Sore hari, Revalina sudah sadarkan diri. Raut kecemasan di wajah orang tua, kakek dan nenek akhirnya memudar.
"Sayang, apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Cindy. "Apa mau makan buah, rujak atau ...,"
"Tidak, Ma." Revalina memotong ucapan sang mama sambil tersenyum.
"Syukurlah kalau kamu sudah sadar, Nak," ucap Carlos.
Kedua netra Revalina menyapu ruangan. Dinding putih dengan sedikit bau obat yang menyeruak dan selang infus yang terpasang membuat ia sadar jika dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Kenapa Rere bisa di sini?"
"Kamu pingsan, Sayang," jawab Cindy.
Revalina mencoba untuk duduk, tetapi kepalanya terasa pusing. "Awww!" pekiknya seraya memegang kepala.
"Jangan banyak bergerak. Tidur saja, Nak," kata Carlos.
Revalina bergeming.
"Sayang, kenapa?" tanya Cindy.
"Maaf, acara makan-makannya jadi batal," sesal Revalina.
Cindy mengatakan, jika acara terse
Malam itu juga, Raffael meminta waktu untuk menjelaskan semua permasalahan yang ada.Hanna menghampiri Revalina. Wanita paruh baya itu menangis dan mencium kening menantunya itu. "Mama mohon, dengarkan penjelasan kami dulu, Sayang. Setelah itu, terserah kamu mau tetap bercerai dengan Raffael atau tidak. Mama sangat menghargai keputusanmu."Revalina hanya mengangguk."Kakak ke luar dulu, ya?" pamit Rian."Kakak, kan, calon suamiku. Jadi, lebih baik di sini saja," kata Revalina yang disetujui oleh Rian, walau sebenar pria itu tahu jika Revalina hanya memanfaatkan situasi.Raffael mencoba menahan rasa cemburunya. Yang terpenting untuknya saat itu adalah penjelasan. Ia pun meminta Maria untuk menjelaskan duduk perkara.Sambil tertunduk, Maria berkata, "Ma-maafkan aku. Sebenarnya a-aku menjebak suamimu."Maria mulai bercerita."Hahahaha ... begitu mudahnya para wanita itu jatuh hati kepada kita, y
Jam makan malam pun tiba.Raffael memenuhi janjinya untuk makan malam bersama Amanda demi sebuah informasi. Tak jauh memang, mereka menikmati makan malam di sebuah restoran hotel mereka menginap. Jamuan istimewa Raffael terima. Tanpa menaruh curiga, pria itu menikmati minuman yang ada di hadapannya yang ternyata sudah Amanda campur dengan obat perangsang. Pada saat itu Amanda bergegas mengirim pesan kepada Maria.Maria yang menerima pesan dari Amanda segera memasuki kamar Raffael. Ia bekerja sama dengan oknum pelayan hotel untuk memasangkan mini CCTV infrared. Pun ia meminta ketika Raffael masuk agar mematikan aliran listrik. Setelah CCTV terpasang, Maria mengganti pakaiannya dengan mini dress. Tak lupa ia menyemprotkan parfum yang selalu Revalina pakai, yaitu aroma lavender.Di restoran, Raffael tengah merasakan hal yang luar biasa. Hawa panas menjalar di sekujur tubuh. Ia merasa yakin jika Amanda yang menjebaknya. Pria itu meninggalkan Amanda meski
Rian menekan tombol darurat hingga akhirnya seorang dokter dan perawat datang.Dokter itu meminta agar semua orang ke luar dan langsung memeriksa kondisi Revalina.Di luar, semua orang terlihat sangat cemas, terlebih lagi Raffael. Hanna mencoba menenangkan putranya. "Berdoa saja, semoga tidak ada hal buruk yang menimpa Revalina."Tidak berselang lama, dokter ke luar."Bagaimana istri saya, Dok?" tanya Raffael."Tolong, saya sudah katakan kepada keluarga pasien, kan? Jaga emosi dan pikiran pasien. Kandungannya sangat lemah. Tadi pasien mengalami kram perut dan pendarahan."Semua yang mendengar penuturan sang dokter pun kaget bahkan Cindy dan Hanna menangis."Lalu, bagaimana sekarang, Dok?" tanya Carlos."Kita patut bersyukur karena pasien tidak mengalami keguguran. Saya rasa cukup untuk mengingatkan keluarga pasien harus seperti apa," ungkap sang dokter. "Saya permisi," lanjutnya kemudia
