Bianka tak mau buang-buang waktu dengan berdebat dengan Daniel. Dia menepis lengan pria itu, lalu masuk ke dalam kamar penginapan.
Sorot matanya tajam menyelidik ke berbagai arah, mencari sosok yang dijadikan simpanan oleh sang suami."Di mana kamu!? Nggak usah sembunyi segala! Aku tahu kamu ada main sama suamiku!" teriaknya sampai memenuhi seluruh ruangan."Bianka, stop!" Daniel resah mendengar itu. Dia tidak mau tamu yang menginap lain penasaran dan akhirnya melihat tingkah Bianka.Tetapi, Bianka tidak mau berhenti. Dia malah membuka-buka lemari, melihat ke bawah meja, kolong ranjang, ke kamar mandi— hingga ke dapur."Mana kamu, Dasar wanita murahan! Berani banget kamu menggoda suamiku!“ teriaknya."Bianka!” Daniel mengejarnya saat masuk ke dapur. Dia khawatir kalau Sarah belum pergi. Tetapi, beruntungnya— wanita itu telah berhasil keluar lewat jendela. "Bianka, stop mempermalukan aku.""Mempermalukan apa?" ulang BiankKeesokan harinya ...Vena akhirnya sampai di villa yang sudah direncanakan sejak kemarin bersama Mario.Begitu sampai di villa tersebut, dia langsung sumringah. Dari mulai bangunannya yang minimalis, tapi terlihat mewah— bagian halaman belakang ternyata ada kolam renang pribadi."Ini serius ada kolam renangnya?" Vena hampir tidak percaya melihat betapa bagus desain kolam renang mini itu. Air pun jernih. "Bagus banget. Suasananya juga romantis— asri, ada taman bunga."Mario terlihat bangga saat memandangi sekitar kolam renang. Memang, dia juga cukup takjub dengan pekerjanya yang merawat taman mawar di sini— sangat telaten dan profesional.Dia berkata, "iya jelas dong, ini termasuk villa bulan madu, jadi semuanya harus mewah dan bagus." Dia menoleh ke sang istri. "Tapi, Sayang, kamu kok berlebihan banget, di rumah kita juga ada kolam renang 'kan? Malah lebih besar daripada ini.""Bukan masalah besarnya, tapi indahnya ini loh, kalau di rumah 'kan monoton, nggak ada taman bunga juga.""Ka
Vena selesai menggunakan bikini hitam. Setelahnya, dia berjalan keluar ke halaman belakang. Di sana, dia langsung disambut dengan sosok sang suami yang duduk santai di lounger— kursi panjang dekat kolam renang sambil minum kopi."Kamu minum kopi?" Dia bertanya, mengagetkan Mario.Mario menoleh, lalu sumringah melihat wujud istrinya dalam balutan bikini seksi. Kedua mata nyaris tak berkedip. Dia berdiri dengan bibir yang semakin melebarkan senyuman.Alih-alih menjawab pertanyaan Vena, dia memujinya, "Sayang, cantik banget kamu, seksi jelas.""Agak malu juga, sih. Jadi begini rasanya berpakaian tapi telanjang?"Mario tertawa. Dia mendekati wanita itu, lalu memegangi pinggang Vena, ditarik agar berdekatan dengannya. "Kamu ini misalnya nggak menikah sama aku, cocok loh jadi model."Vena tertawa pula. Dia bertanya, "Model apa, hah? Majalah dewasa?""Membayangkan saja nggak sudi," sahut Mario kembali tertawa. Dia menggelengkan kepala. "Jangan, jangan, jangan jadi model. Aku nggak rela kamu
Usai mengenakan handuk yang dililitkan di tubuh, Vena keluar dari kamar tidur. Tadinya, dia hendak menemui sang suami di depan, tetapi urung karena tidak mau melihat muka mantan suami. Lagipula, Mario pasti tak ingin dia di sana.Dia memutuskan untuk kembali menuju ke halaman belakang. Di sana, dia duduk di lounger, menikmati sisa kopi yang tadinya diminum Mario.Selama beberapa menit kemudian, nyatanya suara pertengkaran antar dua pria semakin dekat. Malahan, suara Daniel kini terdengar sedang memanggil-manggil namanya.Begitu melihat pria itu muncul di pintu belakang yang terbuka, Vena kaget sampai berdiri. Dia agak tegang karena handuk yang melilitnya sangat pendek, sehingga pahanya terpampang jelas."Oh, ini dia ..." ucap Daniel berjalan mendekat.Vena terbelalak. "Mau apa kamu di sini! Kamu harusnya jangan dekat-dekat sama aku!"Beruntung, Mario datang tepat waktu. Dia berlari hingga berhenti tepat di hadapan Vena, dan menghadang Daniel agar tak mendekat lagi. "Sudah saya bilang
