Begitu Mario mendekat, Om Tiyo pergi untuk menemui salah satu kerabatnya yang ada di meja lain. Alhasil, Mario mengambil segelas jeruk dari meja hidangan terdekat, lalu mendekati Daniel.Daniel tersenyum lebar. "Hei ...""Bicara apa kamu sama Om saya?" tanya Mario balas memberikan lirikan tajam. "Ingat, kamu itu urusannya sama saya. Jangan sok akrab sama anggota keluarga saya.""Nggak usah galak-galak begitu, urusan bisnis memang sama kamu, tapi saya direkomendasikan sama Tante kamu itu buat kerjasama juga sama Om kamu.""Apa katamu? Kerjasama bisnis? Jangan sembarangan, kamu niat mau masuk ke kehidupan keluarga saya, iya 'kan? Mau bikin ulah?" Sebenarnya, Mario tidak kaget. Setelah kedatangan Daniel tadi yang diundang, tentu pasti ada yang tidak beres. Tetapi, dia masih penasaran maksud dari sang bibi mengundangnya. "Kayaknya akhir-akhir Tante ketemu keluarga kamu, pantas pikirannya diracuni terus.""Diracuni apa? Jangan seenaknya bicara. Kenapa nggak langsung saja bicara ke Tante ka
Vena menenangkan Sheila, anak perempuan yang jatuh di sebelahnya. Tadinya, anak itu berlarian bersama sang saudara kembar, tapi dia menabrak meja hidangan, dan jatuh ke lantai dengan keras.Tante Ella merebut anak adopsinya itu dari tangan Vena. Dia menuduh, "kamu ini sudah jelas-jelas dorong anak saya, masih berani menyentuh anak saya!"Vena keberatan dituduh demikian. Dia membela diri, "maaf, Tante, nggak ada dorong barusan, Sheila jatuh sendiri.""Saya lihat sendiri kamu dorong dia!"Tak betah, Monica ikut bicara, "Tante Ella, jangan marah-marah segala, Sheila jadi takut itu." Dia melihat Sheila yang memeluk kaki ibunya. "Sudahlah, nggak usah marah.""Kamu anak kecil mending minggir sana!" sentak Tante Ella melototi Monica. Dia menoleh ke belakang— di mana Tante Ruth berada. "Ruth, mending bawa pulang anak kamu ini, kelamaan bergaul sama wanita ular ini nggak bagus buat dia!"Vena kaget dipanggil wanita ular.Sementara itu, Tante Ruth seolah menahan malu. Dia maju, lalu menyambar l
Dengan percaya diri, Sarah memandangi seluruh anggota keluarga besar dari Mario ini. Dia membusungkan dada, kemudian berbicara, "Sarah sebenarnya nggak mau ngomong ini karena Mas Mario sudah menikah. Tapi, Sarah nggak tahan lagi, jadi Sarah bongkar sekarang. Dulu Sarah cuma pergi sebentar, terus saat Sarah datang, wanita ini sudah merebut Mas Mario."Vena terkejut mendengar pengakuan palsu itu.Belum sempat dia membantah, Tante Ruth membenarkan, "iya, maaf merahasiakan ini dari kalian semua. Sarah bukannya pergi meninggalkan Mario, tapi ada permasalahan sama keluarganya dulu. Sayangnya, Mario malah kena rayuan dari wanita haus harta ini." Dia menuding ke arah Vena. Sikapnya semakin jahat sampai membuat Monica tidak percaya. "Terus—""Ma ..." gadis itu remaja itu menyela, "Mama kok jadi bohong begini, sih? Kan dari awal semua juga tahu kalau Kak Sarah itu cuma mau nipu Mama, terus bawa uang. Itu alasannya pergi dahulu.""Kamu diam saja!""Bukannya berhenti, malah sekarang menyebar info
Vena ingin membahas apa yang terjadi di acara pertemuan keluarga sebelumnya, tapi dia tak sanggup karena raut wajah Mario yang tetap tegang.Mereka tak saling bicara hingga mobil dihentikan oleh sopir di area parkiran sebuah restoran.Sebelum turun, Mario berkata pada sopirnya, "Pak Hardi, bapak bisa ikut kami makan malam di resto, kalau mau."Pak Hardi mematikan mesin kendaraan. Dia menoleh, dan dengan sopan menolak, "maaf, Tuan, saya lebih baik ke langganan saya yang biasanya. Tuan bisa makan malam sama Nyonya di sini.""Ya sudah, kalau begitu seperti biasa jangan lupa minta struk pembelian. Tolong langsung balik ke sini setelah bapak selesai makan malam.""Baik, Tuan."Tanpa mengatakan apapun lagi, Mario segera turun dari mobil. Dia masih kelihatan kesal, tapi berusaha ditahan.Vena ikut keluar dari mobil. Dia menatap sang suami, ingin mencairkan suasana sedikit dengan berkata, "Kita makan di sini?""Iya, di sini nasi gorengnya enak, loh." Mario tersenyum. Dia tidak mau kelihatan m
Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?""Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?""Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "
Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan. Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil."Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di la
Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas. Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa."Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?""Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika." "Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?" "Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."Tanpa m
Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis.Iya, seperti sekarang.Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat."Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena.Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?"Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi.Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!""Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?""Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terim