Mario menikmati hidangan makan malam. Dia tersenyum puas dengan kualitas rasa dari ayam panggang khas restoran istrinya ini.
Usai mengusap mulut dengan tisu, dia baru berkomentar, "kayaknya ini kalau kamu yang masak, jadinya malah kemanisan, tapi ini enak loh.""Mengejek, lalu memuji," sahut Vena menahan tawa. Dia juga sudah selesai makan, jadi langsung mengelap mulut dengan tisu."Tapi serius Sayang, pantas orang-orang betah makan di sini, enak. Padahal harga juga murah, tapi kualitas bintang lima.""Bisa saja kamu."Mario tergelak. Dia kembali memuji, "harusnya kamu nambah menu mie.""Mie? Perasaan kamu bilang harus fokus ke ayam-ayam dulu?""Iya, sih." Mario masih tergelak. Dia lalu berkata lagi, "cuma kayaknya ini ladang bisnis yang menjanjikan. Kita lihat progressnya bulan depan, jika bagus, kamu bisa nambah menu andalan mie dengan campuran ayam madu. Bagaimana?"Vena mengangguk. "Aku juga maunya begitu, dSetelah sampai di dalam kamar hotel, Mario langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Dia menghela napas panjang, bersikap layaknya orang paling lelah sedunia. Seperti biasa, Vena melepaskan sepatu dan kaos kaki yang dipakai sang suami sambil senyum-senyum sendiri. Dia menggodanya dengan berkata, "kamu ini lama-lama kayak kucing ya?" "Kayak kucing bagaimana sih?" Suara Mario tidak terlalu terdengar karena dia tengah tengkurap, dan wajahnya terbenam di bantal. Terjadi kediaman sejenak, sebelum akhirnya Vena menjawab, "iya kayak kucing, seolah-olah paling lelah sedunia, padahal hari ini juga nggak ngapa-ngapain." "Nggak ngapa-ngapain bagaimana? Aku tadi itu rapat, Sayang. Kamu kira yang capek kerja cuma kuli? Rapat itu juga lelah ... lelah pikiran apalagi, belum lagi kalau orang yang diajak rapat banyak maunya, terus ketemu sama si brengsek narsis itu juga." Vena tertawa, tidak menjawab. Dia sudah selesai melepaskan sepatu yang dikenakan oleh sang suami, kemudian ditaruh di sebelah
Daniel menjatuhkan diri di atas sofa. Dia merasa kesal sampai memijit pinggang. "Sialan, aku capek banget mengurus Bianka," katanya. Sementara itu, orang yang diajak bicara alias Sarah terlihat malas menanggapi karena fokus ke sekitar. Iya, dia jelas tak sudi berada di kamar hotel non berbintang ini. "Kamu bagaimana sih, masa belok ke penginapan nggak jelas begini?" keluhnya sambil melihat AC ruangan yang banyak debu dan bersarang laba-laba. "Yang benar saja, masa kita menginap di penginapan murahan begini? AC juga nggak dingin." Daniel seperti mendengar omelan Bianka. Dia merasa kesal. "Kamu harusnya bersyukur kita bisa menemukan penginapan ini setelah berjam-jam lari dari Bianka." "Ya tetap saja harusnya kita lanjut dulu, aku kan bisa cek hotel lain. Aku nggak betah kalau di sini, baunya juga nggak enak." Sarah masih mengomel. Dia mendekati ranjang, lalu duduk di tepiannya. Sebenarnya, kamar
Bianka tak mau buang-buang waktu dengan berdebat dengan Daniel. Dia menepis lengan pria itu, lalu masuk ke dalam kamar penginapan.Sorot matanya tajam menyelidik ke berbagai arah, mencari sosok yang dijadikan simpanan oleh sang suami."Di mana kamu!? Nggak usah sembunyi segala! Aku tahu kamu ada main sama suamiku!" teriaknya sampai memenuhi seluruh ruangan."Bianka, stop!" Daniel resah mendengar itu. Dia tidak mau tamu yang menginap lain penasaran dan akhirnya melihat tingkah Bianka.Tetapi, Bianka tidak mau berhenti. Dia malah membuka-buka lemari, melihat ke bawah meja, kolong ranjang, ke kamar mandi— hingga ke dapur."Mana kamu, Dasar wanita murahan! Berani banget kamu menggoda suamiku!“ teriaknya."Bianka!” Daniel mengejarnya saat masuk ke dapur. Dia khawatir kalau Sarah belum pergi. Tetapi, beruntungnya— wanita itu telah berhasil keluar lewat jendela. "Bianka, stop mempermalukan aku.""Mempermalukan apa?" ulang Biank
Keesokan harinya ...Vena akhirnya sampai di villa yang sudah direncanakan sejak kemarin bersama Mario.Begitu sampai di villa tersebut, dia langsung sumringah. Dari mulai bangunannya yang minimalis, tapi terlihat mewah— bagian halaman belakang ternyata ada kolam renang pribadi."Ini serius ada kolam renangnya?" Vena hampir tidak percaya melihat betapa bagus desain kolam renang mini itu. Air pun jernih. "Bagus banget. Suasananya juga romantis— asri, ada taman bunga."Mario terlihat bangga saat memandangi sekitar kolam renang. Memang, dia juga cukup takjub dengan pekerjanya yang merawat taman mawar di sini— sangat telaten dan profesional.Dia berkata, "iya jelas dong, ini termasuk villa bulan madu, jadi semuanya harus mewah dan bagus." Dia menoleh ke sang istri. "Tapi, Sayang, kamu kok berlebihan banget, di rumah kita juga ada kolam renang 'kan? Malah lebih besar daripada ini.""Bukan masalah besarnya, tapi indahnya ini loh, kalau di rumah 'kan monoton, nggak ada taman bunga juga.""Ka
