana istirahat. Sudah malam," kata Revalina."Iya, Ma," jawab Aldevaro dan Xiera serempak. Kedua anak itu mencium pipi kanan-kiri sang mama. Pun dengan Revalina, ia selalu menyematkan kecupan di kening mereka.
"Ini bekal Adek," ucap Revalina sambil memberikan kotak nasi kepada Xiera."Dan ini punya Abang." Revalina menyimpan kotak nasi di tempat Aldevaro duduk."Loh, punya Papa mana?" tanya Raffael."Spesial buat Papa, nanti Mama yang anterin ke kantor.""Asyik. Papa tunggu.""Loh, Abang kenapa berdiri di situ?" Revalina melihat Aldevaro diam mematung seakan-akan sedang memperhatikan dirinya. Hati Revalina bertanya-tanya, ada apa dengan putranya karena Aldevaro menatapnya dengan cara berbeda.Aldevaro tersenyum, kemudian mendekat. "Ini ponsel Papa, ada di laci.""Makasih, Al," kata Raffael."Dek, udah belom makannya? Hari ini Abang gak bawa motor. Mau diantar sopir aja," tutur Aldevaro."Udah, ayok.""Tumben, Al. Kenapa?" tanya Raffael."Lagi males, Pa."Ada rasa tenang dalam diri Revalina karena putra-putrinya tidak menggunakan motor."Mama harap setiap hari diantar so
Jam delapan malam, terdengar suara mobil terparkir di halaman kediaman Xie. Ravalina bergegas membuka pintu dan berharap Aldevaro yang datang. Benar saja, saat pintu ia buka, Aldevaro baru saja turun dari mobil.Revalina menyambut kedatangan sang putra dengan suka cita. "Udah dari mana, Sayang?"Bukannya menjawab, Aldevaro menerobos masuk melewati Revalina yang diam mematung melihat tingkah aneh sang putra."Nak, tunggu Mama, Sayang. Kamu kenapa?" tanya Revalina penasaran sambil mengikuti Aldevaro menaiki anak tangga.Raffael dan Hanna yang mendengar kegaduhan pun menghampiri."Al, Mama mohon ceritalah, ada apa, Nak?"Aldevaro dan Revalina saling mendorong daun pintu. Aldevaro mendorong untuk menutup dan Revalina memaksa untuk membuka hingga pada akhirnya ..."Aaaaaa!" teriak Revalina."Astaga!" pekik Raffael."Aldevaro, buka pintunya! Jari Mamamu terjepit!" lanjut Raffael berter
Setelah Revalina tenang, Raffael pergi ke kantor karena memang ada rapat penting. Carlos yang semula akan pergi menemui rekan bisnisnya bersama Cindy memutuskan jika dirinya yang pergi dan membiarkan Cindy menemani Revalina."Masalah tak hentinya datang menerpa rumah tanggaku" ucap Revalina."Sayang, bersabarlah. Ini adalah ujian. Ujian kita bersama. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan manusia," kata cindy."Semua manusia pasti pernah mendapatkan ujian dalam hidup. Tuhan memberikan ujian kepada manusia untuk mengetahui siapa manusia yang amalnya terbaik," timpal Hanna. "Jadi, bersabarlah, kita cari jalan keluar bersama, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Putramu berada dalam fase ini. Nanti, jika dia menyadari siapa yang benar dan siapa yang salah, yakinlah ... dia akan kembali bersama kita," lanjutnya sambil menggenggam tangan Revalina.Cindy mengangguk ikut membenarkan apa yang dikatakan oleh Hanna."
Tidak terasa sudah dua minggu Aldevaro meninggalkan kediaman Xie. Pun ia tidak tinggal di apartemen melainkan tinggal bersama Casandra. Pemuda itu jelas-jelas ingin merasakan dekapan dan belaian dari seorang ibu kandung.Hari-hari yang ia lalui di sana sudah jelas berbeda ketika dirinya tinggal bersama keluarga Xie. Casandra sangat cuek bahkan benar apa kata Elbert, jika Casandra tidak pernah menyiapkan sarapan apalagi menyediakan makan untuk bekal. Jangankan hal itu, pelukan serta ciuman yang biasa didapatkan dari Revalina tidak ia rasakan. Sungguh tidak sesuai dengan harapannya. Namun, Aldevaro mencoba mengerti dimana Casandra adalah seorang pebisnis yang sibuk, sedangkan Revalina hanya seorang ibu rumah tangga saja.Hari Minggu yang biasa ia habiskan dengan berolahraga pagi bersama keluarga, kini setelah sarapan, ia lalui dengan berdiam diri di kamar ditemani Elbert."Gak nyangka gue. Ternyata elu Abang gue," kata Elbert sambil rebahan di kamar Al