Pagi menjelang.Mata indah milik Revalina terbuka. Merasa ada sesuatu yang melingkar di perut, ia pun merubah posisi tidurnya. Ternyata semalaman Raffael tidak melepaskan pelukan.Kini, wajah Revalina dan Raffael saling berhadapan. Walau ragu, Revalina membelai pipi sang pria membuat sang pemilik pipi terbangun.Raffael membuka matanya kemudian tersenyum dan menyapa, "Pagi, Sayang."Tidak ada jawaban dari Revalina. Tangannya terus bergerilya mengusap leher. "Berapa hari kau tidak makan?""Aku makan terus," jawab Raffael.Revalina mengusap rambut. "Kapan terakhir kau ke salon untuk membersihkan dan memotong rambut?"Raffael hanya tersenyum menanggapi."Jam berapa kau tidur setiap malam?" tanyanya lagi saat mengusap kedua mata Raffael.Raffael tidak menjawab. Ia menggenggam tangan Revalina."Selera makanku hilang karena kamu tidak menyediakan. Aku tidak bisa tidur kare
Di hotel, Maria melihat kabar infotainment mengenai dirinya. Berita tentang gagalnya menikah dengan Raffael hingga hamil di luar nikah tengah santer diperbincangkan."Aarrrggghh! Kurang ajar!" teriak Maria kesal.Roni yang baru saja ke luar dari kamar mandi, sontak menghampiri."Ada apa?"Napas Maria memburu dan mendekati Roni. "Ini semua gara-gara kamu! Aku benci!""Tenang dulu. Ada apa?""Lihat!" seru Maria sambil menunjuk televisi.Roni mengikuti ke mana arah Maria menunjuk."Lalu, apa yang harus aku lakukan?""Gara-gara kamu aku hamil dan kenapa kamu muncul di saat aku akan menikah dengan Raffael!"Roni membuang napas kasar. "Hey, kau lupa siapa yang selalu menggodaku? Kau selalu datang ke tempatku dan merayuku untuk berhubungan badan denganmu! Aku lelaki normal Maria! Aku ayah biologis janin dalam rahimmu, kenapa harus Raffael yang bertanggung jawab?! Satu hal yang perlu kau tau,
Rasa mual yang mendera membuat Revalina terbangun dari tidur dan berlari ke kamar mandi. Raffael yang merasa terusik pun ikut membuka mata."Astaga! Jam berapa ini?" gumam Raffael seraya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ya, ampun, sudah jam lima sore.""Uwoook ... uwoook!"Raffael mendengar seseorang muntah. Gegas ia turun dari ranjang dan berlari ke arah suara."Astaga, Sayang." Raffael memijat tengkuk sang istri. Pria itu sangat sabar dan tanpa merasa jijik ia membersihkan sisa-sisa muntahan di wastafel serta mulut Revalina."Sini, aku gendong."Revalina tersenyum. "Tidak usah. Masih kuat jalan, kok."Tanpa persetujuan Revalina, Raffael mengangkat tubuh wanitanya. "Lain kali, kalau mau ke kamar mandi, bangunin. Biar aku gendong," ucapnya sambil menatap wajah sang istri.Revalina mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk suaminya. "Aku masih bisa jalan, ih."Raffael merebahkan
Revalina tampak senang bahkan puas setelah mengerjai suaminya. Senyum terus tersungging dari bibir ranumnya."Sayang, jangan marah," ucap Revalina dengan nada manja sambil memeluk suaminya dari belakang. "Sini aku bantu keringin rambutnya," sambung Revalina sambil meraih handuk kecil dari tangan Raffael.Raffael membalikan badan. "Aku tidak marah, Sayang. Asal kau senang, akan aku lakukan.""Iiih ... sweet, makin sayang, deh.""Apalagi aku, tambah sayang, sayang, sayang," cetus Raffael sambil menghujani bibir Revalina dengan ciuman.Ponsel Raffael berdering."Biar aku ambil." Revalina meraih benda pipih milik suaminya di atas nakas."Ada apa?" tanya Raffael pada sambungan telepon."Maaf, Tuan. Perusahaan membutuhkan Anda. Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangan.""Baiklah. Esok lusa aku kembali ke kantor."Sambungan telepon terputus."Ada apa?""
Raffael dan keluarga tiba di tanah air pada malam hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih dari lima belas jam."Kau pasti lelah, Sayang. Istirahat langsung, ya," kata Raffael saat memasukan koper ke dalam kamarnya. "Sini, Al yang aku tidurin di kamarnya," lanjutnya sambil merengkuh putranya dalam gendongan Revalina.Mata Revalina menyisir setiap sudut kamar."Ada apa, hm?""Aku rindu kamar ini," jawab Revalina.Raffael memeluk istrinya dari belakang. "Aku pun rindu tidur denganmu di kamar ini. Oh, ya, apa masih pendarahan? Kalau masih, besok kita cek ke dokter lagi."Revalina berbalik badan. "Udah enggak. Tapi, ingat kata dokter, ya?""Apa?""Hemmm ... jangan pura-pura lupa, deh, Sayang. Itu, tuh ...,"Raffael tersenyum sambil merapatkan badannya. "Iya, apa? Coba katakan."Revalina berbisik. "Ber-cin-ta," ucapnya mengeja.Bukannya mendengarkan apa kata sang istri, j