Raffael dan keluarga tiba di tanah air pada malam hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih dari lima belas jam.
"Kau pasti lelah, Sayang. Istirahat langsung, ya," kata Raffael saat memasukan koper ke dalam kamarnya. "Sini, Al yang aku tidurin di kamarnya," lanjutnya sambil merengkuh putranya dalam gendongan Revalina.
Mata Revalina menyisir setiap sudut kamar.
"Ada apa, hm?"
"Aku rindu kamar ini," jawab Revalina.
Raffael memeluk istrinya dari belakang. "Aku pun rindu tidur denganmu di kamar ini. Oh, ya, apa masih pendarahan? Kalau masih, besok kita cek ke dokter lagi."
Revalina berbalik badan. "Udah enggak. Tapi, ingat kata dokter, ya?"
"Apa?"
"Hemmm ... jangan pura-pura lupa, deh, Sayang. Itu, tuh ...,"
Raffael tersenyum sambil merapatkan badannya. "Iya, apa? Coba katakan."
Revalina berbisik. "Ber-cin-ta," ucapnya mengeja.
Bukannya mendengarkan apa kata sang istri, j
Revalina tengah sibuk menata barang-barang di kamar barunya. Ia sibuk mencari pernak-pernik berwarna pink di salah satu online shop."Sayang, lucu-lucu barangnya. Aku pesan, ya? Boleh, kan?" tanya Revalina seraya memperlihatkan barang tersebut dalam ponselnya.Tidak ingin sang istri merasa kecewa, Raffael tentu saja memperbolehkan wanitanya membeli apa saja yang dimau. Dari itu, Raffael menebak jika sang jabang bayi mereka berjenis kelamin perempuan.""Apa kau menginginkan bayi perempuan?" tanya Raffael."Entahlah. Apa pun itu aku terima. Tapi, perasaanku mengatakan jika aku sedang mengandung bayi perempuan," jawab Revalina.Suara ketukan pintu terdengar oleh Revalina. Gegas ia membukanya."Eh, Mama. Masuk, Ma.""Waaah, kamarnya indah sekali, Re. Seperti punya anak perempuan kalau begini," ucap Hanna diiringi senyum. Mata wanita paruh baya itu menangkap Raffael sedang mengangkat kedua bahunya. Ia ta
Revalina lebih memilih menghindar. Menghindar bukan berarti masalah tidak ingin selesai, tetapi ia ingin menghindari perdebatan. Wanita itu gegas meninggalkan kantor. Pada saat membuka pintu, tampak Karina tengah mengambil dokumen di mejanya."Tolong katakan kepada suamiku, aku pulang!" ucap Revalina dingin, kemudian melangkah. Namun, langkahnya terhenti dan kembali berbalik. "Tunggu! Kau bekerja di sini diterima oleh siapa?""Maaf, Nona. Satu bulan yang lalu saya melamar di perusahaan Tuan Carlos, tapi beliau menyuruhku kerja di perusahaan ini.""Maksudmu ... Carlos Diego?""Benar, Nona.""Baiklah, kau boleh pergi dan jangan lupa pesanku."Karina menundukkan kepala pertanda hormat kepada Revalina, kemudian kembali ke ruang meeting.Sambil menyusuri lorong, Revalina menghubungi Carlos."Papa, kenapa Papa menyuruh Karina untuk menjadi sekretaris suamiku?" cerca Revalina saat Carlos menerima panggilannya.
5 Bulan Kemudian.Setelah kejadian perdebatan di kantor mengenai Karina, akhirnya Raffael memutuskan untuk memecat sekretarisnya itu dan menggantinya dengan sekretaris laki-laki. Dirinya tidak menyangka jika rasa trauma yang dialami Revalina berujung pada rasa cemburu dan posesif yang berlebihan. Namun, Raffael tidak mempermasalahkan hal itu. Ia jadikan rasa itu adalah kekuatan cinta Revalina untuknya.Kini, usia kandungan Revalina sudah menginjak delapan bulan. Seperti biasa, setiap harinya Revalina akan mengikuti ke mana Raffael pergi. Seperti sekarang, Raffael akan mengajar. Sedari pagi Revalina sudah bergelayut manja pada dirinya."Kau tidak lelah, Sayang? Kandunganmu sudah besar, loh," kata Raffael."Gak usah bahas itu lagi. Pokoknya aku akan ikut ke mana pun kau pergi," sahutnya dengan nada manja.Revalina tidak peduli orang berkata apa. Yang jelas, ia bahagia menjalani hari-harinya."Ma ... iku," ucap Ald
