Vena mendatangi tempat yang diminta oleh Tante Ruth. Dia sudah waspada dengan sekitar, takut jika ini hanya jebakan dari Sarah ataupun Daniel. Tetapi, begitu sudah masuk ke kafe, dia tak melihat adanya mereka berdua.Iya, matanya langsung bertemu dengan keberadaan Tante Ruth di meja dekat jendela. Di sana, wanita paruh baya itu terlihat serius melihat keluar jendela.Vena datang mendekat. Meski masih kesal akibat kejadian malam itu, tapi bagaimana pun .. Tante Ruth sudah seperti mertua. Jadi, dia harus sopan."Tante," sapanya.Tante Ruth menengok. "Akhirnya datang juga kamu. Ayo duduk dulu."Nada bicaranya cukup dingin dan datar. Vena menjadi semakin waspada dengan niatnya mengajak ke sini. Dia lantas duduk di kursi yang bersebrangan meja dengannya."Ada apa, Tante? Kok tiba-tiba meminta Vena ke sini? Sendirian juga?" Dia bertanya.Tante Ruth menoleh ke arah pintu masuk, memastikan tidak ada yang mengintai mereka. "Kamu beneran ke sini tanpa diketahui siapapun 'kan? Kamu nggak mengadu
Mario pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan. Begitu masuk rumah, dia memanggil-manggil Vena, tapi yang datang malah salah satu pembantu yang memberitahu kalau wanita itu pergi keluar."Ke mana?" tanyanya.Si pembantu menjawab, "maaf, Pak, saya juga nggak tahu, Nyonya pergi nggak memberitahu tujuannya. Tapi, katanya pasti pulang sebelum makan malam.""Ya sudah."Usai pembantu itu pergi, Mario beranjak masuk ke dalam— menuju ke ruang tengah, lalu duduk di atas sofa. Dia menghela napas panjang, tidak terlalu khawatir dengan keberadaan Vena.“Tumben dia pergi nggak ijin dulu,” ucapnya sembari bersandar di punggung sofa, pandangannya menengadah ke langit-langit. "Tapi, ya sudah."Dia tak lagi khawatir seperti sebelumnya karena masih yakin kalau Daniel takkan sengaja menemui Vena. Kalau itu terjadi, maka dia bisa membuatnya di penjara sesuai dengan perjanjian.Tak lama berselang, ternyata Vena sudah pulang. Wanita itu masuk ke dalam dengan membawa sekantong kardus makanan.Dia begitu k
Setelah makan malam, Vena dan Mario masuk ke dalam kamar tidur. Mario selesai membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi. Vena sudah siap di atas ranjang. Suasana penerangan kamar remang karena lampu utama sudah dimatikan. Mario tampak bertelanjang dada, hanya mengenakan celana piyama panjang. Dia sibuk mengeringkan sebagian rambut dengan handuk. Ketika dia berdiri di depan lemari yang terbuka untuk memilih baju, Vena tersenyum menatapnya. Pemandangan sang suami dari belakang begitu menggoda— otot-otot punggungnya begitu menawan, pinggang pun tampak rapat, tak ada lemak yang mengganggu. Mario sadar kalau dipandangi, dia sampai menoleh. Dia tersenyum. "Apa? Kamu lagi menikmati pemandangan?" Vena memalingkan pandangan sambil tersenyum. "Nggak juga." "Ohhh ..." Mario menutup pintu lemari, tak jadi mengambil baju. Dia menyampirkan handuk di salah satu kursi, kemudian langsung merangkak naik ke atas ranjang. "Berhubung istriku suka banget melihatku telanjang, jadi nggak usah paka
Vena memberikan kecupan demi kecupan manis di leher Mario. Berada di atas pria itu membuatnya seakan berkuasa malam ini. Desahan lirih keluar dari mulut Mario begitu merasakan sentuhan bibir dingin nan lembut itu. Dia meneguk ludah, memejamkan mata— menikmati sensasinya. Tak puas hanya dengan mencium, Vena menjulurkan lidah, kemudian menjilat area yang telah diciumi. Jilatan demi jilatan membasahi kulit leher Mario. "... Sayang ...“ desahan Mario yang telah terangsang. Dia meremas pinggang Vena lebih erat. Napas pun memburu. "Sayang, kamu tahu 'kan itu titik lemahku ... Kalau kamu menjilati terus, kamu harus menerima konsekuensinya." Vena menyeringai. "Oh nggak mau dijilat? Kalau begitu ..." Kini, dia menggigit lembut kulit Mario, sedikit menghisapnya— sengaja ingin memberikan cupang alias tanda cinta. Desahan Mario semakin menggila. Dia juga kian erat meremas pinggang Vena, seakan tidak kuat digoda begini. "Nanti bisa membekas, Sayang ...” Vena berhenti sejenak, mengangkat kepa