Vena selesai menggunakan bikini hitam. Setelahnya, dia berjalan keluar ke halaman belakang. Di sana, dia langsung disambut dengan sosok sang suami yang duduk santai di lounger— kursi panjang dekat kolam renang sambil minum kopi."Kamu minum kopi?" Dia bertanya, mengagetkan Mario.Mario menoleh, lalu sumringah melihat wujud istrinya dalam balutan bikini seksi. Kedua mata nyaris tak berkedip. Dia berdiri dengan bibir yang semakin melebarkan senyuman.Alih-alih menjawab pertanyaan Vena, dia memujinya, "Sayang, cantik banget kamu, seksi jelas.""Agak malu juga, sih. Jadi begini rasanya berpakaian tapi telanjang?"Mario tertawa. Dia mendekati wanita itu, lalu memegangi pinggang Vena, ditarik agar berdekatan dengannya. "Kamu ini misalnya nggak menikah sama aku, cocok loh jadi model."Vena tertawa pula. Dia bertanya, "Model apa, hah? Majalah dewasa?""Membayangkan saja nggak sudi," sahut Mario kembali tertawa. Dia menggelengkan kepala. "Jangan, jangan, jangan jadi model. Aku nggak rela kamu
Usai mengenakan handuk yang dililitkan di tubuh, Vena keluar dari kamar tidur. Tadinya, dia hendak menemui sang suami di depan, tetapi urung karena tidak mau melihat muka mantan suami. Lagipula, Mario pasti tak ingin dia di sana.Dia memutuskan untuk kembali menuju ke halaman belakang. Di sana, dia duduk di lounger, menikmati sisa kopi yang tadinya diminum Mario.Selama beberapa menit kemudian, nyatanya suara pertengkaran antar dua pria semakin dekat. Malahan, suara Daniel kini terdengar sedang memanggil-manggil namanya.Begitu melihat pria itu muncul di pintu belakang yang terbuka, Vena kaget sampai berdiri. Dia agak tegang karena handuk yang melilitnya sangat pendek, sehingga pahanya terpampang jelas."Oh, ini dia ..." ucap Daniel berjalan mendekat.Vena terbelalak. "Mau apa kamu di sini! Kamu harusnya jangan dekat-dekat sama aku!"Beruntung, Mario datang tepat waktu. Dia berlari hingga berhenti tepat di hadapan Vena, dan menghadang Daniel agar tak mendekat lagi. "Sudah saya bilang
Mario tidak mau membuang-buang waktu dengan semua omong kosong yang dikatakan oleh Daniel. Dia segera menelpon kenalannya dari kantor polisi."... iya, saya minta tolong untuk kirim orang ke Villa yang saya kirimkan alamatnya di pesan," ucapnya di sambungan telepon itu.Daniel terlihat tak takut. Dia diam saja, menanti Mario selesai menelpon.Usai selesai bertelepon, Mario mengantongi ponsel lagi di saku celana, kemudian berkata, "sekarang mending kamu pergi, atau mau menunggu orang dari kantor polisi menyeret kamu pergi? Kamu sudah melanggar perjanjian."Vena memegangi lengan Mario. Dia masih berdiri di belakang punggung pria itu, menyembunyikan tubuhnya.Daniel kembali mencuri pandang ke Vena. Dia makin berkeinginan untuk memilikinya. "Kamu makin sok banget ya sekarang, Vena? Nggak usah manja begitu— kita pernah bersama, ngapain sok nggak mau melihatku begitu? Nggak mau suami kamu sadar kalau kamu masih belum move on?“ "Itu saja yang kamu bicarakan.” Vena kesal dengan tuduhan yang
Setelah menemui orang kiriman dari kantor polisi, Mario kembali ke halaman belakang, melihat istrinya yang sedang memanggang sate daging di atas panggangan.Vena menoleh. "Bagaimana?""Sudah pergi." Mario menggantikan posisi Vena dalam memanggang sate-sate tersebut. "Aku jadi nggak enak sampai meminta orang dari kantor polisi datang ke sini, tapi tadi sekalian bisa melaporkan tingkahnya Daniel.""Kamu laporan apa?""Aku cuma minta mereka mengurus laporan dari pengacaraku tentang tindakan pria itu yang masuk ke rumah kamu sebelumnya.""Sudah kamu urus laporannya?""Aku menyuruh pengacaraku dari kemarin, Sayang, cuma memang aku nggak ada waktu buat ke kantor polisi. Lagian, jujur— lebih baik aku menghabiskan waktu denganmu daripada mengurus orang gila itu."Vena mengangguk. Dia beralih ke meja yang ada di samping tempat bakaran. Di situ sudah terdapat potongan sayur dan daging yang belum ditusuk. Sementara suaminya memanggang, dia melakukan tugasnya dalam menusuk semua itu.Setelah beb