Mario tidak mau membuang-buang waktu dengan semua omong kosong yang dikatakan oleh Daniel. Dia segera menelpon kenalannya dari kantor polisi."... iya, saya minta tolong untuk kirim orang ke Villa yang saya kirimkan alamatnya di pesan," ucapnya di sambungan telepon itu.Daniel terlihat tak takut. Dia diam saja, menanti Mario selesai menelpon.Usai selesai bertelepon, Mario mengantongi ponsel lagi di saku celana, kemudian berkata, "sekarang mending kamu pergi, atau mau menunggu orang dari kantor polisi menyeret kamu pergi? Kamu sudah melanggar perjanjian."Vena memegangi lengan Mario. Dia masih berdiri di belakang punggung pria itu, menyembunyikan tubuhnya.Daniel kembali mencuri pandang ke Vena. Dia makin berkeinginan untuk memilikinya. "Kamu makin sok banget ya sekarang, Vena? Nggak usah manja begitu— kita pernah bersama, ngapain sok nggak mau melihatku begitu? Nggak mau suami kamu sadar kalau kamu masih belum move on?“ "Itu saja yang kamu bicarakan.” Vena kesal dengan tuduhan yang
Setelah menemui orang kiriman dari kantor polisi, Mario kembali ke halaman belakang, melihat istrinya yang sedang memanggang sate daging di atas panggangan.Vena menoleh. "Bagaimana?""Sudah pergi." Mario menggantikan posisi Vena dalam memanggang sate-sate tersebut. "Aku jadi nggak enak sampai meminta orang dari kantor polisi datang ke sini, tapi tadi sekalian bisa melaporkan tingkahnya Daniel.""Kamu laporan apa?""Aku cuma minta mereka mengurus laporan dari pengacaraku tentang tindakan pria itu yang masuk ke rumah kamu sebelumnya.""Sudah kamu urus laporannya?""Aku menyuruh pengacaraku dari kemarin, Sayang, cuma memang aku nggak ada waktu buat ke kantor polisi. Lagian, jujur— lebih baik aku menghabiskan waktu denganmu daripada mengurus orang gila itu."Vena mengangguk. Dia beralih ke meja yang ada di samping tempat bakaran. Di situ sudah terdapat potongan sayur dan daging yang belum ditusuk. Sementara suaminya memanggang, dia melakukan tugasnya dalam menusuk semua itu.Setelah beb
Cahaya hangat matahari terbenam menyinari halaman belakang vila, menciptakan suasana romantis saat Vena dan Mario berdiri bersama di dekat tempat bakaran barbekyu.Suara mendesis makanan yang menggugah selera memenuhi udara.Vena, yang sekarang sudah menggunakan dress kasual warna biru, bercanda membenturkan pinggulnya ke pinggul Mario, seringai nakal di bibir."Aku nggak mengira kita bakalan betah setengah hari pesta sendiri begini," katanya.Mario terkekeh, matanya berbinar saat dia membalik steak yang berair. "Kan dari siang sudah aku bilang, kita akan pesta memanggang sampai malam."Pria itu kini bertelanjang dada, hanya menggunakan celana pendek. Dia seolah ingin memamerkan otot dada dan perutnya yang gagah.Vena pun tak bisa lepas dari memandang otot-otot itu. Seringai masih menghiasi bibirnya tatkala dia menggoda, "pakai telanjang dada segala padahal cuma memanggang.""Sayang, panas loh di depan panggangan itu, gerah. Sudahlah, berikan aku sebotol kecap itu, ya?"Vena mengambi
Mario?Itu membuat Mario bingung. Dia sama sekali tidak mengenali pria asing yang barusan menyebut namanya.Untuk beberapa saat, dia hanya diam sambil memperhatikan wajah dari pria itu. Namun, tetap saja tak ada ingatan yang terputar."Maaf, siapa kamu?" Dia akhirnya bertanya.Pria misterius itu mendekat dengan kening yang semakin mengucurkan darah. "Aku Rey ... SMA? Masa nggak ingat?""Rey?" Ulang Mario berusaha mengingat. Tetapi, dia lebih khawatir dengan kondisi pria itu. Biasanya dia tak ingin berurusan dengan orang asing, hanya saja situasinya sangat buruk sekarang. "Mungkin sebaiknya aku telpon dokter saja— itu lukamu parah.""Nggak parah, cuma jatuh.""Sudah, sudah, sini ayo ke villa-ku aku panggilkan dokter.“ Mario menunjukkan jalan agar masuk ke halaman belakang villa-nya.Di situ, dia melihat Vena yang masih berdiri di tempat.Vena kaget melihat ada orang asing terluka yang diajak masuk. Bias
Mario kembali masuk ke dalam villa setelah mengantarkan keluar. Sebenarnya, dia sedikit kesal, dan tidak terima. Tapi, dia tak punya waktu untuk itu.Meski demikian, dia menelpon sang sekretaris, niatnya ingin marah-marah.Sembari berjalan ke arah belakang villa dia mengomel di telepon, "... saya mau bicara itu, bisa-bisanya kamu memberitahu kalau saya dan istri saya ada di sini? Lagian, kok kamu bisa menebak kami di sini?"Erika, di balik telepon, membantah, "loh, Pak, beneran, saya nggak tahu. Saya nggak memberitahu pria itu. Memang, tadi pagi saya ketemu sama dia, dia tanya tentang bapak, jadi saya bilang jadwal bapak penuh, kalau mau ketemu itu harus janjian dulu.""Jadi ...""Saya nggak ngomong bapak sama istri bapak ada di villa, bahkan saya juga nggak tahu bapak ke sana, yang pasti tahu kegiatan bapak 'kan Daffa."Masuk akal memang. Tetapi, Rey tadi bilang kalau ini informasi dari sekretarisnya. Mario jadi bingung sendiri. "Jadi, serius bukan kamu yang memberitahu dia saya ada