Mario merasakan getaran luar biasa menjalar di tulang punggungnya saat Vena mengangkangi pinggangnya. Kedua mata terpejam, masih menikmati sensasi yang barusan diterima dari lidah Vena. Butir-butir keringat mulai bermunculan di kening.Sorot mata Vena berapi-api. Dia puas akan praktek pertamanya melakukan hal barusan. "Padahal aku mau sampai kamu keluar, loh."Mario membuka mata. Dengan suara lirih, dia menggoda, "tapi aku maunya keluar di dalam kamu ..."Tangannya terangkat, menyentuh rambut panjang Vena yang tergerai di bahu, lalu dimainkan sesaat.Vena menempelkan tubuhnya di atas dada sang suami. Kemudian, dia menarik selimut agar menutupi tubuh mereka.Hangat dan lembut. Itu yang dirasakan oleh Mario tatkala kulit dadanya bersentuhan dengan kulit dada Vena. Rangsangan ini terlalu kuat untuk ditolak."Aku cinta kamu, Sayang," bisik Vena, suaranya pelan saat dia menelusuri jari di dada Mario. "Kamu cuma milikku."Mario menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, kening makin basah
Daniel datang masuk ke dalam apartemen milik Sarah. Dia lelah, wajah sedikit kemerahan. Sudah sangat jelas kalau dia menghabiskan waktu untuk mabuk sebelumnya.Sarah masih duduk di sofa ruang tamu sembari menikmati tayangan televisi. Dia tidak kaget melihat pria itu main masuk ke dalam apartemennya dengan kondisi begitu. Lagipula, dia sendiri yang memberikan akses layaknya mereka adalah pasangan suami istri."Tumben nggak kirim pesan dahulu kalau mau ke sini?" tanya Sarah.Daniel menjatuhkan diri di atas sofa tersebut. Dia bersandar, lalu menghela napas panjang. Sesekali, dia memijat kening yang pusing akibat efek dari alkohol yang dikonsumsi."Malas pulang," sahutnya bersuara serak, "Bianka makin lama makin cerewet, aku nggak menyangka kalau dia se-banyak omong itu.""Istri kamu memang cerewet— kayaknya dia sama mamanya lagi merencanakan sesuatu soalnya rutin ketemu Tante Ruth diam-diam.""Nggak peduli, palingan mau menipu wanita tua tolol itu. Kayaknya dia memang gampang dibodohi,
Beberapa hari telah berlalu ...Vena sudah mempersiapkan segalanya, dan kini dia telah berada di restoran barunya. Dia sendiri yang memantau kesiapan untuk pembukaan dalam waktu satu jam lagi.Dia melihat beberapa karyawan sibuk menata meja, sebagian lain sedang mengurus bunga ucapan selamat di luar bangunan. Vena berjalan ke depan. Dia tersenyum melihat banyak karangan bunga ucapan selamat— yang hampir semuanya dari suami sendiri.Bibirnya sampai tersenyum melihat semua itu. Ada yang tertulis dari suami tercinta, dari Mario Winata, dari Owner Jaringan Hotel Winata, lalu dari Rekan Bisnis Tersayang.Dia terus senyum-senyum, terlebih sampai akhirnya masuklah mobil Mario ke area parkiran depan. Pria keluar dari kursi penumpang dengan membawa buket bunga mawar merah. Dia tampak mengenakan jas formal."Pagi, Istriku Sayang!" sapanya dengan senyum melebar. Tanpa perasaan malu ataupun ragu, dia segera memeluk Vena, lalu memberikan kecupan cinta di keningnya.Vena kaget karena diperlakukan
Vena terkejut.Janda pelakor? Calon istri yang asli? Siapa orang gila yang menulis pesan ucapan selamat seperti itu?Tetapi, otot wajahnya perlahan menegang saat sadar hanya satu orang yang memenuhi syarat.Dia menatap suaminya. "Mas, kayaknya aku tahu siapa yang iseng mengirim itu, tapi kenapa dia bisa—"Mario tak sempat menunggunya selesai, langsung berjalan menghampiri mobil pick up yang baru saja turun.Beberapa orang mulai menurunkan karangan bunga tersebut. Mario tahu kalau mereka hanya menjalankan pekerjaan, meski tahu kalau pesannya sangat jahat. Dia bertanya ke sopir, "maaf, Pak, ini siapa yang mengirim? Ada apa keterangan dari toko?“Sebenarnya, dia tahu siapa yang mengirim, tapi ingin memastikan dahulu.Sopir itu memeriksa berkas pengiriman, dan hanya berkata, "maaf, Pak, saya tidak tahu, di sini tidak tertera pengirim. Pihak toko hanya meminta untuk mengirimkan pesanan ucapan selamat ke alamat ini.""Oke." Mario tidak mungkin meminta mereka membawa kembali. Dia hanya bisa