Hari berganti malam.Revalina dan keluarga menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi. Raffael menceritakan kejadian tadi siang yang menimpa Revalina di kampus.Hanna benar-benar tidak menyangka jika Kitty akan berbuat seperti itu."Lalu, apa besok kalian jadi pergi?Raffael memberi isyarat kepada sang mama untuk tidak bicara. Akan tetapi, Revalina sudah mendengar terlebih dulu."Ups!" Hanna menutup mulutnya."Pergi ke mana?" tanya Revalina sambil mengerutkan kening."Emm ... anu, Sayang, tidak pergi ke mana-mana, kok."Bunyi bel mengalihkan perhatian mereka. Jumi yang baru saja menyajikan camilan untuk majikannya bergegas membukakan pintu.Tidak berselang lama, Jumi kembali menghampiri majikannya."Maaf, Tuan, Nyonya ... ada beberapa polisi di depan mencari Tuan Raffael.""Polisi, Bi?" tanya Revalina memastikan."Iya, Non."Me
Pagi-pagi sekali keluarga Xie disibukkan dengan kegiatan mengepak baju. Pasalnya, tidak hanya keluarga inti saja yang akan pergi, melainkan Jumi dan James akan ikut serta.Di kamar, Revalina tengah menelepon Cindy. Ia mengajak kedua orang tua untuk ikut bersamanya. Namun, Revalina mendapat kekecewaan. Cindy dan Carlos tidak bisa ikut."Lain kali saja, Sayang. Kita adain liburan lagi," bujuk Raffael.Bibir Revalina mengerucut. "Ini, kan, bukan liburan biasa, Sayang.""Nanti, kalo baby udah lahir, kita berlibur lagi. Kita susun rencana lebih matang agar semua bisa ikut. Bagaimana?"Revalina mengangguk. Kecewanya sedikit terobati ketika Raffael berkata demikian."Sudah siap? Tidak ada barang yang tertinggal, Sayang?""Semua sudah siap," sahut Revalina. "Emmm ... sepertinya sudah lengkap. Barang punya Al, aku, punyamu juga sudah, dan ...""Apa?""Hampir saja lupa. Kamera." Revalina mengambil benda itu di la
Ponsel Raffael berdering, membangunkan dua anak manusia yang tengah saling memeluk di bawah kungkungan selimut.Raffael meraih ponselnya yang ia simpan tak jauh dari jangkauan."Halo, Ma," sapanya saat menerima panggilan."Kamu baru bangun, El?" tanya Hanna."Loh, emangnya jam berapa sekarang?""Jam tujuh pagi, El. Kami semua nunggu kamu dari tadi untuk sarapan."Raffael terkekeh-kekeh. "Maaf, Ma. Kalau begitu kalian sarapan duluan saja. Untuk sarapanku dan Rere tolong minta diantar saja."Baiklah." Hanna menutup sambungan sepihak.Raffael menyimpan ponselnya dan kembali memeluk Revalina dari belakang."Telepon dari siapa?" tanya Revalina."Mama, Sayang. Mereka menunggu kita untuk sarapan.""Astaga! Sudah jam berapa ini?" Revalina beranjak, tetapi ditahan oleh Raffael.Raffael menceritakan apa yang sudah ia perbincangkan dengan Hanna."Tidu
14 Tahun Kemudian."Dek, ayok, nanti kita telat!""Sebentar, Bang. Adek lagi nyari iket rambut!""Ma, iket rambut Adek di mana?!""Sayang, dasi yang warna biru disimpan di mana?!"Begitulah suasana pagi hari di kediaman Xie. Teriakan dari putri dan suami Revalina selalu mengawali pagi sebelum memulai sarapan. Aldevaro yang sudah berusia enam belas tahun dan kini duduk di bangku SMA kelas dua lebih mandiri, bahkan terkadang ia membantu sang mama berkutat di dapur hingga menata sarapan di atas meja makan."Sebentar, ya, Sayang. Mama menemui adik dan papamu. Kamu sarapan duluan saja," kata Revalina kepada Aldevaro."Mama juga, sarapanlah lebih dulu," lanjutnya kepada Hanna.Aldevaro hanya mengangguk dan mulai menyantap sarapannya.Hanna tersenyum menatap kepergian menantunya itu."Nenek kenapa?" tanya Aldevaro."Nenek bangga sama mamamu. Pokoknya, kamu harus selalu say
Prang!Revalina yang sedang mencuci piring dikagetkan dengan jatuhnya gelas yang lepas dari genggaman."Astaga!" serunya kaget."Ada apa, Nak?" tanya Hanna."Ah, maaf, Ma, gelasnya pecah."Sejenak Revalina terdiam. Revalina teringat kepada putra dan putrinya. Mata Hanna menangkap raut cemas di wajah menantunya."Tidak apa, Sayang. Biar Jumi yang bersihkan," tuturnya."Bi, tolong bersihkan," lanjutnya kepada Jumi.Jumi yang sudah siap dengan sapu dan sekop di tangannya segera membersihkan pecahan kaca."Ini biar Jumi yang selesaikan. Kamu istirahat saja," titah Hanna.Revalina menolak. Ia merasa masih tanggung jawabnya juga membersihkan piring-piring kotor bekas mereka gunakan.Telepon rumah berbunyi. Hanna melenggang untuk menerima panggilan."Ya, Tuhan ... ba-baik, Al, kami akan ke rumah sakit," ucap Hanna saat menerima pangilan.Han
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald