Selepas dari rumah sakit, Vena dan Mario langsung menuju ke restoran untuk makan malam. Sejak keluar dari rumah sakit, Vena terlihat muram. Iya, itu jelas karena perkataan dari dokter kandungan.
Sudah lama sejak da berbicara dengan Tante Ruth tentang ini, tapi sekarang kepikiran lagi. Sepanjang perjalanan hingga mereka akhirnya sampai di lokasi tujuan, dia tetap melamun.Begitu keluar mobil, dia melirik ke samping, tepatnya ke sang suami yang terlihat meregangkan otot bahu."Akhirnya sampai juga, aku lapar ..." Mario melihat jam tangan. "Walaupun sekarang masih jam enam sore."Dia melihat sekitar, suasana sore masih ramai di depan restoran. Bibirnya tersenyum lebar mengamati begitu banyak kendaraan yang terparkir, ini menandakan ramai pembeli."Kayaknya bisnis lancar ya, Sayang," katanya sedikit ingin menggoda Vena. Tetapi, senyumnya langsung pudar akibat menyadari sang istri melamun. "Hei? kamu kenapa?"Lamunan Vena buyar. DiaMario menikmati hidangan makan malam. Dia tersenyum puas dengan kualitas rasa dari ayam panggang khas restoran istrinya ini.Usai mengusap mulut dengan tisu, dia baru berkomentar, "kayaknya ini kalau kamu yang masak, jadinya malah kemanisan, tapi ini enak loh.""Mengejek, lalu memuji," sahut Vena menahan tawa. Dia juga sudah selesai makan, jadi langsung mengelap mulut dengan tisu."Tapi serius Sayang, pantas orang-orang betah makan di sini, enak. Padahal harga juga murah, tapi kualitas bintang lima.""Bisa saja kamu."Mario tergelak. Dia kembali memuji, "harusnya kamu nambah menu mie.""Mie? Perasaan kamu bilang harus fokus ke ayam-ayam dulu?""Iya, sih." Mario masih tergelak. Dia lalu berkata lagi, "cuma kayaknya ini ladang bisnis yang menjanjikan. Kita lihat progressnya bulan depan, jika bagus, kamu bisa nambah menu andalan mie dengan campuran ayam madu. Bagaimana?"Vena mengangguk. "Aku juga maunya begitu, d
Setelah sampai di dalam kamar hotel, Mario langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Dia menghela napas panjang, bersikap layaknya orang paling lelah sedunia. Seperti biasa, Vena melepaskan sepatu dan kaos kaki yang dipakai sang suami sambil senyum-senyum sendiri. Dia menggodanya dengan berkata, "kamu ini lama-lama kayak kucing ya?" "Kayak kucing bagaimana sih?" Suara Mario tidak terlalu terdengar karena dia tengah tengkurap, dan wajahnya terbenam di bantal. Terjadi kediaman sejenak, sebelum akhirnya Vena menjawab, "iya kayak kucing, seolah-olah paling lelah sedunia, padahal hari ini juga nggak ngapa-ngapain." "Nggak ngapa-ngapain bagaimana? Aku tadi itu rapat, Sayang. Kamu kira yang capek kerja cuma kuli? Rapat itu juga lelah ... lelah pikiran apalagi, belum lagi kalau orang yang diajak rapat banyak maunya, terus ketemu sama si brengsek narsis itu juga." Vena tertawa, tidak menjawab. Dia sudah selesai melepaskan sepatu yang dikenakan oleh sang suami, kemudian ditaruh di sebelah
Daniel menjatuhkan diri di atas sofa. Dia merasa kesal sampai memijit pinggang. "Sialan, aku capek banget mengurus Bianka," katanya. Sementara itu, orang yang diajak bicara alias Sarah terlihat malas menanggapi karena fokus ke sekitar. Iya, dia jelas tak sudi berada di kamar hotel non berbintang ini. "Kamu bagaimana sih, masa belok ke penginapan nggak jelas begini?" keluhnya sambil melihat AC ruangan yang banyak debu dan bersarang laba-laba. "Yang benar saja, masa kita menginap di penginapan murahan begini? AC juga nggak dingin." Daniel seperti mendengar omelan Bianka. Dia merasa kesal. "Kamu harusnya bersyukur kita bisa menemukan penginapan ini setelah berjam-jam lari dari Bianka." "Ya tetap saja harusnya kita lanjut dulu, aku kan bisa cek hotel lain. Aku nggak betah kalau di sini, baunya juga nggak enak." Sarah masih mengomel. Dia mendekati ranjang, lalu duduk di tepiannya. Sebenarnya, kamar
Bianka tak mau buang-buang waktu dengan berdebat dengan Daniel. Dia menepis lengan pria itu, lalu masuk ke dalam kamar penginapan.Sorot matanya tajam menyelidik ke berbagai arah, mencari sosok yang dijadikan simpanan oleh sang suami."Di mana kamu!? Nggak usah sembunyi segala! Aku tahu kamu ada main sama suamiku!" teriaknya sampai memenuhi seluruh ruangan."Bianka, stop!" Daniel resah mendengar itu. Dia tidak mau tamu yang menginap lain penasaran dan akhirnya melihat tingkah Bianka.Tetapi, Bianka tidak mau berhenti. Dia malah membuka-buka lemari, melihat ke bawah meja, kolong ranjang, ke kamar mandi— hingga ke dapur."Mana kamu, Dasar wanita murahan! Berani banget kamu menggoda suamiku!“ teriaknya."Bianka!” Daniel mengejarnya saat masuk ke dapur. Dia khawatir kalau Sarah belum pergi. Tetapi, beruntungnya— wanita itu telah berhasil keluar lewat jendela. "Bianka, stop mempermalukan aku.""Mempermalukan apa?" ulang Biank
Keesokan harinya ...Vena akhirnya sampai di villa yang sudah direncanakan sejak kemarin bersama Mario.Begitu sampai di villa tersebut, dia langsung sumringah. Dari mulai bangunannya yang minimalis, tapi terlihat mewah— bagian halaman belakang ternyata ada kolam renang pribadi."Ini serius ada kolam renangnya?" Vena hampir tidak percaya melihat betapa bagus desain kolam renang mini itu. Air pun jernih. "Bagus banget. Suasananya juga romantis— asri, ada taman bunga."Mario terlihat bangga saat memandangi sekitar kolam renang. Memang, dia juga cukup takjub dengan pekerjanya yang merawat taman mawar di sini— sangat telaten dan profesional.Dia berkata, "iya jelas dong, ini termasuk villa bulan madu, jadi semuanya harus mewah dan bagus." Dia menoleh ke sang istri. "Tapi, Sayang, kamu kok berlebihan banget, di rumah kita juga ada kolam renang 'kan? Malah lebih besar daripada ini.""Bukan masalah besarnya, tapi indahnya ini loh, kalau di rumah 'kan monoton, nggak ada taman bunga juga.""Ka
Vena selesai menggunakan bikini hitam. Setelahnya, dia berjalan keluar ke halaman belakang. Di sana, dia langsung disambut dengan sosok sang suami yang duduk santai di lounger— kursi panjang dekat kolam renang sambil minum kopi."Kamu minum kopi?" Dia bertanya, mengagetkan Mario.Mario menoleh, lalu sumringah melihat wujud istrinya dalam balutan bikini seksi. Kedua mata nyaris tak berkedip. Dia berdiri dengan bibir yang semakin melebarkan senyuman.Alih-alih menjawab pertanyaan Vena, dia memujinya, "Sayang, cantik banget kamu, seksi jelas.""Agak malu juga, sih. Jadi begini rasanya berpakaian tapi telanjang?"Mario tertawa. Dia mendekati wanita itu, lalu memegangi pinggang Vena, ditarik agar berdekatan dengannya. "Kamu ini misalnya nggak menikah sama aku, cocok loh jadi model."Vena tertawa pula. Dia bertanya, "Model apa, hah? Majalah dewasa?""Membayangkan saja nggak sudi," sahut Mario kembali tertawa. Dia menggelengkan kepala. "Jangan, jangan, jangan jadi model. Aku nggak rela kamu
Usai mengenakan handuk yang dililitkan di tubuh, Vena keluar dari kamar tidur. Tadinya, dia hendak menemui sang suami di depan, tetapi urung karena tidak mau melihat muka mantan suami. Lagipula, Mario pasti tak ingin dia di sana.Dia memutuskan untuk kembali menuju ke halaman belakang. Di sana, dia duduk di lounger, menikmati sisa kopi yang tadinya diminum Mario.Selama beberapa menit kemudian, nyatanya suara pertengkaran antar dua pria semakin dekat. Malahan, suara Daniel kini terdengar sedang memanggil-manggil namanya.Begitu melihat pria itu muncul di pintu belakang yang terbuka, Vena kaget sampai berdiri. Dia agak tegang karena handuk yang melilitnya sangat pendek, sehingga pahanya terpampang jelas."Oh, ini dia ..." ucap Daniel berjalan mendekat.Vena terbelalak. "Mau apa kamu di sini! Kamu harusnya jangan dekat-dekat sama aku!"Beruntung, Mario datang tepat waktu. Dia berlari hingga berhenti tepat di hadapan Vena, dan menghadang Daniel agar tak mendekat lagi. "Sudah saya bilang
Mario tidak mau membuang-buang waktu dengan semua omong kosong yang dikatakan oleh Daniel. Dia segera menelpon kenalannya dari kantor polisi."... iya, saya minta tolong untuk kirim orang ke Villa yang saya kirimkan alamatnya di pesan," ucapnya di sambungan telepon itu.Daniel terlihat tak takut. Dia diam saja, menanti Mario selesai menelpon.Usai selesai bertelepon, Mario mengantongi ponsel lagi di saku celana, kemudian berkata, "sekarang mending kamu pergi, atau mau menunggu orang dari kantor polisi menyeret kamu pergi? Kamu sudah melanggar perjanjian."Vena memegangi lengan Mario. Dia masih berdiri di belakang punggung pria itu, menyembunyikan tubuhnya.Daniel kembali mencuri pandang ke Vena. Dia makin berkeinginan untuk memilikinya. "Kamu makin sok banget ya sekarang, Vena? Nggak usah manja begitu— kita pernah bersama, ngapain sok nggak mau melihatku begitu? Nggak mau suami kamu sadar kalau kamu masih belum move on?“ "Itu saja yang kamu bicarakan.” Vena kesal dengan tuduhan yang
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i